Kabut asap berkelanjutan. Ternyata oh ternyata, tak hanya pembangunan saja yang mesti berkelanjutan. Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pun dapat terus berkelanjutan, menuruti kepentingan perekonomian kalangan tertentu. Kejadian "hari gelap" itu lagi itu lagi, yang terus berulang kembali setiap tahunnya. Dikenal sebagai bangsa yang cepat 'pelupa' dan 'pemaaf', memang masyarakat perlu diingatkan agar tidak selalu mudah melupakannya. Memangnya masyarakat tak lelah menanggung risiko kabut asap yang berkelanjutan?Â
Dalam Green Ramadhan KLHK yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) pada 9 Juni 2017 lalu di Manggala Wanabakti Jakarta Pusat, kami mengupas isu karhutla (forest fire) yang sangat mengganggu sendi-sendi kehidupan bernegara. Narasumber yang hadir antara lain berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi Klimatologi & Geofisika (BMKG), Akademisi Institut Pertanian Bogor, Akademisi Universitas Gadjah Mada, Sosiolog Universitas Indonesia, Penggiat Lingkungan Propinsi Riau, dengan moderator Effransjah Siregar.
Woro Supartinah (Penggiat Lingkungan Masyarakat Riau) mengingatkan kembali kabut asap pada tahun 2015 di Riau, merupakan peristiwa karhutla terberat yang harus dilalui dalam 18 tahun terakhir. Catatan kelam tersebut mengakibatkan kerugian nilai ekonomi sebesar Rp 200 triliun. Selain banyak anak-anak yang tak dapat bersekolah dan terganggunya moda transportasi, terjadi pula peningkatan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Diperkirakan ada kurang lebih 97.000 dari 425.000 orang yang menderita ISPA. Tercatat 19 orang meninggal dunia, di mana tiga di antaranya adalah anak-anak.
Biaya operasional sebuah helikopter untuk pemadaman karhutla (combating fire) mencapai  6.000 dolar AS per jamnya. Biaya penanggulangan karhutla selama satu bulan pada tahun 2014 mencapai Rp 164 milyar.
Karhutla itu bukan sekadar insiden yang biasa, melainkan bencana yang disebabkan adanya niat kejahatan. Karhutla terjadi disebabkan pengelolaan lahan gambut yang tidak tepat guna. Penyimpangan terhadap pemberian izin Hutan Tanaman Industri (HTI), di mana pengeringan lahan gambut dengan sekat kanal-kanal. Padahal lahan gambut harus dalam keadaan basah. Gambut yang kering itu bagaikan hamparan bensin/minyak tanah yang sewaktu-waktu siap menjadi nyala api.
Tanah gambut secara fisik sebenarnya tidak subur, maka selain faktor ekonomis dengan pembakaran diyakini akan lebih menyuburkan tanah.
Adapula motif lain pembakaran itu dilakukan yaitu untuk melakukan intimidasi/pengusiran terhadap penduduk setempat yang berkonflik dengan perusahaan pemegang izin HTI.
Audit di tahun 2014 menunjukkan banyak ketidakpatuhan dilakukan oleh para pemegang konsesi HTI. Lebih dari 90% sekitar 17 obyek yang diaudit, tidak menyediakan sarana pencegahan kebakaran yang sesuai standardisasi.
Melalui berbagai investigasi lapangan, dapat ditemukan akan adanya usaha penanaman sawit dan akasia pasca karhutla. Kerusakan ekosistem yang terang benderang dan menyengsarakan rakyat ini, diusulkan oleh Woro Supartinah agar dilakukan peninjauan kembali aturan secara tegas atas konsesi yang telah dikeluarkan.
Imunitas negatif nampak pada masyarakat Sumatera dan Kalimantan yang telah kebal terhadap namanya asap, ini terlihat beraktivitas dan berkendara di jalanan tanpa menggunakan masker maupun helm. Padahal telah terpampang papan informasi elektronik indeks pencemar udara yang menandakan warna hitam pekat, sebagai alarm kondisi udara melewati ambang batas. Ini kemungkinan ada anggapan bahwa asap tidak membunuh saat itu juga.
Rumusan sederhana dari bencana asap (BA) yaitu fungsi (kekeringan tanah, angin, sumber api, kelas pohon, target ekonomi, luas wilayah) dan pembiaran.
Faktor pembiaran merupakan hal yang harus dihilangkan dalam penanganan kabut asap. Ini diperlukan agar tak sekedar retorika saja.
Ada dua hal yang selalu terulang dalam penanganan isu karhutla. Pertama adanya perilaku selalu merasa berhasil tanpa ada keinginan melakukan evaluasi mendalam pelaksanaan program. Kemudian kedua adalah anggaran dan program yang dis-kontinyu disertai tidak adanya kemauan untuk mengevaluasi.
Maka diperlukan pula pengujian empirik terhadap beberapa hal kebenaran akan manfaat yang diperoleh. Kelompok Masyarakat (Pokmas) Peduli Api harus dipertanyakan, apakah sudah tampak wujudnya dan seperti apakah hasil pekerjaan yang telah dilakukannya. Alternatif pengembangan teknologi tanpa perlu membakar lahan, harus benar-benar dipersiapkan agar dapat diikuti oleh masyarakat. Mekanisasi pertanian perlu dilakukan pola keterbukaan, agar tidak terjadi kemubaziran bantuan alat pertanian pemerintah kepada masyarakat. Dilakukan evaluasi terhadap sekat kanal dan embung-embung, apakah dapat sesuai dengan pendekatan kultur keseharian masyarakat setempat. Hal-hal kecil sepert ini diyakini akan dapat mengeliminasi faktor pembiaran tersebut.
Mulyono Rahadi Prabowo (Deputy Klimatologi BMKG) mengatakan berdasarkan evaluasi musim hujan tahun 2016 akan lebih basah dibandingkan tahun 2015. Curah hujan bulan Mei 2017 berkisar antara 100-200 mm per bulan terjadi di sebagian besar wilayah Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Untuk wilayah Nusa Tenggara sebagian besar sudah masuk musim kemarau.
Pada periode Juni-Juli sebagian besar wilayah Indonesia sudah masuk musim kemarau, namun wilayah utara khatulistiwa masih tinggi peluang hujannya karena masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Awal Musim Kemarau 2017 di sebagian besar wilayah Indonesia diprakirakan Mundur (48,2%), Sama (33,5%) dan Maju (18,3%). Puncak musim kemarau 2017 diprakirakan dominan terjadi pada bulan Juli-September 2017. Sementara kondisi musim kemarau 2017 tidak sekering 2015 dan sebasah 2016.
Bambang Hero Saharjo (Akademisi IPB) menyatakan ada sekitar 90 jenis gas dimana 50 diantaranya merupakan gas beracun dari polusi karhutla, termasuk di dalamnya adalah hidrogen sianida (HCN) dan sejenis dioksin yang berbahaya bagi ibu hamil. Akumulasi titik api (hotspots) mengalami peningkatan kembali sejak tahun 2011 hingga 2015 di seluruh Indonesia. Diawal tahun 2017 telah muncul hotspots di beberapa daerah seperti Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Lalu bagaimana caranya agar Indonesia segera menuju nir karhutla?Â
Pertama penuhi seluruh kewajiban oleh "penanggungjawab usaha" dan para pemangku kepentingan terkait. Awasi pelaksanaannya dengan benar, tegas, serta tanpa kompromi.
Kedua dengan mengutamakan tindakan pencegahan dan jangan "berhalakan" penggunaan alat berat dalam pemadaman kebakaran.
Ketiga dengan aplikasikan seluruh aturan yang ada tanoa prasyarat apapun, mulai dari Undang-Undang No.32/2009 hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri LHK.
Keempat dengan penegakkan hukum tegas tanpa syarat seperti sanksi administrasi, pidana, perdata, aplikasi multidoor serta ditindaklanjuti dengan proses eksekusi.
Kelima dengan mengembalikan peran dan fungsi akademisi perguruan tinggi negeri dan lembaga kementerian sebagai abdi negara. Ini dengan adanya kecenderungan pimpinan PTN dan lembaga yang mengamini para stafnya dalam memberikan perlindungan tanpa kendali para penjahat lingkungan.
Oka Karyanto (Akademisi UGM) melihat ketidaksiapan masyarakat daerah rawa gambut di Indonesia akibat perubahan sosial yang terjadi. Ini akibat lahan warga yang kering akibat kanalisasi lahan HTI seperti sawit dan akasia. Sementara warga tak siap ketika terjadi luapan air / banjir, padahal rawa gambut merupakan rumah bagi air.
Komoditas lahan rawa gambut (sagu, karet, dll) yang tak sejalan dengan komoditas konsesi HTI (sawit dan akasia), kini diperparah dengan kejatuhan harga komoditas karet dunia.
Perhatian pemerintah harus difokuskan pada apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Isu karhutla bukanlah hal penting pada desa yang berada dekat dalam cagar alam. Ini sangat rentan karena warga tingkat tapak sangat lebih peduli apakah merek dapat memenuhi kebutuhan pangan pada hari itu juga.
Kemudian penyediaan piranti pencegahan karhutla seperti pompa air yang masih jauh dari apa yang dibutuhkan. Lalu juga diperlukan kebijakan penggunaan lahan tidur dan terlantar yang biasanya dimiliki "orang kuat". Dicontohkan ada Peraturan Desa yang akan mengambil alih lahan tidur yang jelas pemakaiannya selama tiga tahun.
Partisipasi masyarakat lokal ini dimungkinkan dalam penanganan karhutla skala kecil, yang memang sangat dekat / ada dalam wilayah masyarakat tersebut. Namun pengumpulan warga ini tak mungkin  hanya untuk kesiapsiagaan karhutla. Alangkah baiknya dilakukan pembentukan organisasi sebagai wujud pemberdayaan ekonomi masyarakat, namun disisipkan program siaga bencana karhutla.
Tingkat kesadaran warga akan timbul ketika mereka menyadari adanya ancaman dan gangguan kehidupan sehari-hari dari karhutla. Misalnya ketika terjadi turunnya hewan liar hutan ke perkampungan mereka, maupun terbakarnya kebun-kebun garapan mereka sendiri.
Dari diskusi tersebut dapat digambarkan bahwa para narasumber pun terlihat lelah melihat kondisi yang selalu terulang setiap tahunnya. Ketika ada karhutla maka akan dilakukan apel siaga, aksi pemadaman, ekspos media, diskusi / seminar, yang terus dilakukan setiap tahun. Mereka pun berharap ada tindakan nyata dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla.
Narasumber memberikan kondisi karhutla di Kalimantan dan Sumatra khususnya Propinsi Riau. Teringatlah akan pengalaman yang dikisahkan oleh Harris Gunawan (Deputy Litbang Badan Restorasi Gambut) dan Nyoman Suryadiputra (Direktur Wetlands International Indonesia) dalam diskusi terbatas "Restorasi Gambut Berbasis Teknologi Tepat Guna & Pemanfaatan Tanaman Lokal", yang diselenggarakan bulan Agustus 2016 lalu. Pengalaman lapangan tersebut mengenai cerita menarik tentang restorasi gambut dan karhutla yang berada di Propinsi Papua.
Setelah meng-googling informasi karhutla di Papua, menemukan informasi karhutla di Kabupaten Raja Ampat Propinsi Papua Barat yang terjadi pada tahun 2015. Kawasan hutan cagar alam Pulau Misool terkena dampak karhutla yang terbilang besar mencapai ratusan hektar, meski sebelumnya sering terjadi karhutla namun dalam skala kecil. Wah jadi teringat perkataan seorang travelblogger cantik bernama Marischka Prudence yang menyebut Misool sebagai destinasi wisata yang paling tiada taranya saat ini di Indonesia.
Namun untuk kondisi tahun 2016 tak menemukan satu data pun mengenai karhutla di Papua.
Kondisi lain yang cukup menjadi  keprihatinan adalah semakin banyaknya sampah-sampah non-organik di kawasan taman nasional laut Raja Ampat. Sampah ini justru berasal dari wisatawan yang meninggalkan bungkus/puntung rokok, bungkus makanan kecil hingga botol air mineral. Kemudian perilaku penumpang kapal ferry dan Pelni yang masih saja banyak membuang sampah kecil ke laut.
Nah yang baru saja menjadi pusat perhatian dunia adalah rusaknya terumbu karang di Raja Ampat oleh kapal pesiar asing pada awal Maret 2017. Semakin kompleks gangguan dan penurunan kualitas lingkungan hidup di Raja Ampat. Setelah puluhan tahun lebih meninggalkan ibukota Propinsi Papua (dahulu Irian Jaya), rasanya kini ingin sekali meninjau langsung wilayah eksotik Raja Ampat di Propinsi Papua Barat tersebut.Â
Artikel terkait Lingkungan Hidup & Kehutanan:
Saatnya Pengintegrasian Sistem Informasi PHPL
Pegang Kendali Pelestarian Hutan Sambil Memetik Sampek
Dua Dirjen KLHK di Areal Gambut Bekas Terbakar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H