Pagi itu anak-anak berkumpul di ruang tunggu sekolah. Ekspressi wajah anak-anak sangat beragam. Dini tampak murung. Lini dan Anti biasa-biasa saja. Luna gelisah. Ia meremas-remas jemari dan sekali-kali menundukkan kepala. Ia sangat khawatir nilai rapor yang akan diterima orang tua tidak sesuai dengan harapan ayah dan ibunya. Kegelisahannya semakin memuncak ketika ibunya akan menunjukkan hasil belajar semester satu. “Kamu berada di rangking 10 dari seluruh kelas. Ibu sudah mengingatkanmu berkali-kali agar dapat peringkat 1, atau peringkat 2, kalau tidak peringkat 3. Ayo, pulang. Nanti kita bicarakan di mobil.”
Luna tampak hanya diam. Ia tidak berani menjawab ocehan ibunya yang bersikap menghakimi. Sepanjang perjalanan pulang, ibunya tak henti-hentinya mengomel tentang ranking Luna yang tidak mampu memenuhi kemauan ibunya. Konsep ibunya hanya berorientasi ranking. Sayangnya, sang ibu tak mampu melihat secara jeli kemampuan Luna yang luar biasa. Berdasarkan data ranking, selisih nilai antara ranking tidak terlalu jauh, hanya hitungan satuan tidak sampai puluhan.
Zaman sekarang masih banyak orang tua mengukur prestasi belajar anak berdasarkan angka-angka di rapor. Sang ibu hanya memiliki kaca mata kuda dan lensanya tidak berwarna. Orang tua lupa bahwa proses belajar tidak hanya kognitif tetapi juga meliputi afeksi dan motorik. Dari segi kognitif, hasil belajar Luna tergolong sangat baik. Data menunjukkan bahwa rata-rata nilai-nilainya di atas 8,5. Tetapi karena orang tua memiliki ambisi agar anak mendapat rangking antara 1 hingga 3 maka ia mengabaikan usaha anak yang telah menunjukkan prestasi baik.
Mengapa sikap orang tua demikian? Setelah ditelusuri ternyata si anak mendapat beasiswa dari perusahaan tempat orang tua bekerja. Kata ‘ranking’ menjadi nilai materi. Orang tua hanya menilai proses belajar dari angka-angka. Sikap ini menjadi bagian dari karakter Luna dalam proses pembelajaran.
Berbagai upaya dilakukan Luna untuk menunjukkan bahwa ia lebih unggul di dalam kelas. Ia kurang menunjukkan sikap menghargai teman. Ungkapan dan perilakunya cendrung arogan. Teman-teman tidak menyukainya. Berdasarkan sharing, teman sekelas tidak mau berteman dengan Luna karena bahasanya terlalu tinggi. Ia tidak memahami makna kata yang diungkapkan. Suatu ketika, Luna pernah ditolak oleh teman-teman dalam pembentukan kelompok belajar. Ia hanya mau berkelompok dengan orang tertentu. Di dalam kelompok ia bersikap dominan. Bahasanya kasar. Kata – katanya sering kali menyinggung perasaan. Ketika ditelusuri, ternyata perilaku itu merupakan representasi situasi keluarga yang dialami Luna setiap hari.
Di satu sisi, pengetahuan orang tua tentang makna pembelajaran yang holistik tidak diimplementasikan dalam bersikap dan berperilaku sehingga hanya berorientasi kesombongan belaka. Nilai materi mengalahkan nilai-nilai daya juang, nilai penghargaan, nilai sopan, nilai kejujuran, nilai religiusitas. Konsep orangtua yang benar tentang belajar akan hidup akan menjadi cermin di dalam diri setiap anak. Demikian halnya, bila orang tua beranggapan bahwa materi menjadi tolok ukur keberhasilan maka anak akan mengabaikan orang lain. Konsep orang tua yang keliru, akan semakin menjauhkan anak dari hakikat belajar yang sesungguhnya dan mengkerdilkan nilai-nilai luhur yang dikehendaki Tuhan dalam diri anak. Tugas orang tua adalah membantu anak menjadi manusia yang terintegrasi baik segi kognisi, afeksi serta psikomotorik. Semoga anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang memiliki nilai-nilai luhur sehingga ia memiliki makna bagi orang lain dan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H