Hubunganya dengan Wellington menjadi semakin dingin. Kondisi Perang Dunia II yang tak berkesudahan merenggangkan hubungan antara Oei Hui Lan dengan suaminya sehingga mereka harus bercerai pada tahun 1958. Lantas ia pun memutuskan untuk pindah dan menjalankan sisa hidupnya di New York, Amerika Serikat. Di usianya yang ke-60, kedua putranya meninggalkan dirinya terlebih dahulu. Lalu ia pun hidup sebatang kara dan menarik diri dari kehidupan kelas atas serta lebih memilih hidup bersama anjing-anjingnya. Karena menurutnya ia tak merasa bahagia meski dalam kemeriahan pesta. Hingga di suatu hari, perampok memasuki rumahnya serta menyandera anjingnya, ia pun terpaksa memberikan semua perhiasan dan hartanya. Seketika ia sadar bahwa harta yang ia miliki hanya bencana dan hanya membuatnya jauh dari Tuhan juga jauh dari kebahagiaan. Ia pun percaya apapun yang hilang dalam hidupnya selama dirinya memiki Tuhan maka dia akan baik-baik saja.
Oei Hui Lan meninggal dunia di tahun 1992 pada usia 103 tahun. Selama sisa hidupnya itu, dia menulis dua autobiografi yang dikerjakan secara kolaborasi. Autobiografi pertama ia tulis pada tahun 1943 dengan berkolaborasi bersama kolumnis The Washington Post, Mary Van Rensselaer Thayer, dan kemudian pada tahun 1975 berkolaborasi dengan wartawan Isabella Thaves. Ia juga sempat menulis dan menerbitkan buku berjudul No Feast Last Forever yang menceritakan perjalanan hidupnya yang luar biasa ini. Sebelum meninggal ia kembali ke Tanah Air dan memberikan jejak peninggalan berupa lukisan dirinya, dengan sosok wanita cantik berdiri tepat di depan cermin. Berserta rambutnya yang hitam, tergerai melebihi pinggulnya. Ia berdiri, mematung dalam balutan gaun putih yang panjang. Disertai dengan tatapannya yang tajam. Hingga saat ini lukisan tersebut terpajang di ruangan The Sugar Baron Room di Hotel Tugu, Malang, Jawa Timur
C. KESIMPULAN
Hidup bergelimang harta memang tidak menjamin sesorang hidup bahagia. Oei Hui Lan memang anak tersayang ayahnya, namun ia tidak bisa mendapatkan kasih sayang dari sang ibu. Hidup kesepian dan kehampaan memang sudah menjadi makanan sehari-hari, ayahnya yang sibuk memperkaya diri dan mencari wanita cantik untuk dinikahi untuk mendapatkan anak laki-laki yang ia dambakan, membuat sang ibu harus berebutan harta warisan dengan para selir sang raja. Walaupun menjadi obsesi sang ibu, Oei Hui Lan tetap menuruti dan menemani sang ibu hingga akhir hayatnya. Walaupun hidup dalam bergelimang harga, diakhir hayatnya setelah harta dan keluarga meninggalkannya sendiri, ia tetap mengingat keberadaan Tuhannya dan percaya jika ia bersama Tuhan hidupnya akan baik baik saja.Â
D. DAFTAR PUSTAKA
Rizky Kusumo, Rabu 10 Agustus (2022) Kisah Oei Hui Lan: Putri Raja Gula yang Kekayaannya Tak Bisa Beli kebahagiaan
https://www.goodnewsfromindonesia.id
Inez, Selasa 1 November (2022) Cerita Mistis Hotel Tugu Malang dan Sosok Wanita Berambut Panjang di Ruangan Koleksi Kuno
Sihar Ramses Simatupang, Minggu 21 Mei (2023) Kisah Hidup Oei Hui Lan, Putri Raja Gula Asal Semarang yang Mendunia.Â
https://www.sugawa.id/humaniora