Sabtu, 28 November 2020 tersiar kabar bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap satu keluarga beranggotakan empat orang di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
Dikabarkan juga bahwa selain pembunuhan, di daerah yang sama enam rumah warga dan satu rumah yang digunakan sebagai tempat ibadah Gereja Bala Keselamatan, salah satu gereja Kristen Protestan, ikut dibakar. Aparat kepolisian yang dengan segera mengusut kasus ini menduga bahwa kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora mendalangi aksi pembunuhan dan pembakaran tersebut.
Berita dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru negeri. Reaksi pun bermunculan. Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) misalnya meminta agar kepolisian segera mengusut tuntas aksi terorisme ini.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Tengah meminta agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan aksi seperti ini. Organisasi keagamaan maupun sayap organisasi keagamaan juga dengan segera menyampaikan kecamannya. Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor misalnya menyebut aksi terorisme di Sigi “biadab dan keji” selain menuntut agar aparat mengusut kejadian ini sampai tuntas.
Terus Berulang
Mari kita berpikir apa adanya tanpa ada yang harus ditutup-tutupi. Untuk kesekian kalinya di Indonesia, terjadi konflik yang melibatkan tiga pihak, di mana sekelompok umat Islam yang populasinya lebih banyak memersekusi sekelompok umat Kristen yang populasinya lebih sedikit dan aparat pemerintah, baik itu kepolisian maupun pejabat pemerintahan lainnya, dituntut agar dapat mengusut tuntas persekusi tersebut dan mencegah tindakan yang sama terulang.
Selain itu, aksi pembunuhan dan pembakaran rumah di Sigi, Sulawesi Tengah bisa kita anggap sebagai wujud konflik terbarbar antara dua kelompok umat beragama ini. Sudah terlalu sering kita mendengar bahwa sekelompok umat Islam melarang sekelompok umat Kristen beribadah, entah dalam bentuk larangan beribadah di rumah, larangan beribadah di gereja, maupun larangan membangun gereja.
Lebih lanjut lagi, kita juga sering mendapati hasutan dari sekelompok umat Islam untuk tidak memilih seseorang sebagai pemimpin sebuah institusi, entah itu sebagai kepala daerah, ketua organisasi, dan sejenisnya, hanya karena orang tersebut beragama Kristen.
Harus kita akui, konflik antara umat Islam dengan umat Kristen di Indonesia sudah seperti gunung es. Konflik seperti ini selalu berulang terjadi di masyarakat. Polanya pun selalu saja sama, di mana di sebuah daerah maupun komunitas, sekelompok umat Islam yang populasinya lebih banyak memersekusi umat Kristen yang populasinya lebih banyak dalam berbagai bentuk seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Ujaran kebencian dari sekelompok umat Islam kepada umat Kristen pun juga sering digaungkan di ruang publik, terlebih ujaran kebencian yang menyebut bahwa umat Kristen sebagai orang “kafir.”