Mohon tunggu...
JepretPotret
JepretPotret Mohon Tunggu... Freelancer - ........ ........

........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Lelahnya Menanggung Risiko Kabut Asap Berkelanjutan

12 Juni 2017   20:24 Diperbarui: 13 Juni 2017   22:03 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka diperlukan pula pengujian empirik terhadap beberapa hal kebenaran akan manfaat yang diperoleh. Kelompok Masyarakat (Pokmas) Peduli Api harus dipertanyakan, apakah sudah tampak wujudnya dan seperti apakah hasil pekerjaan yang telah dilakukannya. Alternatif pengembangan teknologi tanpa perlu membakar lahan, harus benar-benar dipersiapkan agar dapat diikuti oleh masyarakat. Mekanisasi pertanian perlu dilakukan pola keterbukaan, agar tidak terjadi kemubaziran bantuan alat pertanian pemerintah kepada masyarakat. Dilakukan evaluasi terhadap sekat kanal dan embung-embung, apakah dapat sesuai dengan pendekatan kultur keseharian masyarakat setempat. Hal-hal kecil sepert ini diyakini akan dapat mengeliminasi faktor pembiaran tersebut.

Mulyono Rahadi Prabowo (Deputy Klimatologi BMKG) mengatakan berdasarkan evaluasi musim hujan tahun 2016 akan lebih basah dibandingkan tahun 2015. Curah hujan bulan Mei 2017 berkisar antara 100-200 mm per bulan terjadi di sebagian besar wilayah Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Untuk wilayah Nusa Tenggara sebagian besar sudah masuk musim kemarau.

Pada periode Juni-Juli sebagian besar wilayah Indonesia sudah masuk musim kemarau, namun wilayah utara khatulistiwa masih tinggi peluang hujannya karena masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Awal Musim Kemarau 2017 di sebagian besar wilayah Indonesia diprakirakan Mundur (48,2%), Sama (33,5%) dan Maju (18,3%). Puncak musim kemarau 2017 diprakirakan dominan terjadi pada bulan Juli-September 2017. Sementara kondisi musim kemarau 2017 tidak sekering 2015 dan sebasah 2016.

Bambang Hero Saharjo (Akademisi IPB) menyatakan ada sekitar 90 jenis gas dimana 50 diantaranya merupakan gas beracun dari polusi karhutla, termasuk di dalamnya adalah hidrogen sianida (HCN) dan sejenis dioksin yang berbahaya bagi ibu hamil. Akumulasi titik api (hotspots) mengalami peningkatan kembali sejak tahun 2011 hingga 2015 di seluruh Indonesia. Diawal tahun 2017 telah muncul hotspots di beberapa daerah seperti Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

Lalu bagaimana caranya agar Indonesia segera menuju nir karhutla? 

Pertama penuhi seluruh kewajiban oleh "penanggungjawab usaha" dan para pemangku kepentingan terkait. Awasi pelaksanaannya dengan benar, tegas, serta tanpa kompromi.

Kedua dengan mengutamakan tindakan pencegahan dan jangan "berhalakan" penggunaan alat berat dalam pemadaman kebakaran.

Ketiga dengan aplikasikan seluruh aturan yang ada tanoa prasyarat apapun, mulai dari Undang-Undang No.32/2009 hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri LHK.

Keempat dengan penegakkan hukum tegas tanpa syarat seperti sanksi administrasi, pidana, perdata, aplikasi multidoor serta ditindaklanjuti dengan proses eksekusi.

Kelima dengan mengembalikan peran dan fungsi akademisi perguruan tinggi negeri dan lembaga kementerian sebagai abdi negara. Ini dengan adanya kecenderungan pimpinan PTN dan lembaga yang mengamini para stafnya dalam memberikan perlindungan tanpa kendali para penjahat lingkungan.

Oka Karyanto (Akademisi UGM) melihat ketidaksiapan masyarakat daerah rawa gambut di Indonesia akibat perubahan sosial yang terjadi. Ini akibat lahan warga yang kering akibat kanalisasi lahan HTI seperti sawit dan akasia. Sementara warga tak siap ketika terjadi luapan air / banjir, padahal rawa gambut merupakan rumah bagi air.

Komoditas lahan rawa gambut (sagu, karet, dll) yang tak sejalan dengan komoditas konsesi HTI (sawit dan akasia), kini diperparah dengan kejatuhan harga komoditas karet dunia.

Perhatian pemerintah harus difokuskan pada apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Isu karhutla bukanlah hal penting pada desa yang berada dekat dalam cagar alam. Ini sangat rentan karena warga tingkat tapak sangat lebih peduli apakah merek dapat memenuhi kebutuhan pangan pada hari itu juga.

Kemudian penyediaan piranti pencegahan karhutla seperti pompa air yang masih jauh dari apa yang dibutuhkan. Lalu juga diperlukan kebijakan penggunaan lahan tidur dan terlantar yang biasanya dimiliki "orang kuat". Dicontohkan ada Peraturan Desa yang akan mengambil alih lahan tidur yang jelas pemakaiannya selama tiga tahun.

Foto: JEPRETPOTRET
Foto: JEPRETPOTRET
Foto:JEPRETPOTRET
Foto:JEPRETPOTRET
Imam Prasodjo (Sosiolog UI) dapat melihat bahwa telah terjadi penurunan angka karhutla hingga mencapai lebih dari 80%. Tentu ini setelah mengalami pembelajaran dari tahun sebelumnya, serta tingginya tingkat partisipasi masyarakat melalui informasi berjejaring yang memberitahukan adanya lokasi titik api (hotspots) terbaru.

Partisipasi masyarakat lokal ini dimungkinkan dalam penanganan karhutla skala kecil, yang memang sangat dekat / ada dalam wilayah masyarakat tersebut. Namun pengumpulan warga ini tak mungkin  hanya untuk kesiapsiagaan karhutla. Alangkah baiknya dilakukan pembentukan organisasi sebagai wujud pemberdayaan ekonomi masyarakat, namun disisipkan program siaga bencana karhutla.

Tingkat kesadaran warga akan timbul ketika mereka menyadari adanya ancaman dan gangguan kehidupan sehari-hari dari karhutla. Misalnya ketika terjadi turunnya hewan liar hutan ke perkampungan mereka, maupun terbakarnya kebun-kebun garapan mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun