Mohon tunggu...
JepretPotret
JepretPotret Mohon Tunggu... Freelancer - ........ ........

........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Lelahnya Menanggung Risiko Kabut Asap Berkelanjutan

12 Juni 2017   20:24 Diperbarui: 13 Juni 2017   22:03 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dirjen PKTL Kementerian LHK San Afri Awang [Foto:JEPRETPOTRET]
Dirjen PKTL Kementerian LHK San Afri Awang [Foto:JEPRETPOTRET]
Sementara itu San Afri Awang (Direktur Jenderal PKTL Kementerian LHK) mengemukakan bahwa masyarakat lokal hanyalah mengikuti perilaku menabrak tata aturan yang dilakukan kalangan usaha pemegang konsesi HPH dan HTI yang sangat serakah. Sementara ditengarai adanya pihak akademisi perguruan tinggi, instansi pemerintah hingga wartawan, yang memiliki hubungan kedekatan dan tak dapat menolak keinginan kalangan usaha yang tak ingin berhenti mengeksploitasi. 

Dari diskusi tersebut dapat digambarkan bahwa para narasumber pun terlihat lelah melihat kondisi yang selalu terulang setiap tahunnya. Ketika ada karhutla maka akan dilakukan apel siaga, aksi pemadaman, ekspos media, diskusi / seminar, yang terus dilakukan setiap tahun. Mereka pun berharap ada tindakan nyata dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla.

Narasumber memberikan kondisi karhutla di Kalimantan dan Sumatra khususnya Propinsi Riau. Teringatlah akan pengalaman yang dikisahkan oleh Harris Gunawan (Deputy Litbang Badan Restorasi Gambut) dan Nyoman Suryadiputra (Direktur Wetlands International Indonesia) dalam diskusi terbatas "Restorasi Gambut Berbasis Teknologi Tepat Guna & Pemanfaatan Tanaman Lokal", yang diselenggarakan bulan Agustus 2016 lalu. Pengalaman lapangan tersebut mengenai cerita menarik tentang restorasi gambut dan karhutla yang berada di Propinsi Papua.


Setelah meng-googling informasi karhutla di Papua, menemukan informasi karhutla di Kabupaten Raja Ampat Propinsi Papua Barat yang terjadi pada tahun 2015. Kawasan hutan cagar alam Pulau Misool terkena dampak karhutla yang terbilang besar mencapai ratusan hektar, meski sebelumnya sering terjadi karhutla namun dalam skala kecil. Wah jadi teringat perkataan seorang travelblogger cantik bernama Marischka Prudence yang menyebut Misool sebagai destinasi wisata yang paling tiada taranya saat ini di Indonesia.

Namun untuk kondisi tahun 2016 tak menemukan satu data pun mengenai karhutla di Papua.
Kondisi lain yang cukup menjadi  keprihatinan adalah semakin banyaknya sampah-sampah non-organik di kawasan taman nasional laut Raja Ampat. Sampah ini justru berasal dari wisatawan yang meninggalkan bungkus/puntung rokok, bungkus makanan kecil hingga botol air mineral. Kemudian perilaku penumpang kapal ferry dan Pelni yang masih saja banyak membuang sampah kecil ke laut.

Nah yang baru saja menjadi pusat perhatian dunia adalah rusaknya terumbu karang di Raja Ampat oleh kapal pesiar asing pada awal Maret 2017. Semakin kompleks gangguan dan penurunan kualitas lingkungan hidup di Raja Ampat. Setelah puluhan tahun lebih meninggalkan ibukota Propinsi Papua (dahulu Irian Jaya), rasanya kini ingin sekali meninjau langsung wilayah eksotik Raja Ampat di Propinsi Papua Barat tersebut. 

Artikel terkait Lingkungan Hidup & Kehutanan:

Saatnya Pengintegrasian Sistem Informasi PHPL

Pegang Kendali Pelestarian Hutan Sambil Memetik Sampek

Dua Dirjen KLHK di Areal Gambut Bekas Terbakar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun