Ody pun telah memberikan jaminan keselamatan kerja bagi kru dan artis film, dengan asuransi dari BPJS Ketenagakerjaan. Akan tak lagi muncul rasa was-was dalam kegiatan produksi film, baik bagi produser maupun pekerja film.Â
Ody juga merasa selalu optimis film nasional dapat diterima pasar internasional. Sejak dahulu film nasional dapat diterima baik oleh publik perfilman di negeri jiran Malaysia. Namun diperlukan promosi yang besar dan strategi khusus dalam menayangkan film di Malaysia.Â
Ody justru melihat regulasi Daftar Negatif Investasi (DNI) di bidang perfilman, justru akan memacu dirinya untuk menjaga terus kualitas produk film. Dirinya merasa senang akan ada banyaknya bioskop di berbagai daerah, namun perlu kebijakan yang tegas seperti berapa jumlah film asing yang masuk, jangan terlalu membatasi peredaran film nasional yang memang berkualitas.Â
Harapan berikutnya dari peranan pemerintah adalah dapat memberikan insentif yang menarik ataupun mendukung melalui bantuan promosi. Misalkan menyediakan plasma / televisi besar di jalanan utama seperti Thamrin dan Sudirman, sehingga promo film dapat ditayangkan bergantian untuk dikenal masyarakat.Â
Dibukanya keran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), terlihat justru film-film Indonesia semakin diminati penonton terutama di Malaysia. Sementara perlu diperangi ketika ada banyaknya aturan yang tidak jelas, akibat adanya mafia-mafia menggurita yang menyebabkan film nasional tak laku di negeri sendiri. Nantinya ketika pihak perfilman asing ingin masuk ke Indonesia, maka diperlukan percepatan sertifikat kompetensi bagi insan perfilman nasional serta aturan transparansi bagi pekerja asing.Â
Ichwan melihat justru birokrasi kadang sering menjadi penghambat ketika ingin membuat film di daerah ataupun di kampung halamannya sendiri. Namun ada juga pihak birokrasi yang aktif mendukung, seperti Walikota Bandung Ridwan Kamil yang sangat mendorong eksistensi perfilman di Jawa Barat.Â
Ketika ingin membuat film di daerah, Ichwan masih mempercayakan pada kru (SDM) film asal Jakarta dengan pertimbangan belum adanya kecakapan transfer teknologi oleh SDM lokal setempat. Ini untuk menghindari risiko dalam penguasaan perangkat data teknologi kamera terkini. Dalam pembuatan "Silariang the Movie" (2017), Ichwan sangat serius dengan melakukan riset yang ketat di tiga wilayah Sulawesi Selatan. Meskipun dibintangi tiga pemain film asal Jakarta, namun mereka dapat melebur sebagai bagian dari masyarakat Bugis ~ Makassar.Â
Sementara adanya 57 juta pelajar di Indonesia, merupakan pintu masuk terbaik untuk lebih mengenalkan kearifan lokal melalui media film. Kearifan lokal itu sudah seharusnya menjadi kekuatan perfilman nasional. Ichwan sebagai produser melihat kearifan lokal dalam film maupun budaya seharusnya tak hanya dapat dinikmati di dalam negeri, namun juga dapat dinikmati publik internasional. Meyakinkan para investor untuk menawarkan tema kearifan lokal, merupakan kendala dalam produksi suatu film.Â
Bella Luna melihat telah ada kemajuan dalam industri perfilman nasional. Namun ada yang mengganjal hatinya sebagai pemain (artis) film, yaitu tidak adanya suatu jaminan kesehatan di lokasi syuting. Â Ini berkaca saat melakukan syuting di hutan, yang begitu memiliki risiko tinggi akan bahaya yang mengintai. Maka perlu adanya program asuransi bagi artis film. Lalu Bella juga melihat perlunya kualitas sebuah skenario film, untuk dapat dipertajam apa misi yang diinginkan dalam sebuah film.Â