Mohon tunggu...
Jenny Thalia Faurine
Jenny Thalia Faurine Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pelajar SMP. 15 tahun. Penulis. Blogger. Penyanyi kamar mandi yang sudah pro. Pemimpi tingkat tinggi. #writers4indonesia. #TigaDara. #GenkGalau. Pelukis #Pelangi. #10Pena. Seorang yang labil, sarkastis, dan cukup sadis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerpen : Pas Photo Part.2

27 Februari 2011   04:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:14 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oke, tadinya cuma mau bikin sedikit aja.

Cukup sampai di situ, karena lagi pengen aja bikin yang singkat-singkat.

Namun, karena desakan beberapa fans saya seperti si Putri dan Rina, akhirnya saya bikin lagi kelanjutannya :p

Lihat part sebelumnya, klik à http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2011/02/19/cerpen-pas-photo/

***

Nama Lengkap: Charla Grahanjaningrat Kusuma

Nama Panggilan: Charla

Ghana terkesiap kecil. Charla. Charla yang itu?

“Untuk kasus ini, saya serahkan kepada tim kamu, Ghana.” ujar Pak Henry—ketua tim—mengakhiri rapat singkat itu.

Pak Henry dan asistennya meninggalkan Ghana sendirian di ruangan rapat. Rapat singkat seperti biasa, namun bisa membuat gemuruh hebat yang berkepanjangan di dalam hatinya. Ghana membolak-balikkandata-data itu. Benar, ini temannya saat di SMP dulu.

Benar, ini cinta monyetnya dulu. Yang masih tersimpan rapi di dalam hatinya.

***

“Jadi gimana, bos? Mulai darimana? Langsung gerebek? Apa pake strategi smooth but strength?” tanya Derry, anggota timnya.

Ghana tidak menghiraukannya, ia menilik pada papan sasarannya, dan... DOR!

Peluru Ghana tepat mengenai titik tengah papan sasaran.

“Lo punya ide? Gue lagi blank nih.” tanya Ghana sambil duduk di kursi yang ada di dekatnya. Mereka—Ghana dan timnya yang beranggotakan 5 orang—sedang latihan tembak rutin.

“Tumben lo blank gitu. Biasanya, lo udah punya segudang taktik.” timpalHendra.

“Apa karena sasaran kita ini cewek? Tapi, biasanya lo gak pandang bulu—cewek atau cowok, kalau salah langsung lo tangkep.”

“Ya emang begitu seharusnya. Kalo salah ya harus ditangkep.”

Zetha—anggota tim yang paling junior—menyahut, “Terus, rencana kita apa nih?”

DOR! Satu papan lagi tertembak telak oleh Ghana, “Biar gue yang urus kerja di lapangannya.”

***

“Kamu baik-baik saja kan di sana?”

“Iya, aku baik-baik saja. Tolong sampaikan salamku untuk Ibu, Yah.”

“Baiklah, jaga dirimu baik-baik.”

Sambungan telepon itu lalu terputus. Charla menghempaskan dirinya ke atas ranjangnya. Matanya menatap langit-langit kamar rumahnya yang sepi. Rumahnya, bukan rumah orang tuanya. Bukan juga markas keluarga besarnya. Ia pergi kesini, untuk sebuah misi penting bagi umatnya, bagi keluarganya, bagi dirinya, dan bagi Tuhannya. Ia akan melumatkan semua orang kafir dan maksiat di sini. Ini tugas mulia.

Sejak dulu, keluarganya memang membela Islam dengan jihad, begitu para tetua di keluarganya menyebutnya. Yang kafir dan berbuat maksiat itu harus dimusnahkan, dilumatkan menjadi setitik debu. Karena itulah, ia disini. Melakukan tugas mulia itu, tugas yang sangat berharga, menyelamatkan kesucian Islam. Di hotel ini, ia sukses menjabat sebagai General Manager, tapi ini hanya penyamarannya. Kedok, alibi.

Tujuh hari lagi, hotel dan seisinya akan menjadi serpihan-serpihan kecil.

Tempat ini penuh maksiat, tempat sebagian besar dimana orang-orang mencoba mengkhianati Tuhan. Pelacuran high class. Transaksi narkoba. Serah-terima uang korupsi, semua itu pernah ia saksikan disini.

Semua itulah yang memutuskan, ia sebagai calon penerus keluarganya, untuk mengambil tindakan mulia ini.

Mulia.

Benarkah dirinya ini mulia?

***

Ghana memandangi hotel mewah itu dari balik kemudi SUV-nya. Ia ragu, bimbang. Masuk atau tidak. Karena, pilihan semudah itu akan menjadi tanggung jawab atas semua tindakannya nanti.

Biarkan Charla melakukan kegilaan ini. Atau biarkan ia menyadarkan Charla.

***

Jam sembilan malam.

Charla berjalan keluar dari lobby hotel. Masih ramai, ah, kapan hotel itu sunyi senyap? Kapan Jakarta sunyi senyap?

“Charla.” Sebuah tangan yang kokoh mencekal pergelangan tangannya. Menghentikan langkahnya.

Membuat jantungnya berdegup lebih kencang dan darahnya seolah dipompa begitu cepat.

Ia hapal garis-garis wajah itu, walaupun sudah 15 tahun tak bertemu.

Seulas senyum terlukis di wajah laki-laki itu, “Masih ingat aku?”

“Tentu. Ghana Stevanus yang dulu paling anti dengan yang namanya acara bikin pas photo bukan?’

Ghana tersenyum, ternyata Charla masih mengingatnya, “Ya. Kamu benar. Lama tak berjumpa, kemana saja kamu?”

“Setelah lulus SMA, aku pindah ke daerah Sumatera, sekarang kerja disini.”

“Oh, kamu udah mau pulang.”

“Ya. Ada apa?’

Ghana memandangnya dengan berbagai tatapan, rindu-menyelidik-dan mengenang masa lalu-, “Boleh ngopi sebentar? Udah lama kita gak ketemu.”

“Ng...”

“Apa pacar kamu melarang? Atau suami?” potong Ghana cepat.

Charla menggeleng, “I’m available.”

Ghana tersenyum, “Bagus. Ku rasa secangkir kopi bisa menemani kita kembali ke masa lalu sejenak.”

***

“Jadi, kegiatanmu disini apa aja? Hanya bekerja?” tanya Ghana dengan penekanan pada kata hanya. Walaupun ia tau sendiri, tujuan Charla bukan hanya itu.

“Ya, aku bosan di Sumatera. Kangen juga aku dengan Jakarta, jadinya, aku memilih ke sini. Tempat dimana aku menghabiskan waktuku sampai SMP.”

Ghana menyesap espresso-nya, “Tinggal sendiri di Jakarta?”

“Ya, aku punya sebuah rumah kecil di sini.”

Apa rumah itu penuh dengan bom untuk meledakkan hotel ini, Charla?, tanya Ghana dalam hati. Pertanyaan yang selintas lewat di benaknya.

“Bagaimana dengan kamu? Apa pekerjaanmu sekarang?” tanya Charla sambil memandang Ghana yangtersentak kecil dari lamunannya. Charla melirik diam-diam ke arah jari-jari Ghana.

Kosong. Belum ada cincin yang melingkar di sana.

Charla membuyarkan pertanyaan yang terlintas di benaknya. Apa sih yang ia pikirkan?!

“Aku? Aku sekarang bekerja di kepolisian.”

“Di bagian apa?”

“Di bagian penyelidikan.” jawab Ghana singkat. Biar Charla hanya tau sampai disini.

“Ooh.”

Penyelidikan?

***

Enam hari setelah hari itu. H-1.

“Kamu sudah siap? Jangan sampai ada orang yang mengetahui rencana ini.”

“Iya, Ayah. Aku hanya perlu meninggalkan bom itu dan pergi keluar.”

“Jangan sampai ada yang melihatmu di CCTV. Dan jangan sampai ada yang mencurigaimu.”

Charla bersandar pada kap mobilnya. Parkiran di hotel ini sepi, apalagi di malam hari. Tapi ia tetap harus berbisik jika sedang menelepon ayahnya seperti ini, untuk jaga-jaga. Terlintas di benaknya, Ghana. Kenapa laki-laki itu muncul di saat tujuh hari sebelum ia akan membom tempat ini? Tapi, sejak hari itu, ia tak pernah bertemu lagi dengan Ghana. Menghubunginya saja tidak. Ia kan tidak tau, apa ia akan selamat atau tidak dalam misi ini. Mungkin, ini memang yang terbaik. Sebaik-baiknya teman SMP-nya itu, tetap saja ia bekerja di kepolisian, penyelidikan.

“Baik, Ayah.”

KLIK!

“Tadi itu telepon dari siapa?”

Charla bisa merasakan hembusan napas seseorang di tengkuknya. Ia berbalik, kaget karena ada yang memergokinya disini.

Apa Ghana tau kalau ia tadi membicarakan tentang bom?

“Ayah.” jawab Charla singkat.

Hm, defensif, batin Ghana.

“Hentikan semua ini.” ujar Ghana tegas.

“Apa?”

“Aku tau semua rencanamu.” tegas Ghana dingin.

Charla mengangkat dagunya, menantang. Tidak ada gunanya lagi untuk terus membantah, “Lalu maumu apa?”

“Kenapa kau mau melakukan ini? Itu sama saja membunuh.”

“Mereka itu kafir, mereka pantas dibunuh. Orang kafir seperti mereka tak pantas hidup.”

“Memangnya kamu siapa sampai berani bertindak seperti itu? Tuhan? Tuhan saja masih mau memaafkan orang yang sudah membunuh 1000 orang.”

Charla diam. Kalau dalam adu argumen, Ghana menang.

“Keluarlah dari lingkaran ini, Charla.” pintanya lebih lembut.

“Kenapa kamu peduli? Kenapa tidak langsung kamu tangkap aku?”

“Karena aku mencintaimu.”

Charla kaget, namun ia masih bisa mengendalikan diri.

“Ini jebakanmu atau apa?”

“Bukan, ini bukan jebakan untuk menangkapmu dan keluarga besarmu.”

Charla menunduk, kenapa ia baru bilang sekarang?

“Jangan lakukan itu, Charla.”

“Kenapa?”

“Jangan. Ku mohon jangan. Ku mohon kau bisa jadi wanita biasa. Seperti yang ku kenal saat SMP.”

“Jadi, kalau aku seperti ini, kau tak menganggapku teman?”

“Mau jadi apapun, aku tetap menganggapmu teman.” hidupku.

“Ya sudah, anggaplah aku temanmu saja. Biarkan aku menjalani apa pilihan hidupku.”

“Kalau begitu, kau juga harus biarkan aku menjalani apa pilihan hidupku.”

Iya, pilihan hidupmu itu termasuk menangkap aku.

“Biarkan aku menikahimu dan menjadi temanmu, teman hidupmu.”

Satu kejutan diberikan lagi oleh Ghana.

“Menikah? Kamu gila!” bentak Charla tanpa menaikkan suaranya.

“Aku memang gila.”

Charla menggelengkan kepalanya, putus asa, “Kamu tau, kita itu beda agama. Tidak boleh menikah dengan yang berbeda agama.”

“Seharusnya kita itu satu agama, Charla. Tapi, yang kamu yakini sekarang bukan Islam. Melainkan agama keluargamu sendiri yang mengatasnamakan Islam. Tiga belas tahun yang lalu aku sudah pindah agama. Islam itu agamaku, sampai mati.”

Charla tertegun mendengar kalimat Ghana.

Ia bimbang.

Apa yang ia yakini sekarang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun