Mohon tunggu...
Jennifer Veronica Pricillia
Jennifer Veronica Pricillia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta

love peace

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mewujudkan SDG 15 "Life on Land" dengan Penguatan Hak Ulayat Masyarakat Adat

20 April 2024   16:21 Diperbarui: 20 April 2024   16:22 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deforestasi menjadi jalan besar menuju kemiskinan. Hutan memiliki kontribusi besar dalam ekosistem pembangunan global, hasil alam hutan berkontribusi lebih dari 20% terhadap pendapatan rumah tangga masyarakat. Indonesia sebagai paru-paru dunia dengan hutan tropis yang menjadi tempat hidup berbagai keanekaragaman hayati darat dan juga tempat alami penyimpanan dan penyerapan karbon membuat hutan menjadi unsur penting dalam strategi penstabilan iklim. Alam memiliki hubungan yang erat dengan manusia. Manusia melangsungkan hidup bergantung pada pemanfaatan keanekaragaman hayati seperti: tanah, udara, air, hutan, dan lain sebagainya.  

Indonesia kehilangan hampir seperempat lahan hutannya dalam kurun waktu 25 tahun. Pada 2016-2017 Kalimantan dan Sumatera menjadi daerah dengan degradasi hutan tertinggi, Kalimantan kehilangan 68% dan Sumatera sebanyak 51%. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan industri merupakan penyebab utama deforestasi. Diperlukan kerjasama antar stakeholders dalam program perlindungan hutan. Peran hutan dalam mempercepat pencapaian SDG terkait ‘Ekosistem daratan’ (SDG 15) dianggap mewakili perbaikan sosial dan lingkungan.

Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Menjaga Hutan

Indonesia sebagai negara dengan beragam suku dan budaya memiliki peran penting dalam pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kawasan hutan adatnya.  Potensi dari hutan adat oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dimasukkan kedalam Peta hutan Adat dan Wilayah Indikatif  yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019. Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam pengukuhan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di suatu provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Penetapan hutan adat ini tidak meninggalkan fungsi penting hutan sebagaimana tercantum dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Status hutan adat harus mengarah kepada pengelolaan yang berkearifan lokal guna mendukung pembangunan hutan berkelanjutan sesuai dengan SDG 15.

“Praktik-praktik hutan adat yang menjaga alam ikut mengatasi emisi gas rumah kaca, emisi global, dan mata air, serta aktualisasi partikularistik wilayah dan masyarakat adat sebagai wujud kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” Anugrah, N. (2021). [Wawancara dengan Menteri LHK, Siti Nurbaya]. Siaran Pers Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Nomor: SP.259/HUMAS/PP/HMS.3/08/2021

Hak Ulayat Masyarakat Adat

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Hak ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan Tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. Masyarakat Hukum Adat memiliki hak penting terkait dengan ruang hidupnya yang disebut dengan ”Hak Ulayat”. Penerapan Hak Asasi Manusia tercermin dalam partisipasi masyarakat adat, hak khusus atas tanah yang dimiliki masyarakat adat antara lain:

  • Berpartisipasi dalam penggunaannya.
  • Hak masyarakat adat dalam manajemen sumber daya alam
  • Hak masyarakat adat untuk pelestarian sumber daya alam

Perlindungan Hukum Hak Ulayat

Hak ulayat pada dasarnya adalah hak yang akan terus diperhatikan selama masih ada masyarakat hukum yang bersangkutan dengan pemberian hak atas tanah sebagai Hak Guna Usaha dan akan diberi “recognitie” sebagai hak penerima selaku pemegang hak ulayat. Menurut Sukanto persekutuan hukum memiliki hubungan dengan tanah ulayat yang diliputi sifat religio magis yang artinya warga persekutuan hukum yang bersangkutan dan memiliki pikiran yang kuat memiliki kepercayaan kepada roh-roh dan menciptakan gambaran bahwa segala sesuatu berhubungan dengan pengelolaan tanah sehingga pengelolaan tanah harus dilakukan dengan berhati-hati karena memiliki potensi gaib. Hak ulayat menjadai hak milik bersama yang memiliki nilai kebersamaan yang sakral dan turun temurun yang disebut sebagai budaya hukum.

Masyarakat adat memiliki cara tersendiri dalam memelihara serta mempertahankan hak ulayatnya seperti, menetapkan batas wilayah menggunakan batas fisik berupa batu, pohon, sungai, bukit, dan lain sebagainya, selain itu masyarakat adat menunjuk pejabat yang mereka percaya yang memiliki beragam istilah seperti jaring (minang kabau), terusan (minahasa), kepala kawang (ambon), lelipis lembukit (bali), di samping itu diadakan juga partoli perbatasan.

Kearifan Lokal Menjaga Hutan Masyarakat Dayak Iban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun