Mohon tunggu...
Jenner Sihombing
Jenner Sihombing Mohon Tunggu... -

jenner sihombing, lahir di takengon, aceh tengah pada tanggal 19 nopember 1972 dan saat ini berkerja sebagai pns di kementerian keuangan republik indonesia, suka menulis :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pulau Tiga: One Day in My Life (Part 2/End)

14 Maret 2011   03:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:48 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


KILASAN CERITA YANG LALU...

Aku dekati ruang kelasku dulu, dan coba membuka pintu kelas itu. Tidak Terkunci. Ketika pintu terbuka, aku terkesima, tak banyak berubah dan sepertinya masih sama dengan model bangku dan meja yang aku pakai dulu, atau telah diganti tapi dibuat sama modelnya.
Aku tunjukkan posisi dudukku dulu dengan isteri dan anakku, waktu di kelas V SD tahun 1984 yaitu di bangku nomor dua dari depan. Teman sebangkuku dulu si Anto namanya, atau lengkapnya Susanto Nugroho yang ibunya adalah perawat di Balai Kesehatan Perkebunan.
Setelah itu kami keluar ruangan kelas, dan Imelda mengingatkan untuk mengambil beberapa foto untuk dokumentasi dan sebagai kenangan.
Sambil berfoto, dalam hatiku berbisik pelan : "Ya Tuhan...aku sudah pergi dan terbang ke mana-mana ke banyak tempat, tapi sekolah ini tetap setia dan sabar menunggu di sini puluhan tahun lamanya tanpa pernah mengeluh dan protes, dan entah sampai kapan..."

....oo00oo....

Setelah puas melihat sekolahku itu, kami menaiki mobil kembali. Tapi sebelumnya aku sempat memandang berkeliling. Kuingat dulu ada Koramil di depan SD-ku, aku melihat dua tentara lagi berdiri di seberang jalan dan sepertinya dari sejak awal kedatangan kami, sudah memperhatikan. Aku lambaikan tangan dan mereka membalasnya, mungkin mereka tahu kalau aku pasti bekas murid di sekolah itu dan lagi berkunjung.

Kami kembali menuju Simpang Tiga, kali ini aku memperhatikan sepanjang jalan di sebelah kiri. Puskesmas masih ada, kemudian Kantor Kecamatan Pulau Tiga juga masih tegak setelahnya. Pak Camat jaman aku dulu memiliki sebuah mobil dinas Volkswagen yang terkenal dengan sebutan VW Safari dengan warna khasnya, yaitu oranye dengan atapnya kanvas yang dapat dibuka tutup.

Lewat Simpang Tiga, tak jemu-jemu aku memandangnya walau sebenarnya tak ada yang istimewa benar, biasa saja. Tapi mungkin aku terbawa perasaan akan sebuah kenangan lama yang begitu banyak dan indah makanya aku bisa begitu.
Kembali kami sampai di lapangan sepakbola depan emplasemen, kali ini aku belokkan mobil ke kiri mengambil jalur lain yaitu masuk ke dalam emplasemen dan melewati depan rumah KTU, Askep dan Asisten. Aku pandangi lagi rumah-rumah itu, kembali menari-nari di kepalaku segala kenangan masa kecil itu.

Dengan teman-teman di emplasemen ada beberapa permainan yang sering kami mainkan. Yang sering adalah permainan Caper, yaitu permainan dengan menggunakan kelereng (guli), dimana ada yang menjadi raja_dengan kelereng terbanyak, musuh raja dan caper. Caper cuma punya satu kelereng dan bertugas mengumpulkan semua kelereng dan menyerahkan ke pemain lain bila permainan akan dimulai disetiap sesinya. Nanti ada lubang sebesar kelereng di tengah permainan dan semua berlomba memasukkan kelerengnya ke lubang itu dan siapa yang berhasil bertahan akan berhak menjadi raja. Kadang kalau kelamaan menjadi caper, kita kecapaian sendiri dan bila terus menerus diledekin biasanya akan berakhir dengan mata merah dan akhirnya menangis, kalau sudah begitu biasanya permainan akan berhenti dan bubar dengan sendirinya..ha..ha..Teman-temanku yang masih kuingat adalah : Rinaldi, Recky, Ipen_ketiganya anak Om Sartuni, Embit_anak Om TS, Adun, Fitrah, Jamur, Ida, Hiu_anak Om Sujari, Heru_anak Om Kahar, Dani_anak Om Siagian, Adek_anak Om Hamid, dan Iwin_temanku paling karib, anak Pak Isa.

Khusus dengan Hiu anak Om Sujari, ada cerita sedikit. Aku dapat warisan senapan angin (air guns) kaliber 4.5 mm dari Kakakku paling besar, Bang Darwin. Dengan senapan itu, aku dan Hiu sering berburu burung ke hutan-hutan kecil di sekitaran emplasemen atau malah sampai ke Kampung Plosok. Aku termasuk mahir dalam menembak burung, dan kami hampir setiap pagi sebelum masuk sekolah siang selalu berburu dan dipastikan selalu membawa pulang hasil buruan, tidak kurang dari sepuluh burung setiap harinya. Burung yang sering kami bawa pulang adalah burung Terocok (Gouvier ahalis) dan yang dianggap tangkapan besar kala itu adalah burung Punai atau sejenis burung Merpati/burung Dara.
Walau kalau ditanya sekarang, tindakan masa lalu itu salah dan kejam karena termasuk merusak keseimbangan alam, dan ada rasa penyesalan juga sedikit bila mengingat hobby berburu burung itu di waktu kecil.

Aku bisa mahir dalam hal menembak, sebabnya adalah karena dilatih dengan seorang anggota kepolisian di Polsek Pulau Tiga, namanya Tulang Rajab Simatupang (Tulang=Paman, dalam bahasa Batak). Dia masih kerabat kami dari Ibuku, dan kebetulan ditempatkan bertugas di Polsek Pulau Tiga dan tinggal di rumah kami di salah satu kamar di dekat bagian yang ditempati Lek Misnan dan keluarganya. Dia masih lajang pada saat itu, dan dari namanya Rajab, bisa ditebak kalau dia lahir pada bulan ke tujuh pada sistem Kalender Hijriyah. Malah terakhir-terakhir, dia banyak kalah denganku dalam ketepatan menembak sasaran burung atau tupai, kalau sudah begitu dia biasanya bergurau sambil tertawa, kalau dia memang spesialis menembak kaki orang_khususnya buronan aparat..ha..ha..

Permainan yang lain adalah bermain Patok Lele, yaitu permainan perorangan dengan alat bantu berupa dua buah batangan kayu bulat kecil, biasanya dulu kami pakai batang jambu klutuk yang lurus. Satu batang sebagai pemukul seukuran 50 cm dan umpannya seukuran 15 cm. Lalu si umpan batang yang pendek itu diletakkan di ujung lobang kecil di tanah dengan posisi memanjang dan menjungkit. Ujung umpan di "patok" pakai pemukul sehingga melenting ke udara dan langsung disambut dengan pukulan sekuatnya. Sedikit berbahaya memang, bila mengenai lawan yang berjaga di depan, tak jarang bila kena bisa terluka apalagi di bagian wajah.

Bulutangkis juga menjadi keseharian olahraga kami di emplasemen, walau tidak harus bermain serius di lapangan, tapi cukup dengan saling memukul berdua di halaman yang sedikit luas, tentunya bila hembusan angin tidak kencang. Shuttlecock yang menjadi merk terbaik saat itu adalah merk Garuda, karena lebih tahan lama dan timah di dalam gabusnya lebih besar dan berat dari merk yang lain. Raket yang baik adalah Yonex, walau tak semua anak punya karena relatif mahal. Pemain idola kami adalah Rudi Hartono Kurniawan, walau masa-masa inilah akhir dari kegemilangan sang maestro bulutangkis Indonesia itu, yang pernah juara All England delapan kali dengan tujuh kali berturut-turut. Seterusnya idola kamipun beralih ke penggantinya yang tidak kalah bersinar dan juga menjadi legenda sampai sekarang, yaitu siapa lagi kalau bukan : Lim Swie King yang terkenal dengan King Smash-nya. Terbukti sekarang inipun di tahun 2009, ada Film yang terinspirasi dari kehebatan Lim Swie King di masa lampau dengan judul filmnya "King", yang dibuat oleh Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen.

Setelah melewati rumah Askep, yang juga pernah keluargaku tinggal di sana ketika awal pindah ke Pulau Tiga tahun 1978, aku berhentikan kembali mobil tepat di sisi lapangan sepakbola. Di lapangan inilah kami selalu barmain bola, anak gedong melawan anak pondok. Kalau bermain bola, spesialisasiku adalah kiper dan selalu memakai celana training yang meniru penampilan kiper Kamerun di Piala Dunia tahun 1982 yang tuan rumahnya Spanyol. Walau Kamerun tidak bisa melangkah jauh di Piala Dunia itu, tapi penampilan kipernya banyak mendapat pujian.
Sambil menghela napas panjang, rasanya banyak sekali yang mau dikenang di sini, semuanya seakan berlomba bermunculan di kepala.

Bila Tujuhbelasan, di Pulau Tiga akan banyak keramaian dan itu termasuk saat yang ditunggu-tunggu semua orang apalagi anak-anak karena menjadi tontonan gratis sekaligus menghibur, sesuatu yang langka dan mahal. Puncak karamaian akan dipusatkan di lapangan sepakbola di depan emplasemen.
Panjat Pinang adalah menu wajib, pesertanya biasanya adalah dari karyawan perkebunan sendiri. Semua orang akan terhibur dan tertawa terpingkal-pingkal apabila melihat sekelompok pemanjat melorot turun dan terjungkal di tanah karena licin oleh minyak gemuk ketika berusaha mencapai hadiah di puncak batang pohon pinang.
Pertunjukan Kuda Kepang juga pasti ada. Kuda Kepang adalah sejenis tarian pahlawan berkuda yang berasal dari Jawa, karena memang karyawan perkebunan di Pulau Tiga mayoritas suku Jawa maka banyak kebudayaan Jawa yang terbawa termasuk Kuda Kepang ini. Kuda Kepang biasanya dipersembahkan di tempat terbuka, di lapangan. Sebelum tarian bermula, seseorang akan membakar kemenyan dan membaca jampi untuk memberikan tenaga kepada kuda-kuda. Dia menggunakan telur mentah, bunga, rumput, dan air untuk persembahan. Memang masih sangat kental unsur mistisnya dan para pemain selanjutnya akan kesurupan. Apalagi kalau pas atraksi makan beling atau kaca, aku biasanya menutup mata dan lari menjauh, ngeri membayangkan apa yang akan terjadi.

Kalau malam hari akan ada pertunjukan Ludruk dan Film. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Kalau pertunjukan Film, sudah pasti juga di lapangan terbuka atau diistilahkan belakangan dengan layar tancap. Pertunjukan film termasuk yang paling digemari dan ditunggu, maklum tak ada bioskop di sana waktu itu dan masih langka juga yang namanya Video untuk menonton film. Layar akan ditempatkan persis di tengah lapangan, sehingga kerumunan orang yang nonton akan ada di kedua sisinya. Untung tak ada teks-nya karena film yang diputar adalah film Indonesia, kalau tidak pasti teks di satu bagian layar akan terlihat terbalik dan sulit dimengerti.
Film yang diputar saat itu kebanyakan yang dibintangi Rano Karno yang memang menjadi ikon anak muda Indonesia waktu itu, misalnya film Gita Cinta Dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati yang bermain bersama Yessy Gusman. Ada juga waktu dia bermain dengan Lydia Kandou, dalam film Roman Picisan dan Nostalgia di SMA.

Pernah juga di lapangan ini terjadi kehebohan luar biasa, sebabnya adalah sekonyong-konyong ada sebuah helikopter mendarat di sini, ini adalah suatu kejadian langka. Ketika itu sore hari waktu aku dan teman-teman masih belajar di sekolah SD kami, saat itu kami di kelas III dan masuk siang sekolahnya. Tiba-tiba saja, ada suara yang bergemuruh di angkasa yang begitu keras, tanpa dikomando semua berlarian ke halaman sekolah untuk melihat apa gerangan itu, termasuk guru-guru kami. Ternyata ada sebuah helikopter yang berputar-putar di angkasa Pulau Tiga yang kelihatannya hendak mencari tempat untuk mendarat. Dan dapat dipastikan, lapangan sepakbola depan emplasemen adalah yang paling layak untuk mendarat, dan benar saja helikopter itu menuju ke sana dengan tetap dalam ketinggian yang rendah.
Tanpa bisa dicegah, semua kami anak SD berhamburan menyusul menuju lapangan dengan harapan dapat melihat helikopter itu dari dekat yang merupakan sesuatu benda yang sangat menakjubkan. Astaga, begitu sampai di lapangan dengan napas tersengal-sengal karena berlari-lari, ternyata helikopter itu sudah duluan mendarat, dan juga sudah ada ratusan orang berkerumun, tua-muda, laki-perempuan tumpah ruah semua di sana. Helikopter itu berpenumpang empat orang, dua orang turun sambil membawa tas dan kotak besar yang entah apa isinya. Semua anak-anak benar-benar terkesima melihat itu semua, layaknya menyaksikan makhluk angkasa luar dengan pesawat UFO-nya (Unidentified Flying Object).
Belakangan aku ketahui kalau dua orang yang turun itu adalah Insinyur dari ITB yang akan melakukan survey awal pembuatan proyek PLTA di pedalaman Aceh Timur, namun karena berbagai pertimbangan harus diturunkan di Pulau Tiga yang dianggap terdekat dari lokasi yang dituju dan rencananya akan melanjutkan perjalanan lewat darat untuk sampai ke lokasi tersebut.

Dari lapangan sepakbola ini aku mencoba melihat dari kejauhan Kampung Plosok, tempat aku sering berburu burung dengan Hiu, temanku. Di situ jugalah tinggal teman kecilku, Tugiman dan keluarganya. Entah apa mereka masih di sana atau tidak lagi sekarang. Kampung Plosok bukan merupakan areal perkebunan yang dimiliki PTPN I, ada beberapa dusun di sana dengan rumah-rumah yang terpencar-pencar dan umumnya mereka berkebun dan bagi yang punya tanah agak luas biasanya ditanami pohon Karet.

Tentang pohon Karet, tentunya ingatanku tak bisa lepas dari buah pohon karet yang disebut juga Kelatak, yang dibuat sebagai bahan adu-an. Kelatak yang satu diletakkan di tanah, lalu ditempelkan dari atas oleh kelatak yang lain dan lalu dipukul dengan keras oleh tangan. Pemenangnya adalah kelatak yang tidak pecah, dan tidak selalu kelatak yang di bawah yang pecah, kalau kuat malah yang di atas yang pecah. Permaianan ini sarat dengan adu gengsi, kita rela mencari sampai jauh ke kampung-kampung untuk mendapatkan kelatak yang kuat dan tidak gampang pecah ketika di adu. Jenis yang paling kuat adalah kelatak Sribalon dengan permukaannya bertulang (balung) yang menonjol berwarna merah, dan kelatak jenis ini tidak dihasilkan olah pohon karet sembarangan, biasanya adalah pohon karet yang sudah berusia sangat tua disamping memang jenisnya ini sangat langka. Nah...pohon karet jenis ini banyak tumbuh di Bukit Babi_dekat dengan pekuburan yang aku sebut di awal cerita, tapi siapa yang berani ke sana sembarangan, hanya anak yang punya nyali besar yang mampu dan aku tidak termasuk di dalamnya untuk kali ini..ha..ha..

Kampung Plosok juga banyak tumbuh pohon Jambu Monyet atau Jambu Mede (Anacardium occidentale), tumbuh liar dan bebas diambil siapa saja tanpa harus membeli, tinggal permisi sebagai basa basi kepada yang empunya. Jambu monyet ini lumayan menyegarkan meski agak sepet rasanya, tapi waktu itu karena cuma-cuma tetap bersemangat kita memakannya.
Cuma kita harus hati-hati memakannya karena air buah dan getahnya agak 'keras' dan bila mengenai baju akan sangat sulit hilangnya. Setelah besar aku baru tahu kalau ternyata 'buah' yang lunak berwarna kuning atau merah yang dimakan selama ini sesungguhnya adalah dasar bunga yang mengembang setelah terjadi pembuahan. Buah sejatinya adalah bagian 'monyet'-nya, berisi biji yang dapat diolah menjadi kacang mede yang harga jualnya jauh lebih mahal, padalah dulu bijinya ini selalu dibuang dan dianggap tak bermanfaat.

Di sekitar kebun karet di Kampung Plosok juga banyak mengalir sungai-sungai kecil yang biasa disebut Alur dengan airnya yang sedikit keruh berwarna kecoklatan bila musim penghujan. Kami sering memancing di sini dengan umpan cacing tanah yang diambil dari sekitar alur itu juga. Ikan yang sering didapat yaitu ikan Wader_jenis ikan kecil bersisik banyak yang tahan banting, dan ikan Sepat_masih satu suku dengan ikan gurami tapi lebih kecil dengan ciri bertubuh pipih dan bermoncong runcing sempit, keduanya memang jenis ikan yang hidup di sungai. Tak banyak yang didapat kalau sekali mancing, tapi rasanya kalau bisa mendapatkan ada rasa bangga, apalagi bila kita sendiri yang mendapatkan sedang yang lainnya tidak.
Untuk yang lebih kecil lagi dibanding Alur, seperti parit besar, kita biasanya tidak lagi memancing tapi mengurasnya dengan membendung dikedua sisinya untuk mendapatkan ikan. Saat-saat terindah ketika menguras, adalah ketika air yang dikuras tinggal sedikit dan ikan-ikan mulai kelihatan berseliweran. Kalau sudah begitu, rasa lelah menguras berjam-jam langsung sirna seketika berganti semangat menggebu-gebu karena sebentar lagi akan mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak.

Lapangan sepakbola ini dulu dipotong rumputnya dengan sabit yaitu dengan cara mengayunkan ke kiri dan ke kanan, belum ada mesin pemotong rumput seperti sekarang ini. Perlu sedikitnya tiga orang untuk mengerjakannya biar cepat. Kadang terbantu juga oleh orang yang mencari rumput untuk ternaknya, kalau ini biasanya dengan memakai arit. Termasuk pelanggaran sedang bila ada ternak yang lepas dan masuk ke wilayah emplasemen dan memakan rumput di lapangan sepakbola ini. Tentang ternak yang masuk wilayah emplasemen, ada sedikit cerita yang ada hubungannya dengan seekor anjing kesayangan kami.

Kami dulu punya anjing jenis Herder (German Shepherd) yang diberi nama Miki_kemungkinan diambil dari nama tokoh kartun Tikus karya Walt Disney, Mickey Mouse. Kenapa bukan Pluto_nama tokoh Anjing-nya, entahlah aku juga tidak ingat lagi kenapa bisa begitu.
Miki diasuh sejak masih kecil dan sudah dianggap seperti bagian dari keluarga, waktu kecil minumnya susu dan makanannya khusus dimasakkan terpisah. Tiap dua hari sekali dimandikan dan diberi bedak khusus anjing_merknya Doris. Kegemarannya, apalagi kalau bukan tulang kaki lembu bekas soup dan kalau sudah asyik menggigit tulang, dia benar-benar tak mau diganggu. Miki adalah anjing yang penurut dan sangat jinak tapi itu hanya berlaku dengan kami, tidak untuk orang asing, Miki bisa sangat buas apalagi bila dilihatnya gelagat tidak baik atau mengancam. Bila ada yang coba-coba masuk ke halaman rumah dengan maksud tidak jelas dia akan menggonggong, malah akan mengejar dan siap menerjang. Makanya dari dulu kita selalu waspada bila ada yang datang takut Miki bertindak sendiri, tapi bila kita telah memberi tanda kepadanya bahwa situasi aman dan tidak perlu risau, dengan sendirinya dia akan mundur dan menurut. Satu juga yang buat kita sering kerepotan adalah kalau dia mengejar binatang yang ada, seperti kambing atau lembu yang masuk ke wilayah emplasemen. Kalau lembu, tidak terlalu kuatir karena berbadan lebih besar dan biasanya Miki kecapaian sendiri menggonggong dan tidak berhasil menggigitnya. Tapi yang gawat adalah kambing, bisa sampai sekarat kena terjang dan gigitan yang biasanya terkena di bagian leher. Kalau sudah begitu, aku sering menangis-nangis sambil memanggil Miki supaya jangan diteruskan dan segera melepaskan gigitannya. Tapi dia biasanya tidak peduli, inilah satu-satunya perintah kami yang sering tidak digubrisnya, mungkin naluri pembunuhnya muncul di sini sebagai binatang buas, walau dalam keseharian dia kami besarkan dengan lemah lembut. Nah, ketika ada sekawanan ternak khususnya kambing masuk lapangan depan emplasemen, aku langsung kuatir karena Miki akan berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Tak terhitung berapa kali dia bertarung dengan kawanan kambing yang biasanya berkelompok_satu kelompok kambing ini dipimpin oleh kambing betina yang paling tua, sementara kambing-kambing jantan tugasnya menjaga keamanan_ bila banyak kambing jantannya, maka biasanya Miki tak berhasil melukai seekorpun, tapi sebenarnya yang lebih sering menolong agar tidak terjadi apa-apa, adalah karena kami sibuk menghalaunya dengan berbagai cara dan dengan susah payah tentunya. Pernah karena heboh dan paniknya, kepala Kakakku_Bang Obeth_ bocor terkena lemparan batu dariku karena berusaha menghalau Miki biar menjauh dari kawanan kambing. Waktu kejadian itu, Miki jadi sangat merasa bersalah dan meninggalkan kawanan kambing seketika itu juga, di rumah habis dia kena marah oleh kami semua.

Setelah puas berhenti di dekat lapangan sebakbola kamipun melanjutkan perjalanan lagi dan kali ini sampai di depan lapangan tenis yang sudah uzur dimakan usia, di sinilah dulu staf perkebunan berolahraga setiap sorenya. Di dekat lapangan tenis dulu ada semacam saluran air di bawah jalan, mengalirkan air dari sisi lapangan sepakbola ke arah sisi lapangan tenis. Bagian air di bawah jalan ini banyak hidup ikan Gabus_jenis ikan buas air tawar berkepala besar agak gepeng mirip kepala ular, sehingga dinamai snakehead, dengan sisik-sisik besar di atas kepala. Kita sering meninggalkan kail dengan umpan di sana pagi hari dan melihatnya lagi di sore hari, kalau lagi beruntung akan ada ikan Gabus yang memakannya. Masalahnya adalah bila yang tertangkap ikan gabus yang sangat besar, akhirnya kita sendiri jadi takut apalagi mata ikan itu ketika diembus dan berkedip seperti mata manusia. Waktu itu kita yakini kalau mata ikan diembus berkedip maka ikan itu telah ber-hantu...ha..ha..ada-ada saja memang kepercayaan waktu kecil itu.

Matahari telah tinggi sekarang, teringatlah untuk singgah di rumah Kak Ros yang masih terhitung kerabat kami yang kebetulan juga suaminya_Bang Udin, karyawan di Kebun Pulau Tiga. Terakhir ketemu mereka ketika datang ke Medan melayat Bapakku yang meninggal dunia Nopember 2005. Waktu itu mereka memberi tahu kalau sekarang menempati rumah bekas Pak Nasib_seorang Mantri Kesehatan Perkebunan jaman aku masih kecil dulu. Aku masih ingat rumahnya, dan segera mengarahkan mobil ke sana ke arah Pondok bagian atas, dari arah emplasemen langsung belok ke kanan sebelum Kantor Kebun Pulau Tiga.
Rumahnya masih sama bentuknya dengan waktu dulu, rumah panggung dengan tangga untuk masuk ke dalam rumah. Kak Ros dan keluarga tak menduga kedatangan kami ini, dan suasana langsung meriah. Setelah mengobrol sebentar, Kak Ros tanpa banyak tanya langsung menyiapkan makan siang dengan menu lengkap.Kami makan sendirian saja dengan lahap, tanpa ditemanin Kak Ros dan keluarga, beginilah memang cara menghormati dan menjamu tamu makan di sini. Alasannya tidak ditemani supaya tamu yang makan tidak sungkan-sungkan dan bisa bebas makannya. Berbeda memang dengan kebiasaan di Medan misalnya, yang justru kalau tidak ditemani rasanya malah seperti tidak menghormati tamu. Begitulah memang tiap daerah punya kebiasaan sendiri-sendiri, yang pasti semuanya ada maksud baiknya.
Setelah makan, kami mengobrol lagi, pastilah tentang keadaan Pulau Tiga terkini berikut keberadaan orang-orangnya. Ada yang sudah pindah, ada yang sudah menikah dan punya anak, tidak jarang juga yang sudah meninggal dunia.
Kami tak punya banyak waktu karena memang harus pulang ke Medan lagi sore harinya, padahal Kak Ros mendesak juga supaya menginap saja barang semalam. Pada kesempatan itu, Lek Wito_penjaga malam kami dulu, sempat juga dipanggil dan ketemu dengan kami yang memang kebetulan rumahnya masih berdekatan dengan rumah Kak Ros.
Lek Wito sudah tua, walau tampak masih sehat. Bila aku ingatkan tentang kejadian lucu di waktu lampau, dia tertawa dan memuji kalau aku masih ingat. Dia bilang, kalau masih tetap ingat dengan Bapak dan Ibuku dulu dan waktu mengatakan ini sedikit terharu dia, entah apa yang ada di pikirannya.

Akhirnya waktu berpisah datang juga dan kamipun pamit pulang, yang sebelumnya salah satu informasi kami dapat kalau Iwin_teman karibku dulu_ tinggalnya sekarang selepas Bukit Babi sebelum Kampung Pasar kalau datang dari Pulau Tiga, jadinya kami mau merencanakan singgah dulu nanti sekalian pulang ke Medan.

Mobil beranjak pelan, hatiku sedikit sedih juga. Begitu banyak kenangan di Pulau Tiga, dan bersyukur aku punya kenangan masa kecil yang indah di sini yang tak akan terhapus dari dalam hati sampai kapanpun. Kembali terngiang ucapan Bapakku dulu, kalau setiap orang akan rindu dengan tempat masa kecilnya, dan bilang kalau aku pasti akan tetap ingat dengan Pulau Tiga, tempat masa kecilku. Ucapan itu tergenapi sekarang, dan benar adanya.

Ketika sudah melewati Bukit Babi, aku pelankan laju mobil untuk mencari rumah Iwin_teman SD-ku dulu. Tidak sulit mencarinya, karena memang sudah ada petunjuk dari Kak Ros kalau rumahnya masih baru dibangun dan sedikit menonjol dibanding dengan rumah yang ada di sekitar tempat itu. Begitu sampai di depan rumahnya yang memang tepat di tepi jalan, aku lihat di halaman rumah seseorang yang sangat aku hafal gerak-gerik tubuhnya dari puluhan tahun yang lalu. Benar, tak salah lagi inilah si Iwin teman karibku dulu saat di SD Negeri 01 Pulau Tiga. Walau dia satu tahun di atasku dan tidak sekelas, tapi kami sangat karib dan selalu bermain bersama setelah pulang sekolah. Dia kaget, ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan makin terheran-heran ketika aku keluar dari mobil dan menghampirinya.
Mulanya aku diam saja dan berusaha tenang ketika sudah berhadapan dengannya seakan-akan aku orang asing, tapi itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, dia seperti baru tersadar dan dengan setengah berteriak dia menyerbuku dan langsung kami berpelukan erat. Dua puluh dua tahun, sepertinya waktu yang terlalu lama untuk berpisah dengan seorang sahabat.

Iwin baru saja membangun rumahnya di sini, yang aku puji rumah yang sangat bagus. Dia sudah berkerja di banyak tempat di Aceh, dan setelah cukup menabung, dia kembali ke Pulau Tiga dan membeli tanah, selanjutnya membangun rumahnya di sini. Dia sekarang ber-usaha saja dan menikmati kembali hidup yang tenang dengan keluarganya di Pulau Tiga.

Setelah puas mengobrol kamipun beranjak pulang, apalagi hari sudah sore, aku kurang nyaman bila harus melewati jalan menuju simpang Seumadam dalam keadaan gelap di malam hari.
Diiringi lambaian tangan Iwin, isteri dan anaknya kamipun meninggalkan Pulau Tiga dan menutup perjalanan satu hari itu, yang mampu memunculkan semua kenangan indah masa kecil di Pulau Tiga.

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun