"Ibuuuuu", tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam kamar anakku. "Kenapa anakku?", tanyaku langsung membuka pintu kamarnya. "Mimpiku buruk bu..", Anton mukanya pucat dan terlihat sangat sedih, aku merasa kasihan padanya, dia sudah beberapa kali bermimpi buruk seperti ini sampai-sampai ia membanguniku saat tengah malam. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Anton.
Kemudian, kubuatkan teh hangat kesukaannya dan menyuruhnya untuk menceritakan mimpinya. Anton bercerita kalau mimpinya penuh dengan darah dan banyak sekali orang yang bekerja keras sampai habis nyawanya, dia menceritakan mimpinya dengan tangisan.
"Kenapa kamu menangis?"
"Aku melihat Ibu berdarah ditanganku", sedih Anton.
Aku terkejut dan tidak sanggup mendengarkan ceritanya, kupeluk Anton dan kubisikkan "Ibu tidak akan meninggalkanmu nak..". Kemudian, saat suasana sudah berubah, Anton pergi untuk bersiap-siap ke sekolah. Setelah kuantar Anton ke sekolah, aku duduk termenung di rumah memikirkan mimpi tadi.
Tok..Tok..Tok..terdengar ketukan di pintu yang membuatku bergegas membukanya. Ternyata itu tetanggaku, Ibu Rina. Dia adalah teman terdekat di perumahanku, kuceritakan semuanya kepadanya termasuk mimpi anakku. "Jeung.. justru itu tujuan saya, saya mau bantu kamu..saya denger-denger kalo anaknya mimpi serem terus biasanya bisa prediksi waktu", cerita Bu Rina.
"Hah?! Prediksi waktu? Mana ada.. Ibu kalo bercanda jangan terlalu serius atuh"
"Iyaa bu, eeh saya serius.. anak Ibu harus dibawa ke Peramal, karena katanya kalau mimpi begitu itu karena suami ibu atau ibunya terkutuk, terus suruh peramal itu doain anak Ibu dan akhirnya ilmu-ilmu itu bisa hilang dan si Anton bisa sembuh buu"
Aku pun bingung dan tidak dapat menjawabnya, kemudian kita berbincang-bincang sampai siang dan akhirnya kita harus menjemput anak dari sekolah.
Akhirnya, Anton pulang dan beristirahat. Aku berdoa untuknya dan berharap Anton tidak bermimpi buruk lagi malam ini.
"Keluaar!!", langsung terdengar triakan saat aku bangun pagi. Ternyata ada seorang tentara yang menyuruh suami saya keluar dari rumah dan aku tidak tau apa alasannya. Kemudian, ku intip sedikit lewat pintu kamar dan ku lihat ada dua tentara yang memukuli suamiku dan benar-benar memaksanya untuk keluar, aku tidak sanggup melihatnya dan itu membuatku menangis.Â
Aku langsung bergegas pergi ke kamar Anton melewati pintu tembus yang kita miliki di kamar. Anton ternyata sudah mengumpat di dekat meja dan menangis, akhirnya kutarik dia dan kita langsung mencari jalan supaya dapat keluar dari rumah.
"Mana istri dan anakmu? saya yakin anda mempunyai keluarga", terdengar triakan dari luar yang membuatku dan Anton semakin panik.
"Dimana! beritahu kita atau kau akan kami bunuh"
"Anak dan istri saya tidak ada dirumah ini, mereka telah meninggalkan saya sudah lama..", bohongnya.
Akhirnya aku dan Anton menemukan jendela dan kita langsung keluar dari rumah dengan panik. Lalu, terdengar tembakan dari dalam rumah yang artinya pertanda buruk. Langsung kupeluk Anton sambil menangis karena sudah tidak sanggup menahan tangisanku ini. "Tidak apa bu.. tenang saja, Ayah adalah orang baik, pasti ayah masuk surga", rayu Anton membalas pelukku.
Seiringnya perjalanan kita, kita melihat banyak sekali prajurit yang membawa senjata dan mendatangi banyak rumah. Aku dan Anton berjalan diam-diam karena kalau tidak kita bisa dipaksa untuk ikut dengan mereka. Aku tak tega melihat Anton yang masih kecil yang harus mengalami hal seperti ini.
Kemudian, aku mengajak Anton untuk mendatangi suatu gubuk. Lalu tiba-tiba Anton menarik bajuku dan melarangku untuk masuk. "Jangan bu.. disitu berbahaya", pintanya.
"Tidak apa Anton.. kita akan beristirahat sebentar disitu"
"Tapi bu.."
"Kenapa Ton?"
"Di mimpiku ibu akan beristirahat selamanya di gubuk itu..", sahut Anton yang matanya mulai berkaca-kaca.
Aku terkejut dan tidak tau harus berkata apa. Kemudian, aku mengajaknya untuk pergi ke tempat lain karena dia benar-benar melarangku ke tempat itu. Lalu tiba-tiba ada prajurit yang menarik Anton dari belakang dan mengarahkan senjata kearah kepalanya. Aku panik dan langsung mendorong tentara itu dan mengajak Anton berlari, kulinudungi Anton dengan segenap hatiku, aku tidak ingin kehilangan suami dan anakku. Ada sekitar tiga prajurit yang mengejar kita sambil menembaki kita dengan senjatanya.Â
Kemudian langsung ku gendong Anton dan berlari. Saat kita sudah lolos jauh dari tentara-tentara itu. Perutku sakit, aku tidak sanggup berjalan, tidak sanggup bernafas. Anton langsung memelukku dan membantuku untuk beristirahat. Tanganku penuh dengan darah, Anton menangis dan seperti berusaha menahan darahku, aku sudah tidak sanggup melihat Anton lagi. Masih kudengar suaranya yang berteriak memanggilku, lalu tiba-tiba semuanya gelap dan aku melihat cahaya. Suara Anton sudah tidak kudengar lagi. Maafkan aku Ton.. Maafkan Ibu harus meninggalkanmu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H