Mohon tunggu...
Jennis Polin Situmorang
Jennis Polin Situmorang Mohon Tunggu... Lainnya - ASN

Aparatur Sipil Negara, Life-long Learner.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pajak dan Pendidikan: Ciptakan Generasi Emas Kunci Pertumbuhan Ekonomi

30 Juni 2024   15:04 Diperbarui: 30 Juni 2024   20:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2023, saya mengikuti program “Kementerian Keuangan Mengajar” di salah satu SMP. Dalam satu sesi pengajaran, saya bertanya: Siapa yang ingin belajar sampai ke perguruan tinggi? Tidak ada yang mengangkat tangan. Alasan utamanya adalah biaya kuliah yang sangat mahal. Padahal banyak dari mereka yang ingin menjadi dokter, pilot, dan guru.

Hal ini mengingatkan ketika saya harus meninggalkan pendidikan dokter di tahun 2013 karena alasan yang sama. Syukurnya saya bisa melanjutkan pendidikan di kampus lain secara gratis. Melihat bagaimana saya bisa berkontribusi lebih baik karena pendidikan tinggi yang saya peroleh, saya memiliki harapan untuk seluruh anak-anak Indonesia agar bisa menimba ilmu sampai pendidikan tinggi.

Lantas bagaimana strategi pemerintah untuk mengatasi masalah ini?

Wajib Belajar

Wajib belajar di Indonesia adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh semua warga negara dan dibiayai pemerintah pusat serta pemerintah daerah. Sejak tahun 1950 telah diatur wajib belajar 6 tahun yang kemudian sampai saat ini diimplementasikan menjadi wajib belajar 9 tahun. Baiknya, terdapat 14 provinsi yang telah menjalankan wajib belajar sampai 12 tahun walaupun belum memiliki landasan hukum di tingkat pusat.


Pemerintah Indonesia menyediakan berbagai skema bantuan untuk mendukung penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun. Skema-skema ini ditujukan untuk membantu sekolah, siswa, dan guru dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Beberapa skema bantuan pendanaan yang telah diimplementasikan adalah Bantuan Operasional Sekolah, Dana Alokasi Khusus Pendidikan, Bantuan Siswa Miskin, Program Indonesia Pintar, Tunjangan Profesi Guru, Bantuan Kinerja Guru, Bantuan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Bantuan Pendidikan Keaksaraan, Bantuan Pendidikan Anak Usia Dini, dan Bantuan Pendidikan Inklusif.

Seluruh skema bantuan tersebut dibiayai melalui APBN dan APBD yang bersumber dari penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, alokasi dana pendidikan dari APBN terus mengalami peningkatan. Bahkan di tahun 2009 ditetapkan alokasi dana pendidikan minimal 20% dari APBN. Dari tahun 2009 alokasi dana pendidikan sebesar Rp112 triliun telah meningkat menjadi Rp660,8 triliun di tahun 2023 atau hampir 500%.

Peningkatan alokasi dana pendidikan telah meningkatkan jumlah penduduk Indonesia yang berpendidikan dari tingkat SD hingga SMA. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk berpendidikan SD meningkat dari 55,77 juta jiwa (2009) menjadi 67,93 juta jiwa (2023), SMP dari 27,18 juta jiwa menjadi 38,21 juta jiwa, dan SMA dari 21,21 juta jiwa menjadi 32,48 juta jiwa. Fasilitas pendidikan seperti sekolah juga meningkat dari 196.482 sekolah (2009) menjadi 261.899 sekolah (2023). Selain itu, kesejahteraan tenaga pendidik membaik melalui pemberian insentif tambahan bagi yang telah tersertifikasi. Indikator lainnya, seperti rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas, meningkat dari 7,30 tahun (2005) menjadi 9,08 tahun (2022), dan harapan lama sekolah meningkat dari 11,29 tahun (2010) menjadi 13,10 tahun (2022).

Namun dari sisi kualitas, Indonesia masih relatif tertinggal dari negara-negara OECD. Tercermin dari nilai PISA siswa Indonesia berada di peringkat 68 dari 81 negara (2022). Hal ini disebabkan oleh sarana-prasarana pendidikan yang belum memadai, jumlah guru profesional dengan kompetensi tinggi masih terbatas dan belum terdistribusi ke seluruh daerah.

Kualifikasi pendidikan penduduk yang masih rendah, berdampak pada keterserapan tenaga kerja di pasar kerja. Dalam hal komposisi penduduk usia 15 tahun ke atas, mayoritas hanya lulusan SMP/MTs sederajat ke bawah (59,88 persen), sedangkan penduduk berpendidikan menengah sebesar 29,97 persen dan berpendidikan tinggi 10,15 persen. Hal ini berdampak pada keterserapan tenaga kerja hanya 40,49 persen yang bekerja di bidang keahlian menengah dan tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun