Belakangan ini, telah beredar polemik di masyarakat berkaitan dengan isu percepatan waktu pembuatan dan perevisian Rancangan Undang-Undang atau RUU. Terlebih, polemik ini bersinggungan dengan RUU Pilkada yang diduga terdapat indikasi kepentingan "pihak" tertentu. Hal ini disebabkan karena waktu pengesahannya yang tergolong cepat dan dinilai tidak wajar, yaitu hanya dalam sehari saja sudah paripurna. Hal ini menjadikan pembahasan RUU Perampasan Aset meledak kembali di kalangan masyarakat.
Sudah hampir dua dekade sejak naskah Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) pertama kali disusun pada 2008, akhirnya, RUU ini masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2023. Akan tetapi, sejak Presiden Joko Widodo mendesak DPR RI dengan mengirimkan Surpres (Surat Presiden), RUU PATP ini belum ada hilal keberlanjutannya hingga artikel ini ditulis
Ketidakjelasan hilal keberlanjutan penanganan Surpres (Surat Presiden) RUU PATP diduga karena RUU ini mengatur terkait norma unexplained wealth atau dugaan kepemilikan kekayaan secara tidak sah.
Salah satu hal yang mendasari adalah karena meningkatnya kasus kekayaan yang tidak lazim oleh para penjabat publik/anggota dewan yang tentu saja menjadi perhatian penting bagi masyarakat dan juga Pemerintah.
Berdasarkan data penindakan kasus yang disampaikan oleh KPK, total kerugian negara dari awal tahun hingga Juni 2024 ditaksir mencapai Rp 5,2 triliun dan USD 2,7 juta. Akan tetapi, RUU PATP tidak hanya mengatur soal kerugian akibat tindak pidana korupsi, melainkan juga kejahatan lain yang berdimensi ekonomi seperti penipuan, penghindaran pajak, perdagangan orang, penggelapan dan perusakan lingkungan.
Mengingat lingkup dari RUU PATP yang begitu luas dan banyaknya kendala dari pelaksanaan perampasan aset itu sendiri, kita perlu mengkritisi dan mengawali sejauh mana proses dan perkembangan dari RUU PATP hingga saat ini. Menurut opini penulis, urgensi dari RUU Perampasan Aset itu sendiri sangat besar sebab tujuannya adalah untuk mengungkap banyaknya kasus tak lazim dari pejabat negara yang kebanyakan tidak melaporkan kekayaannya, mengambil kembali aset-aset sebelum kemudian dibagi-bagikan kepada pihak tertentu dengan tujuan mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga kerugian yang terjadi tidak berdampak besar. Tak heran apabila disahkannya RUU Perampasan Aset oleh DPR ini menjadi momentum yang sangat ditunggu-tunggu oleh publik.
Sayangnya, hingga saat ini, publik dibuat bingung oleh kalangan, baik Presiden, Pemerintah, maupun legislatif itu sendiri, sebab dalam perkembangannya, proses pengesahan RUU PATP hanya terkesan saling tarik ulur saja. Padahal, pembahasan terkait RUU Revisi Pilkada, dilansir dari detik.com, membuahkan hasil, yaitu Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada dibawa ke paripurna terdekat untuk disahkan menjadi Undang-undang dan sebanyak delapan fraksi di DPR menyetujui keputusan itu.
Berdasarkan agenda rapat paripurna DPR yang diterima, DPR akan menggelar rapat paripurna pada Kamis (22/8). Jelas dalam hal ini diduga keras terdapat pemberlakuan yang berbeda antara RUU Revisi Pilkada dengan RUU Perampasan Aset. Kegesitan Pemerintah dalam mengawal RUU-RUU lainnya dibandingkan dengan RUU Perampasan Aset, yang mungkin dianggap bukan prioritas, menjadi puncak inti yang perlu ditilik. Sebagai masyarakat dunia maya, tentu hal ini perlu kita kritisi dan menjadi suatu urgensi darurat bagi kita untuk terus mengawal perkembangannya.
Sebenarnya, apabila kalangan Pemerintah baik DPR maupun Presiden sendiri memang sungguh-sungguh ingin mengesahkan RUU PATP menjadi sebuah Undang-undang yang sah dan benar-benar diberlakukan, hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu cepat. Â Bahkan, apabila memang prosesnya terkesan "rumit" sehingga tidak bisa dibahas secara komprehensif, Presiden bisa mendesaknya dengan mengeluarkan Perpu agar RUU PATP diprioritaskan. Namun, faktanya, Perpu pun tak kunjung dikeluarkan. Padahal, isu mengenai pengesahan RUU PATP sudah berhembus sejak awal periode Presiden Joko Widodo menjabat. Presiden sendiri pun berharap agar DPR cepat rampungkan RUU perampasan aset seperti pembahasan PKPU pilkada.
Sebagai penegasan dan penutupan akhir, RUU Perampasan Aset diharapkan dapat menjadi solusi efektif yang dapat menyelamatkan keuangan negara secara optimal sekaligus dapat mencegah penggunaan aset yang tidak sah untuk tujuan politik atau komersial. Diperlukan sinergitas yang kooperatif antara Pemerintah dan DPR agar dapat menciptakan proses legislasi yang dapat menyongsong upaya pemberantasan korupsi demi bangsa yang sejahtera. Meski urgensinya sudah jelas dan lugas, nasib RUU ini ada di tangan persidangan selanjutnya, sehingga diperlukan pengawalan dan pengawasan kita sebagai masyarakat secara kontinu. Besar harapan penulis agar RUU ini segera disahkan untuk meningkatkan efektivitas hukum dalam menangani aset hasil korupsi.
Penulis :
Jennyfer Florentia Go,
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI