Sineas Eros Djarot berusaha menampilkan sikap pola pikir masyarakat Aceh terhadap kolonialisme pada jamannya, dalam film Tjoet Nyak Dhien yang diproduksi tahun 1998. Riri Reza dalam film Laskar Pelangi tahun 2008, berusaha menampilkan perjuangan hidup kelompok masyarakat dalam memperoleh akses pendidikan yang baik di Pulau Belitung.
Dari alur kedua film tersebut dapat jelas terlihat suguhan muatan (content) kearifan lokal. Sementara itu film aksi The Raid 2 di tahun 2014, tak menampilkan kehidupan khas masyarakat Indonesia namun cerminan dunia kekerasan internasional seperti dalam film asing.Â
Inilah contoh film nasional yang dikemukakan oleh Tino Saroengallo dalam Dialog Film Nasional bertemakan "Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Film Indonesia Di Tengah Budaya Asing", yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Film (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI bersama Forum Wartawan Hiburan Indonesia  (ForWan) di Santika Premiere Slipi Jakarta Barat.
Dialog Film Nasional sesi pertama ini membahas "Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Film Indonesia", yang menghadirkan narasumber Tino Saroengallo (Produser Film), Maman Wijaya (Kepala Pusat Pusbangfilm Kemendikbud RI), Ahmad Syaikhu (Jurnalis Film).Â
Gaya bertutur sebuah film akan berpakem pada sebuah skenario. Skenario merupakan kunci utama dan cikal bakal dalam memasukkan unsur kearifan lokal. Â
Tino Saroengallo lalu menjelaskan bahwa guru besar film yang menjadi kiblat dunia adalah film-film Barat. Diakui ini yang menjadi tren yang diikuti ("dijiplak") oleh dunia perfilman. Â Jika ada terobosan untuk membuat film diluar pakem maka dianggap aneh dan bereksperimen.
Penggunaan bahasa dalam skenario film mengalami perkembangan menyesuaikan dengan kearifan lokal. Film "Genghis Khan" yang diproduksi tahun 1965, menggunakan bahasa Inggris dan diproduksi di sebuah studio. Kemudian berkembang penggunaan bahasa lokal dalam sebuah film di negara tempat produksi film.
Film nasional kini pun tak lagi memaksakan pemain berbahasa Indonesia dengan dialek daerah. Bagi yang tak memahami alur cerita film, kini dimudahkan dengan bantuan teknologi sub-title. Film "Turah" (2016) merupakan contoh film yang menggunakan secara keseluruhan bahasa Jawa Ngapak (Tegal) dalam cerita film. Hal menggembirakan ini merupakan perwujudan pelestarian bahasa daerah, sebagai perwujudan merekam unsur budaya dari sebuah kearifan lokal.Â
Acungan jempol patut diberikan pada Mouly Surya yang pada tahun 2017 ini, berani mengangkat budaya kekerasan di Sumba Barat dalam film "Marlina: Si Pembunuh Dalam Empat Babak". Jangan kan publik internasional, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui berlakunya budaya kekerasan membawa parang dalam keseharian hidup warga Sumba Barat.Â
Perwujudan kearifan lokal dalam pola pikir sebuah film, dapat dilihat dari peran penjahat yang dilakoni oleh aktor seperti Farouk Afero, Soekarno M Noor, Didi Petet. Penjiwaan peran lintah darat dalam film Pasir Berbisik, dapat diperankan baik oleh Didi Petet yang sangat jauh bertolak belakang perilakunya.Â
Film yang mengandung muatan kearifan lokal, dapat dijadikan alat tangkal penetrasi kebudayaan asing maupun sebagai media propaganda. Dahulu meskipun cerita film telah ada unsur budaya dan kearifan lokal, dapat dilarang beredar maupun tak dapat diproduksi karena dianggap  propaganda yang tak sesuai kebijakan pemerintah.Â
Pemerintah dalam mengembangkan dunia industri perfilman nasional, cukup dengan memberikan kemudahan berbagai perizinan serta insentif perpajakkan yang memberatkan sebuah produksi film.Â
Sementara untuk pengembangan SDM perfilman nasional, pemerintah dapat membuat pelatihan kompetensi teknis bagi kru film, penulisan bagi jurnalis film, peningkatan kesadaran penonton film dalam mengapresiasi sebuah karya.Â
Pelatihan seperti diatas akan lebih berguna ketimbang memaksakan membiayai produksi sebuah film yang hanya asal tercatat bahwa sebuah lembaga telah membuat film.Â
Perkembangan menakjubkan film pendek & dokumenter dari generasi muda pembuat film (filmmakers) yang masih pelajar SMP dan SMK, inilah yang patut dibantu oleh pemerintah dalam penyediaan anggaran pelatihan, produksi hingga peredaran film. Film dokumenter merupakan wujud cerminan keadaan masyarakat saat film dibuat.
Semakin banyak dan adanya peningkatan mutu film, maka semakin kuat upaya pelestarian kearifan lokal. Dalam realita perkembangan modern ini, dipastikan ada adaptasi dari sebuah kearifan lokal. Namun adaptasi kearifan lokal ini tidak berarti dapat begitu saja dipengaruhi oleh kebudayaan asing.Â
Sementara itu Ahmad Syaikhu menceritakan pengalaman dalam melihat langsung produksi beberapa film termasuk Boven Digoel. Syaikhu yang mengenal baik sang bapak Daryono dan sang anak Wicaksono Wisnu Legowo yang memproduksi film "Turah" (2016), mengatakan sempat ada pertentangan keduanya dalam penggunaan bahasa Jawa Ngapak Tegal dalam dialog film. Adegan film yang kental logat Tegal ini, sarat muatan vulgar seks dan kekuasaan. Realita ini memang hidup ditengah lapisan masyarakat terbawah yang merasa banyak kehilangan pengharapan. Â Â Â
Ketika ikut dalam menyaksikan produksi film Boven Digoel, Syaikhu melihat sang aktris Christine Hakim yang sangat apresiasi atas semangat para warga lokal Papua  dapat cepat memahami naskah skenario serta dengan kemampuan akting yang sangat natural. Adat lokal Papua sangat menghormati wanita hamil, yang mengharuskan steril dalam batas-batas tertentu. Ini yang menjadi tantangan tim produksi film dalam menyelaraskan Â
Sambutan luar biasa penayangan di bioskop dengan penambahan layar, serta dalam masa tayang hingga satu bulan lamanya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat seolah tengah berpesta merayakan dimulainya kebangkitan film Papua.Â
Maman melihat film Boven Digoel itu merupakan contoh konkret kearifan lokal diangkat dalam sebuah film, yang benar-benar dihadirkan secara nyata di hadapan kita. Menurut para ahli dikatakan bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang yang baik. Pikiran moderat menghadapi infiltrasi adalah bagaimana sebuah konten lokal dapat go internasional. Â
Film Boven Digoel dapat dikategorikan sebagai "menyerang yang baik" dalam mempromosikan kearifan lokal dapat dikenal dunia internasional. Masih banyak kearifan lokal dari dongeng-dongeng berbagai suku-suku seantero nusantata yang perlu dieksplorasi. Hal ini untuk mengangkat potensi kearifan lokal, baik itu dilakukan sebagai penetrasi ke dunia internasional maupun sebagai filter pertahanan masuknya budaya asing.Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H