Mohon tunggu...
KFred
KFred Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati masalah sosial. Ketua LSM di salah satu wilayah di Jebodetabek.

Pengalaman bekerja selama 25 tahun dengan posisi terakhir direktur Kini memimpin LSM di sebuat wilayah di Jabodetabek. Dewan Redaksi Media Online Patroli-Indonesia.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Salah Melangkah, Menjual Rumah Malah Berujung Buntung

2 Agustus 2023   23:04 Diperbarui: 5 Agustus 2023   00:12 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari Pixabay oleh Jens Neumann 

Dua tahun lalu, tepatnya di tahun 2021, saya diajak seorang teman berkunjung ke rumah  seorang korban penipuan yang bertempat tinggal di Jakarta Selatan. 

Awalnya saya diinformasikan bahwa korban yang menjadi pemilik rumah ingin menjual rumah karena kondisi keuangannya kurang baik. Namun alih-alih mendapat untung dari menjual rumah, pemilik rumah malah menjadi korban penipuan. Karena berempati, saya setuju diajak berkunjung dan berdiskusi ke rumah korban bersama dengan teman saya.

Setiba di rumah korban, saya menjadi semakin emosi. Saya emosi karena korban ternyata telah berusia sepuh, berjalan menggunakan tongkat dan harus menjalani terapi syaraf terjepit. Dalam hati saya bergejolak. Manusia hina mana yang tega menipu dan menari di atas penderitaan seorang tua renta. 

Awal mulanya, sekitar tahun 2019, korban yang usahanya mengalami kemunduran bermaksud menjual rumahnya, karena saat itu rumah korban sedang diagunkan ke sebuah BPR di Jakarta. 

Korban berpikir daripada kelak disita, lebih baik korban cepat jual, sehingga korban juga bisa membeli rumah lagi walaupun lebih kecil. Rumah korban berlokasi di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Daerah yang terkenal cukup elit. 

Singkat cerita, melalui kenalannya, korban kedatangan seorang anak muda (pelaku) yang berpenampilan perlente dengan mobil eropa mewah yang ingin membeli rumah korban. 

Keganjilan pertama, pelaku tidak menawar harga jual rumah korban. Langsung mengiyakan. Dan mengetahui bahwa sertifikat rumah korban saat ini sedang digadaikan ke BPR dan kondisi pembayaran korban mulai macet, pelaku memposisikan dirinya sebagai juru selamat, bersedia membeli rumah korban tanpa menawar dan bersedia menebus sertifikat rumah korban di BPR.

Namun pelaku mensyaratkan bahwa kelak pelunasan dari pelaku kepada korban adalah melalui skema kredit modal Kerja ke bank. Di sini pelaku menekankan bahwa korban harus bersedia melakukan tanda tangan akte jual beli kepada pelaku walaupun pembayaran pelaku kepada korban belum lunas.

Karena desakan waktu untuk menyelamatkan rumahnya dari proses penyitaan BPR, korban setuju. Oleh korban selanjutnya membuat perjanjian dan pernyataan dari pelaku bahwa:

1. Pelaku bersedia membeli rumah korban di harga Rp 3.5M

2. Pelaku akan membayar uang muka sebesar Rp 900 jutaan untuk menebus sertifikat rumah korban di BPR

3. Pelaku meminta dilakukan Akte Jual Beli (AJB) dan balik nama ke pelaku walaupun belum lunas, dan pelaku berjanji akan melunasi kekurangan pembayaran sebesar Rp 2.5M kepada korban setelah pelaku mendapat pencairan dari bank

Semua biaya notaris dibayarkan oleh pelaku. Setelah selesai proses penandatangan AJB dan balik nama, pelaku menguasai sertifikat. Sebulan berlalu. Dua, tiga, enam hingga sembilan bulan berlalu. 

Setiap kali korban menanyakan pelunasan oleh pelaku, pelaku selalu menjawab "belum cair, belum bisa proses di bank, karena bank sedang tutup kran kredit". 

Memang kebetulan di tahun 2020, awal mula pandemi covid, seluruh bank memperketat hingga menghentikan kucuran kredit.

Hingga  tiba-tiba di akhir tahun 2021, korban yang masih menempati rumahnya di Pondok Labu tersebut, mendapatkan sepucuk surat peringatan yang ditujukan atas nama pelaku yang dikirim ke rumah korban. Ternyata pelaku telah gagal bayar angsuran untuk rumah Pondok Labu beberapa bulan. 

Korban panik menanyakan kebenaran, pelaku mulai sulit dihubungi korban. Jarang mengangkat telpon, jarang membalas pesan teks. Namun karena pelaku dan anak anaknya terus-menerus menghubungi, akhirnya korban dengan seribu satu alasan membuat janji akan segera membayar. Namun janji tinggal janji. Hingga rumah korban mendapat pemberitahuan akan masuk lelang, pelaku tetap tidak membayar.

Korban sempat meminta bantuan dari jasa penagihan. Tim penagih sempat mencari dan berhasil menemukan tempat tinggal pelaku (pelaku sempat berpindah pindah rumah). 

Saat pelaku "diserbu" tenaga penagih, pelaku kembali membuat surat pernyataan akan membayar sebagian dalam di bulan depan. Namun saat tim penagih kembali ke rumah pelaku, tim penagih tidak berhasil memasuki rumah karena pelaku membayar tenaga pengawalan dari salah satu institusi pemerintah. 

Hingga artikel ini diturunkan, korban masih belum mendapatkan hak pembayaran yang dijanjikan pelaku di awal, sementara rumah milik korban yang masih ditempatinya setiap saat terancam diusir karena rumah tersebut sudah masuk dalam proses lelang.

Memang kesalahan utama dari korban adalah begitu mempercayai kata-kata pelaku untuk melakukan AJB balik nama ke pelaku sebelum pembayaran lunas. Tapi kita jangan melupakan bahwa korban saat itu juga dalam kondisi terdesak, karena pembayaran angsuran pinjaman korban dengan agunan sertifikat rumahnya mulai macet karena kondisi keuangannya menurun. 

Di saat korban dalam kondisi terdesak, muncul seorang pembeli yang berpura pura menjadi penyelamat korban, karena bersedia segera menebus sertifikat rumah korban di BPR, walaupun dengan kondisi "paksaan" agar korban bersedia melakukan AJB balik nama sebelum korban menerima pembayaran lunas dari pelaku.

Dari segi hukum, akte jual beli yang ditandatangani korban dengan pelaku telah memiliki kekuatan yang sah. Apalagi salah satu klausal dalam AJB menyebutkan bahwa "penjual telah menerima lunas pembayaran dari pembeli". Tapi kita harus sepaham bahwa, hukum itu dibuat untuk menegakkan keadilan. 

Tentu hukum buatan manusia tidak ada yang sempurna. Selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Di sini dibutuhkan peran negara dalam memberikan keadilan. Dan kita tidak bisa begitu saja mengabaikan fakta bahwa:

1. Korban saat melakukan AJB dalam kondisi terjepit karena kondisi angsuran nya mulai macet, dan korban mengkhawatirkan aset rumah tempat tinggal diri dan keluarga nya disita oleh BPR. Bisa dikatakan korban saat menandatangani AJB tidak dalam kondisi "sehat wal'fiat secara rohani"

2. Korban telah berusaha melakukan perlindungan pada dirinya melalui perjanjian yang ditandatangani antara korban dengan pelaku, dan korban (perjanjian ini telah didaftarkan ke notaris).

3. Pelaku mengakui di dalam perjanjian tersebut bahwa ia akan melakukan pelunasan kepada korban setelah terjadi pencairan dari bank, yang ternyata selanjutnya janji ini diingkari oleh pelaku setelah kredit dari bank cair atas nama pelaku (KMK). 

Kemudian, usut punya usut yang dilakukan oleh penulis, penulis menemukan bahwa korban di Pondok Labu bukanlah satu-satunya korban oleh pelaku yang sama. Ada juga korban lain, dan semua korban yang menjadi target oleh pelaku adalah kalangan orang tua yang telah berusia sepuh. 

Namun ada juga salah satu korban dari pelaku yang masih muda yang berprofesi sebagai pengusaha. Di sini pengusaha tersebut ditawari rumah yang oleh pelaku disebutkan bahwa rumah tersebut dalam penguasan nya (sertifikat di tangan pelaku), karena pemilik rumah memiliki hutang pada pelaku. 

Setelah selesai transaksi dan pengusaha ini membayar kepada pelaku, saat pengusaha tersebut berminat mengambil kunci di rumah yang dibeli, pemilik rumah terkejut karena merasa dirinya tidak pernah berhutang pada pelaku.

Semakin lama penulis menggali masa lalu pelaku dari orang-orang yang mengenalnya, semakin banyak cerita miring yang penulis dapatkan. Ternyata pelaku memiliki banyak identitas dan di salah satu kasus, pelaku bahkan berani membuat sertifikat palsu, kemudian ditukar dengan sertifikat asli milik korban lain. 

Setelah itu pelaku membuat identitas palsu sesuai dengan identitas yang ada di sertftikat asli yang telah dipegang pelaku. Luar biasa bukan. Hebatnya lagi, hingga kini pelaku masih terus berkeliaran.

Kembali ke cerita korban di Pondok Labu. Setelah gagal menagih hak korban kepada pelaku melalui jasa penagihan, korban akhirnya memutuskan untuk melaporkan kejadiannya kepada aparat berwenang. 

Saat korban pertama kali melaporkan kasusnya, korban bercerita bagaimana kasus korban tidak langsung diterima penyidik, karena sekali lagi, AJB antara korban dengan pelaku telah memiliki kekuatan hukum. 

Namun setelah penyidik mempelajari berkas2 korban dan didiskusikan dengan atasannya, akhirnya laporan korban diterima dan dibuatkan LP di malam itu juga. 

Hanya saja, sejak kasus dilaporkan dan diterima LP-nya, terakhir korban mengabarkan penulis kalau hingga sekarang, praktis sudah hampir 1 tahun, kasus dan LP-nya belum ada progress yang baik. Mungkin memang saat ini aparat penegak hukum memiliki banyak kasus yang harus ditangani. Semoga saja kasus korban bisa segera diselesaikan. 

Ternyata, dengan berjalannya waktu, penulis menemukan bahwa kasus seperti yang dialami oleh korban Pondok Labu ternyata banyak terjadi diluar. Bukan hanya oleh pelaku yang sama, namun masih banyak pelaku-pelaku lain di luar yang terus bergerilya mencari mangsa demi memperkaya dirinya, tanpa peduli nasib korban. 

Ada korban penipuan juga di daerah Cinere, juga orang tua, janda, mengalami hal yang kurang lebih sama. Kini ia kehilangan rumahnya di Cinere, dengan hanya menerima pembayaran awal kurang dari Rp 100juta untuk transaksi rumahnya seharga Rp 2.9M.

Belajar dari kasus ini, penting bagi kita semua untuk berhati-hati dalam melakukan transaksi menjual rumah. Dengan susah payah rumah yang kita beli, kemudian di saat-saat yang tidak baik kita alami sehingga harus menjual rumah tersebut, tentunya kita berharap mendapatkan pembayaran yang sepadan dari rumah kita. Menguntungkan kita kalau bisa. Namun kalau salah melangkah, bukannya untung, malah bisa berujung buntung bagi kita.

Oleh sebab itu, menurut penulis, ada beberapa hal yang harus kita waspadai saat menjual rumah:

1. Dalam kondisi bagaimana pun juga, jangan mau menerima tawaran AJB balik nama sebelum pembayaran lunas kita terima. Apabila terdapat kondisi terjepit sebagaimana yang dialami oleh korban di Pondok Labu, di mana kalau kita tdk menerima tawaran tersebut, sertifikat bisa berujung disita bank.

Saran saya pribadi, minta pembeli membuka cek tunai dengan 2 nominal: 1 nominal kecil Rp 1juta sebagai formalitas yang bisa diuangkan kita sehari sebelum kita menandatangani AJB sebagai bukti bahwa cek tunai tersebut sah milik pembeli; dan 1 cek tunai nominal sesuai kekurangan pembayaran pembeli. 

Bilamana pembeli ternyata beritikad buruk, mengingkari janji pelunasannya, cek tunai tersebut bisa kita setorkan, dan dengan stempel penolakan dari bank tempat kita mencairkan cek tersebut, lebih mudah bagi kita untuk melaporkan kasus penipuan cek tunai kepada aparat berwenang daripada kita memperkarakan ingkar janji pembayarannya sementara posisi kita melemah karena telah menandatangani AJB. 

2. Jangan pernah lengah menjaga sertifikat asli kepada calon pembeli yang ingin melihat sertifikat rumah kita. Jangan pernah meninggalkan sertifikat tanpa pengawasan kita. Ingat kasus pelaku Pondok Labu yang memiliki riwayat menukar sertifikat palsu buatannya dengan sertifikat asli.

3. Jangan pernah membiarkan orang tua kita melakukan transaksi jual rumah tanpa pengawasan dan pengawalan kita sebagai anak anaknya. Ingat, kebanyakan korban kasus penipuan yg terjadi dalam menjual rumah adalah orang tua.

Semoga masyarakat semakin cerdas dan waspada agar tidak terulang lagi kasus penipuan sebagaimana dialami korban di Pondok Labu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun