"Prakarsa mereka dilakukan tanpa sadar bahwa akan ada yang memberikan penghargaan," ujar Emil Salim, yang oleh Cak Lontong nama Emil tersebut bermakna "Emang ahli lingkungan".
"Pedoman penjurian didasari lima hal yaitu keaslian ide, seberapa sulit tantangan yang dihadapi, seberapa manfaat yang dapat langsung dirasakan, seberapa kuat ide dapat ditiru / direplikasi orang lain, seberapa mungkin upaya dapat berlanjut tanpa ketergantungan pada inventor," ungkap Prof Fasli Jalal (Guru Besar Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta), yang turut menjadi dewan juri. Fasli Jalal mengakui tak gampangnya mencari anak muda di pelosok-pelosok Indonesia, maka dilakukan pemanfaatan jaringan organisasi kemahasiswaan di kampus-kampus dalam pengumpulan serta penyebaran informasinya.
Selain Emil Salim dan Fasli Jalal, dewan juri SATU Indonesia Awards 2017 yang berkompeten terdiri dari Prof Nila F Moeloek (Menteri Kesehatan RI), Tri Mumpuni (Pendiri Institut Bisnis & Ekonomi Kerakyatan), Onno W Purbo (Pakar Teknologi Informasi), Bambang Harymurti (Komisaris PT Tempo Inti Media Tbk), Riza Deliansyah (Head of Environment & Social Responsibility Division PT Astra International Tbk) dan Yulian Warman (Head of Public Relation Division PT Astra International Tbk).
"Sejak pertama kali SATU Indonesia Awards dilaksanakan pada tahun 2010, seiring waktu ada dinamika kategori apresiasi. Dimulai dari apresiasi kategori individual, kini telah dapat diapresiasi dua pemenang dalam satu kategori serta adanya penerima apresiasi tingkat provinsi pada tahun ini," kata Riza Deliansyah.
"Tak bermain dengan logika, namun dengan hati yang semakin di depan. Inilah yang ditonjolkan dalam pemberian apresiasi SATU Indonesia Awards. Para pemuda yang sangat menginspirasi dan diibaratkan sebagai Lilin yang Menyala bersamaan, semoga dapat membawa Indonesia lebih Terang," ujar Yulian Warman.
Ada hal menarik dari celutukan Cak Lontong, yang mendampingi Hesty Poerwadinata dalam memandu acara SATU Indonesia Awards 2017. Cak Lontong sempat mengatakan bahwa nama Prijono Sugiarto itu memiliki makna penting. Prijono itu bermakna Priyo (baca: Pria) Numero Uno. Sementara Sugiarto itu bermakna Sungguh giat agar Astra tertoto (baca: tertata). Ucapan Cak Lontong itu memang tak salah. Prijono Sugiarto yang telah karatan dalam penugasan sebagai direktur di berbagai unit usaha Grup Astra sejak bulan Mei 2001, akhirnya mendapatkan mandat untuk meneruskan tongkat estafet nakhoda Astra International sepeninggal tutup usianya Michael Dharmawan Ruslim pada bulan Maret 2010.
Prijono yang berlatar belakang pendidikan teknik dari dua universitas di Jerman, tentu sangat memahami betapa pentingnya perbaikan terus menerus (improvement) dalam pengembangan sebuah produk dan tentunya sumber daya manusia (SDM) yang berada di balik layar proses produksinya. Kualitas pendidikan serta teknologi khas Jerman, telah diakui oleh dunia dalam menghasilkan SDM yang berkemampuan menghadirkan produk terbaik dengan teknologi berkualitas tinggi.
SATU Indonesia yang lahir pada 28 Oktober 2009, merupakan buah perenungan Michael Dharmawan Ruslim dalam usaha semangat melakukan yang terbaik dalam membangun kesejahteraan dan kesatuan bangsa. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) Astra yang terintegrasi dalam SATU Indonesia, bukanlah sekedar kegiatan filantropis namun upaya menumbuhkembangkan potensi dan pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal.Â
Melalui konsep SATU Indonesia, Astra tak hanya harus menjadi kebanggaan bangsa namun dapat menciptakan nilai tambah bagi lingkungan sekitar dimanapun berada dengan segala potensi terbaik yang dimilikinya. Astra mampu dapat bertahan dan terus bertumbuh berkesinambungan berkat kesaktian mandraguna Catur Dharma. Dapat bertahan dari segala gempuran krisis (1975, 1992, 1998, 2008) serta memikat hati karyawan, investor dan pelanggan, merupakan bukti nyata nilai-nilai luhur warisan William Soeryadjaya dalam Catur Dharma menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan.Â