Negara Indonesia adalah negara hukum. Ini tercatat didalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3. Berbicara mengenai hukum, hukum adalah sebuah peraturan yang diciptakan untuk mengurus sikap manusia dalam berperilaku.Â
Hukum memiliki sifat memaksa serta berisi perintah dan juga larangan. Saat seseorang melanggar hukum, maka ia akan mendapatkan sanksi serta harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Tujuan dari dibuatnya hukum adalah agar dapat menerapkan kebenaran, kedamaian, serta dapat menjamin keadilan bagi seluruh warga negaranya.
Hukum dibagi menjadi dua yaitu hukum privat dan hukum publik. Hukum publik berisi tentang peraturan hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan negara seperti hukum tata negara ,hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum Internasional, dan laut International. Hukum privat berisi tentang peraturan hukum yang mengurus hubungan antara pihak satu dengan pihak lainnya atau pihak dengan kelompok, yang meliputi, hukum adat ,hukum dagang, hukum perdata.
Didalam aktivitas sehari-hari, sering sekali manusia melaksanakan sebuah perjanjian baik itu secara tidak langsung ataupun langsung. Contoh sederhananya seperti jual beli kendaraan ataupun tanah, sewa menyewa asset. Dalam sebuah perjanjian tersebut memuat perbuatan kedua belah pihak yang sepakat terhadap sebuah perikatan yang berisi hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi.
Sebuah perjanjian tercipta dikarenakan adanya hubungan hukum, serta didalam perjanjian ini juga melibatkan beberapa pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur. Debitur harus melaksanakan prestasi, sedangkan kreditur berhak mendapatkan prestasi yang dimana prestasi inilah yang merupakan objek dari perikatan. Hukum perjanjian ini menganut asas konsensualisme yang artinya suatu perjanjian akan timbul sejak terjadinya kesepakatan para pihak.
Agar perjanjian dapat sah, maka harus memenuhi persyaratan yang tercantum pada pasal 1320 KUH Perdata, yang dimana persyaratan tersebut meliputi adanya kesepakatan dari pihak yang bersangkutan; kecakapan pihak dalam membuat perjanjian, yang berarti para pihak mampu membuat suatu perjanjian dalam artian pihak tersebut telah dewasa serta tidak berada dibawah pengampuan; terdapat suatu hal tertentu; serta terdapat suatu akibat yang halal.
Nah, apa yang akan terjadi jika suatu perjanjian itu tidak memenuhi dengan syarat-syarat yang tercantum diatas? Akibatnya apabila sebuah perjanjian dilakukan atas dasar tidak adanya itikad yang baik, jadi perjanjian itu akan batal dengan sendirinya dari hukum.Â
Berarti perjanjian yang telah dibuat akan dianggap tidak pernah ada serta tidak memiliki dasar penuntutan didepan hakim. Apabila sebuah perjanjian/ perikatan dilakukan dengan unsur paksaan dari salah satu pihak serta pihak tersebut dianggap tidak cakap secara hukum, maka perjanjian tersebut dapat diminta batalkan oleh hakim kepada pihak yang membuat perjanjian.
Selain syarat-syarat perjanjian diatas, pihak yang melakukan wanprestasi terhadap kontraknya juga sering kita temui. Sebelum itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu wanprestasi itu. Wanprestasi adalah keadaan dimana debitur tidak dapat penuhi kewajibannya ke kreditur sesuai perjanjian yang telah disepakati diawal. Ketidakmampuan debitur dalam memenuhi kewajibannya bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti kelalaian dari pihak debitur, debitur sengaja melanggar perjanjian, serta kondisi overrmacht. Kondisi overmacht ini merupakan kondisi dimana debitu tidak dapat memenuhi kewajibannya karena kondisi di luar kendali pihak tersebut.Â
Contoh kasus yang bisa kita ambil adalah kasus dalam perjanjian sewa menyewa apartemen. Pihak A menyewa apartemennya kepada pihak B.Â
Didalam perjanjian yang telah tersepakati oleh pihak satu dengan pihak lainnnya dan telah tanda tangan di atas materai, tertera bahwa segala fasilitas yang diberikan pihak penyewa akan dikembalikan dalam kondisi yang baik ketika pihak penyewa telah selesai dalam kontraknya. Pembayaran biaya sewa harus dilakukan tepat waktu. Pihak B (penyewa) melakukan pembayaran biaya sewa sebulan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.Â
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pihak B ini telah melakukan wanprestasi karena ia tidak memenuhi kewajiban yang telah mereka sepakati pada perjanjian awal.Â
Dikasus lain, pihak B ini juga telah merusaki fasilitas yang sudah diberikan penyewa. Hal ini membuat pihak penyewa merasa dirugikan. Dengan demikian, pihak penyewa dapat meminta pemenuhan kewajiban kepada pihak yang menyewa. Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi dari kasus ini. Yang pertama, pihak penyewa melakukan komunikasi dengan pihak yang menyewa bahwa mereka telah melanggar apa yang sudah disepakati pada perjanjian awal.Â
Nah, apabila pihak yang menyewa ini menyangkal maka pihak penyewa dapat melakukan konfrontasi terhadap pihak yang menyewa apartemen tersebut. Apabila dengan konfrontasi juga tidak dapat menyelesaikan masalah, jadi tahap berikutnya adalah dengan mengambil jalur hukum.Â
Ada juga kemungkinan bahwa pihak yang menyewa apartemen berubah pikiran dan mengakui kesalahan mereka serta menyadari prestasi/kewajiban yang telah mereka sepakati di perjanjian awal, maka pihak penyewa dapat menyelesaikan masalah/kasus ini dengan baik-baik tanpa membawa ke ranah hukum dengan meminta biaya ganti rugi karena telah melanggar kesepakatan awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H