Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Enam Pesan Perdamaian Kenji Goto

3 Februari 2015   15:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:54 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih sering mengikuti berbagai berita mengenai kebrutalan yang dilakukan para pemberontak ISIS terhadap orang-orang yang tidak berdosa, apakah itu pemerkosaan terhadap para perempuan, siksaan terhadap orang-orang yang mereka anggap musuh, atau yang paling mengerikan adalah membunuh para sandera kemudia mengunggahnya di saluran Youtube. Terus terang saya tidak pernah menonton file seperti itu karena terlalu horor dan menyeramkan. Bagi saya, itu adalah kebrutalan dan kebiadaban terhadap kemanusiaan. Saya tidak pernah mengerti bagaimana mungkin aksi brutal semacam ini mengatasnamakan agama tertentu. Dan saya tidak yakin, agama tertentu tersebut menyetujuinya. Tetapi simbol-simbol yang mereka gunakan menyulitkan kita untuk tidak mengidentifikasi gerakan dan perjuangan mereka sebagai yang berlandaskan pemikiran agama.

Salah satu peristiwa keji nan kejam yang diperlihatkan para pemberontak ISIS tanpa rasa bersalah adalah pembunuhan atas Kenji Goto, 47 tahun, wartawan senior asal Jepang yang sudah sering menjalankan tugas-tugas jurnalistik di Timur Tengah dan Afrika. Jika kita baca kisahnya dari media, sebenarnya dia hendak menolong sahabatnya, Haruna Yukawa, yang diculik tentara ISIS. Ketika hendak menolong itulah, Kenji juga ditangkap, bahkan ikut menyaksikan bagaimana sahabatnya itu dibunuh, dan yang terakhir dia sendiri pun dibunuh. Kejam.

Dan pagi ini, ketika saya membaca berita dari Kompas.com berjudul Pesan Cinta dan Perdamaian yang ditulis oleh Kenji Goto di halam Twitter-nya, hati ini langsung sakit. Merenungkan kata-kata Kenji sembari membayangkan situasi di seputar kematian mereka, maka kita akan sampai pada perasaan absurditas. Mengapakah ada manusia yang mau sekejam dan sebiadab itu perbuatannya?

Di halam twitternya, Kenji Goto menulis pada tanggal 7 September 2010, sebuah pesan perdamaian yang luar biasa, demikian: [1]"Tutup mata Anda dan tetaplah sabar. [2]Sekali Anda merasakan amarah dan membentak, maka (kesabaran) itu berakhir. [3]Ini seperti berdoa. [4]Membenci bukan perilaku manusia, [5]menghakimi adalah wilayah Tuhan. [6]Itulah yang diajarkan saudara Arab saya.

[caption id="attachment_366996" align="aligncenter" width="495" caption="Status di twitter yang menunjukkan pesan perdamaian."][/caption]

Saya mencoba memahami dan menafsirkan pesan mulia ini seperti berikut.

Tutuplah mata Anda dan tetaplah sabar. Ada dua hal yang dikontraskan di sini, yakni menutup mata dan bersabar. Mengapa Kenji meminta kita untuk bersabar sambil menutup mata? Ini mengandung makna yang sangat mendalam. Siapa pun yang menutup mata pasti akan merasakan ketidaknyamanan – kecuali ketika tidur atau ketika telah meninggal dunia. Karena itu, orang yang menutup mata pasti tidak sabar dan ingin cepat-cepat membukanya. Orang merasa tidak nyaman dengan dunia sekeliling ketika matanya dalam keadaan tertutup. Di situlah kedalaman pengalaman spiritual Kenji. Ketika menutup mata dan menjadi tidak sabaran itulah Kenji mengajak kita untuk terus saja menutup mata. Kalau ini dilakukan, seseorang mau tidak mau akan kembali ke dirinya. Itulah momen penting ketika orang mulai (atau terpaksa) mempertanyakan dirinya, ketika dia kembali ke dirinya. Dalam arti itu, menutup mata dan sabar (mempertahankan keadaan matanya yang tertutup), sebetulnya orang bisa kembali ke dirinya, kembali untuk semakin mengenal dirinya. Dalam keadaan mata tertutup itulah dia akan merenungkan dirinya, mengkontraskan dirinya dengan keadaan real yang selama ini ia hadapi. Ini menjadi semacam proses rohani dalam pengenalan diri.

Dalam bahasa spiritual, menutup mata sebenarnya adalah pintu masuk untuk mematikan (atau menjinakkan??) seluruh indera supaya bisa merasakan kedamaian. Ketika menutup mata, seseorang membatasi akses mata pada kenikmatan objek eksternal. Dengan begitu, dia juga membatasi akses kepada indera perasaan, penciuman, sentuhan, dan seterusnya. Bagi saya, menutup mata itu menjadi sangat simbolik untuk menutup akses terlalu kepada dunia luar dan kembali ke diri sendiri. Itulah latihan kesabaran yang baik yang dimulai dari diri sendiri.

Sekali Anda merasakan amarah dan membentak, maka (kesabaran) itu berakhir. Kalimat kedua yang ditulis Kenji ini sebetulnya menjelaskan kalimat pertama dia. Tampak jelas bahwa menutup mata memang menjadi cara melatih kesabaran. Dan ketika seseorang dipaksa untuk menutup mata atau masih belum bersedia menutup mata secara sukarela, dia akan marah sekali jika terpaksa menutup mata. Dalam kemarahannya itulah dia akan membentak dan memberontak. Jika dia lebih kuat dari orang yang memaksa dia, maka dia akan menang. Dia akan membalas dendam dan mungkin saja menghabisi mereka yang memaksanya menutup mata. Dan jika sudah begitu, kesabaran pun sirna dan pupus tak berbekas dari dalam dirinya.

Pertanyaannya, kalau pun Anda mampu membentak dan memberontak terhadap orang yang menutup matamu, apakah dengan begitu Anda adalah seorang pemenang? Dalam ukuran tentara ISIS, mungkin jawabannya adalah YA. Tetapi tidak dalam pemahaman mistik. Jika dibaca dalam konteks menutup mata berarti menutup akses kepada kenikmatan inderawi, orang yang “menang” karena berontak dari pemaksaan menutup mata sebenarnya mengalami kekalahan secara mistik. Orang ini tidak pernah bisa kembali kepada dirinya sendiri. Selamanya dia akan menjadi terasing dengan dirinya sendiri. Kata Kenji, kesabaran pun akan berakhir dari dalam diri orang itu.

Ini seperti berdoa. Kenji memang betul. Di sini kita mengerti mengapa sering sikap berdoa yang khusuk itu kita lakukan sembari menutup mata. Maknanya sangat simbolik. Menutup mata adalah sikap menghentikan akses kepada dunia luar yang dapat menghalangi seseorang berkomunikasi dengan Tuhan. Kenji benar, karena Tuhan hanya bisa ditemukan dalam keheningan. Tuhan tidak ada di antara hingar-bingar dunia. Tuhan tidak hadir di antara dentuman senapan dan gemuruh bom. Tuhan tidak hadir dalam kehidupan yang penuh siksa dan kekejian mengatasnamakan Dia.

Membenci bukan perilaku manusia .... Bagi saya, ini adalah kesadaran spiritualitas tingkat tinggi yang sudah dialami Kenji. Dia mampu melihat bahwa manusia seharusnya saling mengasihi dan bukan saling menghakimi dan menyalahkan. Saya teringat saya satu filsuf favorit saya, Raimon Gaita. Filsuf asal Australia keturunan Yahudi ini pernah mengatakan, bahwa rasa cinta dan empati manusia kepada sesamanya dapat dan hanya mungkin terjadi ketika kebaikan dari dalam diri kita bertemu dengan kebaikan dari dalam diri sesama. Pertemuan antarkebaikan inilah yang akan menghasilkan Kebaikan (K huruf besar) atau apa yang biasa disebut pengalaman rohani dalam konteks mistisisme. Pesan dari pemikiran Gaita ini sangat sederhana untuk bisa memahami apa yang ditulis Kenji. Manusia itu dalam dirinya adalah baik, dan kebaikan itulah yang dia terima dari Tuhan sebagai baik. Kebaikan ini akan semakin memancar ketika bertemu dengan kebaikan dalam diri orang lain. Artinya, jika dalam relasi dengan orang lain kita berusaha menemukan kebaikan orang tersebut, maka sebetulnya kita akan mengalami apa yang disebut Kebaikan (K besar) itu. Di sini Kenji membuat saya semakin mengerti, bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Karena itu, kebencian atau membenci sesama sebenarnya bukan perilaku manusia. Pertanyaan dari mana rasa benci itu masuk dalam kesadaran manusia tidak akan saya diskusikan di sini. Anda pembaca bisa menjawabnya sendiri, terutama jika menghubungkannya juga dengan konteks kebrutalan tentara ISIS.

.... menghakimi adalah wilayah Tuhan. Kenji mungkin tidak belajar teologi, tetapi dia sungguh mengerti penghakiman Tuhan. Ada banyak problem yang bisa didiskusikan di sini. Saya hanya ingin mengatakan demikian, bahwa jika kita diciptakan oleh Tuhan sebagai wujud cinta dan kasihnya, maka Tuhan mestinya menghakimi kita manusia dengan cinta dan kasih pula. Ketika kita salah atau jauh dari kehendakNya, Tuhan menghakimi kita dengan cinta dan kebaikannya. Tuhan akan mengingatkan kita untuk kembali kepadaNya. Dalam pemahaman Kenji, mekanisme ini cukup mudah. Asal orang berani menutup mata dan kembai kepada dirinya, dia akan menyadari seberapa jauh atau dekat hidupnya dari Tuhan. Dalam arti itu, Tuhan sebagai penghakim itu semestinya bukan Tuhan dengan wajah yang garang, bengis, kejam atau yang sedang memegang sebilah pedang untuk siap dihunuskan ke tubuh orang yang tak berdosa. Ini murni kekejian dan balas dendam manusia. Tuhan menghakimi tidak seperti manusia menghakimi dan menghabisi sesamanya. Penghakiman Tuhan adalah tanda cinta dan kasihnya ketika Dia ingin kita kembali kepada kehendakNya. Secara filosofis, penghakiman Tuhan semacam ini menyisakan kebebasan memilih dalam diri kita, dan memang seharusnya demikian.

Itulah yang diajarkan saudara Arab saya. Ini kalimat terakhir dari Kenji dalam twitternya tersebut. Tidak banyak yang bisa ditafsir dari kalimat ini, karena cukup jelas. Kita bisa menyimpulkan, bahwa perjalanan jurnalistik dan persahabatan Kenji dengan orang dari suku dan agama yang berbeda telah mengajarkan dia banyak pelajaran rohani. Mengingat Jepang adalah negara modern nan kaya, pengalaman rohani semacam ini menjadi sangat berharga bagi Kenji. Dia belajar – disebutkan secara jelas bahwa itu dari saudara Arabnya – bahwa manusia pada dasarnya baik sehingga seharusnya saling mencintai. Bahwa manusia seharusnya membangun semangat mistisisme dalam hidupnya dan bukan kekejian dan kebencian. Kenji juga belajar dari sahabatnya, bahwa Tuhan memang menghakimi manusia, tetapi dari disposisi spiritual Kenji, sulit membayangkan penghakiman Tuhan sebagai upaya balas dendam. Tuhan tetap tidak berubah sebagai yang maha pengasih dan pengampun.

Terima kasih, Kenji Goto. Engkau memang sudah tiada, tetapi mewariskan kepada kami kesadaran untuk saling mengasihi, sama seperti Tuhan telah lebih dahulu mengasihi kami. Selamat jalan, saudara. Semoga berdamai dalam kemuliaan kekal bersama Dia sang sumber cinta. RIP!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun