Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mencermati Tabrakan Maut di Jalan Arteri Pondok Indah

29 Januari 2015   17:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kisruh KPK Vs Polri, ada isu menarik yang ternyata juga ramai didiskusikan di medsos, yakni berita mengenai pengemudi mobil Outlander, Christopher Daniel Sjarif, yang semula dinyatakan positif mengkonsumsi narkoba jenis LSD (Lycergic Acid Diethylamide), kini berubah menjadi negatif. Diperkuat oleh pendapat BNN, Christopher maupun sahabatnya Ali dinyatakan bebas dari pengaruh narkoba.

Sontak publik melihat adanya ketidakberesan dan mempertanyakannya. Publik merasa aneh, apakah seseorang dengan mudah berubah statusnya dari keadaan ketergantungan narkotik kepada bebas narkotik? Dalam hal ini posisi polisi yang merujuk hasil akhir pemeriksaan kepada BNN memposisikan publik pada apa yang disebut “beban pembuktian”. Dalam proses berpikir, yang punya kepentingan untuk membuktikan apakah ini salah atau benar justru ada pada masyarakat, dan bukan pada Polri. Tampaknya, polisi juga berangkat dari semacam anggapan, bahwa apa yang dikatakan BNN semestinya diterima sebagai benar, karena itu berdasarkan data laboratorium. Ini berarti beban pembuktian yang ada pada publik itu menjadi sulit terwujud mengingat harus ada semacam pemeriksaan tandingan untuk membuktikan sebaliknya. Dan itu harus juga menyertakan subjek atau pelaku, peralatan yang canggih, legitimasi untuk melakukan pemeriksaan dan semacam. Dalam arti itu, hampir mustahil publik akan melakukan pembuktian sebaliknya, dan dalam konteks ini, publik akhirnya menerima dan mengandaikan bahwa apa yang dikatakan BNN itu benar.

Di atas semuanya itu, sebetulnya menarik mencermati penjelasan pihak kepolisian mengenai perubahan status ini. Polisi mengatakan bahwa justru dengan tidak berstatus pengkonsumsi narkoba, Christopher akan dikenakan pasal-pasal kecelakaan biasa yang hukumannya jauh lebih berat jika dibandingkan dengan status ketergantungan narkoba, yang sudah hampir pasti – menurut Polisi – akan membebaskan Christopher. Bahwa orang yang membunuh tetapi dalam keadaan tidak sadar tidak akan dipersalahkan secara hukum.

Apakah penjelasan seperti ini dapat diterima sebagai benar dan meyakinkan? Tampaknya Polisi mau meyakinkan publik, bahwa hukuman Christopher akan menjadi sangat berat karena dilakukan secara sadar dan ada unsur kesengajaan. Sebenarnya cara bernalar Polisi ini merupakan reaksi atau jawaban terhadap keraguan publik, bahwa polisi telah dibayar oleh pihak keluarga Christopher untuk tidak mengenakan pasal tindakan kejahatan di bawah pengaruh Psikotropika. Jika merujuk ke cara bernalar polisi, permintaan keluarga – jika ada – pasti sulit dimengerti. Apakah mungkin keluarga atau orangtua melakukan hal tertentu yang dampaknya akan memperberat konsekuensi yang akan ditanggung oleh anaknya sendiri?

Jika benar bahwa orangtua meminta hal demikian, permintaan semacam ini harus dihargai sebagai hal yang sangat menguntungkan mereka. Mengapa bisa? Ada sekurang-kurangnya dua kasus yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini, yakni kasus tabrakan maut yang dilakukan oleh Rasyid Rajasa (Putra Hatta Rajasa) yang menewaskan dua dari lima penumpang sebuah mobil minibus dan tabrakan maut yang dilakukan oleh Abdul Qodir Jaelani, putra musisi Ahmad Dani yang menewaskan 7 orang. Dalam kedua kasus tersebut, pendekatan kekeluargaan dan kesediaan keluarga pelaku member santunan atau bantuan ekonomi kepada keluarga korban akan menjadi cara efektif untuk mengurangi bahkan meniadakan hukum kurungan fisik. Mengingat latarbelakang keluarga pelaku yang secara ekonomi adalah mapan, pendekatan kekeluargaan dan pemberian santunan kepada para korban tidak akan menjadi halangan atau kesulitan bagi mereka. Kenyataannya, kedua pelaku sebelumnya tersebut sekarang telah terbebas dari hukuman penjara (meskipun kasus bebasnya Dul juga karena usianya yang masih anak-anak).

Dari sini kita mengerti bahwa dengan pendekatan yang sama, Christopher akan sangat diuntungkan. Asal mendatangi keluarga korban dan bersedia membayar sejumlah santunan, keluarga korban dapat dipastikan luluh hatinya dan mau memaafkan. Dan ini akan menjadi modal yang baik untuk “menegosisasi” putusan hukum. Mengingat latarbelakang keluarga Christopher yang pengusaha, sangatlah mudah bagi mereka untuk melakukan pendekatan semacam ini. Akan menjadi sangat sulit jika kasus narkoba masih melekat pada pelaku, karena kalau pun pendekatan kekeluargaan sudah bisa membebaskan Christopher dari hukuman kurungan badan, ketergantungan narkoba akan memaksa dia untuk mengikuti program rehabilitasi yang akan memakan waktu lama. Padahal dia harus kembali kuliah di San Fransisco.

Dari sinilah kita mengerti, bahwa perubahan status dari pengkonsumsi narkoba ke tidak mengkonsumsi narkoba sebetulnya tidak didasarkan pada alasan penegakan hukum – supaya pelaku mendapatkan hukuman yang lebih berat – tetapi kepada upaya sadar membebaskan pelaku dari jeratan hukum. Jika ini yang terjadi, ketakutan kita pada penegakan hukum oleh polisi pun menjadi bertambah. Tidak hanya hukum bisa dibeli, proses penegakannya pun bisa direkayasa berdasarkan logika atau konstruksi hukum tertentu yang tentunya menguntungkan pihak tertentu.

Pusing mengurus negeri ini, ya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun