Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pragmatisme Politik

1 Juli 2014   14:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:00 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pragmatisme politik dapat menjadi salah satu cara membaca dinamika politik menjelang pilpres 2014-2019. Berbagai partai politik berkoalisi dengan sejuta alasan pembenarnya. Ada yang mengklaim berkoaliasi atau tepatnya bekerja sama tanpa syarat, sementara yang lain diprediksi membangun koalisi di atas kepentingan bagi-bagi kekuasaan hanya karena wujudnya yang terlalu gemuk. Sementara itu, pergerakan politik Rhoma Irama dan Mahfud MD menjadi fenomena politik tersendiri yang harus dijelaskan persis ketika keduanya “menyeberang” ke kubu lawan. Konsep pragmatisme politik dapat menjelaskan fenomena-fenomena ini.

Dalam tradisi filsafat, pragmatisme dipahami sebagai pemikiran yang menolak gagasan bahwa pikiran manusia dapat menjelaskan, merepresentasikan atau memotret realitas secara objektif dan apa adanya. Kaum pragmatis justeru berpendapat bahwa pikiran tidak lebih sebagai instrumen untuk memprediksi, bertindak dan memecahkan masalah. Pemahaman atas realitas atau fenomena hanya bisa dibenarkan jika menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (utility).

Dalam arti itu, pragmatisme mengandung dua konsekuensi penting. Pertama, penolakan terhadap objektivitas realitas. Meminjam pemikiran Immanuel Kant, realitas pada dirinya (das ding an sich) tidak bisa diketahui. Seseorang hanya bisa mengetahui realitas melalui kacamata yang dipakainya. Ini mengandung konsekuensi bahwa individu memiliki otonomi yang besar dalam mengkonstruksi dan memahami setiap fenomena yang dia hadapi.

Kedua, realitas direduksikan kepada dimensi praktikalitas, manfaat, dan keuntungan yang dapat diperoleh seseorang. Itu artinya kacamata yang digunakan untuk memahami realitas tidak lain adalah kacamata manfaat atau kegunaan, terutama untuk kepentingan diri sendiri.

Di atas kedua kesadaran inilah kita bisa memahami pragmatisme politik, terutama dalam memotret dinamika politik menjelang pemilihan presiden RI 2014-2019. Untuk itu, dua catatan singkat dapat dikemukakan di sini.

Pertama, jika ideologi politik menjadi semacam sumber pengetahuan (deposit of knowledge) dalam menjelaskan praktik dan kiprah politik sebuah partai politik, pragmatisme politik justeru sedang mendekonstruksikannya. Pragmatisme politik tidak mengenal fanatisme ideologis dan kesetiaan kekal pada sebuah parpol. Pragmatisme politik justru membuka ruang sebesar-besarnya bagi setiap individu untuk memahami dinamika politik berdasarkan kepentingannya dan kemudian menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan kriteria manfaat (terutama jangka pendek).

Fakta bahwa tidak ada parpol yang meraih suara lebih dari 25 persen supaya bisa mengusung calon presiden dan wakil presidennya sendiri tidak hanya meniscayakan koalisi, tetapi juga mendekonstruksikan kredo ideologi pada level kompromi – jika tidak menghancurkannya sama sekali. Ideologi politik yang semula diterima secara dogmatis sebagai sumber pengetahuan (deposit of knowledge), kini berganti busana menjadi sebuah kompromi politik. Entah bersyarat atau tanpa syarat, koalisi parpol membuktikan fakta memudarnya ideologi parpol.

Ini juga sebetulnya yang menjelaskan pergerakan politik Rhoma Irama dan Mahfud MD setelah tidak dicapreskan atau cawapreskan oleh partai pendukungnya. Kesetiaan keduanya pada ideologi partai selaku sumber pengetahuan justeru sedang berganti rupa menjadi kepentingan praktis dan pragmatis kekuasaan. Mustahil meminta kedua tokoh ini untuk taat dan bertahan pada ideologi partai di saat parpol pendukungnya mengkompromikan (baca: mengobral) ideologinya supaya bisa berbagi kekuasaan dengan parpol lain.

Kedua, satu-satunya kepentingan yang hendak dikejar adalah kekuasaan. Sayangnya, pragmatisme politik terlalu mengagung-agungkan manfaat kekuasaan jangka pendek sebegitu rupa sehingga tidak ada partai yang berani memilih jalan oposisi. Jika partai politik identik dengan kekuasaan dan kekuasaan paralel dengan jabatan atau kursi kekuasaan, maka parpol-parpol yang sedang merebut kekuasaan saat ini sebenarnya sedang menciderai kepercayaan masyarakat. Politik dalam sistem demokrasi yang sehat seharusnya mengikutsertakan kekuatan penyeimbang (checks and balances) yang hanya bisa dimainkan oleh partai-partai oposisi.

Kehilangan keberanian untuk menjadi partai oposisi tidak hanya akan mereduksikan perjuangan parpol kepada kepentingan pragmatis kekuasaan jangka pendek, tetapi juga membunuh ideologi partai secara perlahan-lahan. Jika ini yang terjadi, sebenarnya kita sedang menggali kubur bagi idealisme politik yang disokong oleh ideologi partai selaku sumber pengetahuan (the deposit of knowledge).[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun