Narasi sejarah Pattimura hingga kini masih mengundang polemik, dimana sulit untuk menilai versi mana yang benar. Apalagi kisah Pattimura sudah berlangsung di tahun 1817 silam, tentu merekonstruksi sejarah Pattimura, yang original bukan sesuatu yang mudah. Pasalnya berkisar dalam waktu dan tempat, dengan menggunakan ingatan sebagai instrumen esensialnya, yang harus didukung pula dengan rujukan naskah sejarah warisan Inggris, Belanda, dan Maluku. Bahkan perlu didukung juga dengan pelaku sejarah dari Inggris, Belanda, dan Maluku, yang masih memiliki relasi keturunan sampai saat ini.
Menurut sejarawan M. Sapija (1959) dalam bukunya ‘Sedjarah Perdjuangan Pattimura’ mengatakan, Pattimura atau Thomas Matulessy, lahir di Haria Pulau Saparua pada 8 Juni 1783. Pattimura tergolong keturunan bangsawan dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy, yang merupakan putra Raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang, tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan.
Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara (2009) dalam bukunya ‘Api Sejarah’ mengatakan, Pattimura atau Ahmad Lussy dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy Seram Selatan. Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah, dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali. Ada juga versi sejarawan Lutfhi Pattimura, dan Kisman Latumakulita (2012) dalam bukunya ‘Ini Dia Aslinya Kapitan Pattimura’, yang tentu mengulas asal usul Pattimura yang berbeda juga.
Meminjam pendapat Sir Francis Bacon (1561-1626), salah seorang pencetus pemikiran empirisme mengatakan bahwa, berdasarkan materi pokoknya sejarah berbeda dengan disiplin ilmu yang lain. Sejarah mempelajari hal-hal yang berkisar dalam waktu dan tempat, dengan menggunakan ingatan sebagai instrumen esensialnya. Pada konteks ini, Sir Francis Bacon sudah menegaskan demikian, karena itu narasi sejarah Pattimura yang otentik, hanya akan berkisar dalam waktu, dan tempat dengan menggunakan ingatan sebagai instrumen esensialnya.
Diluar kontroversi sejarah Pattimura itu, tatkala tumbuh dewasa Pattimura berkarir dalam kesatuan militer Inggris (British military units), dengan pangkat sersan (sergeant). Aktifnya Pattimura dalam kesatuan militer Inggris, tidak terlepas dari penguasaan Inggris atas Maluku pada tahun 1811. Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1816 Inggris pun menyerahkan kekuasaannya di Maluku kepada Belanda. Penyerahan kekuasaan Inggris di Maluku kepada Belanda, dalam perkembangannya membawa prahara bagi rakyat di Maluku.
Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran dari rakyat Maluku, akan timbulnya kembali kekejaman Belanda, seperti yang pernah dilakukan pada masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian hasil bumi, yang tidak mau menjual kepada Belanda. Begitu juga rakyat dibebani berbagai kewajiban berat dari Belanda, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.
Kedatangan kembali Belanda tidak hanya menimbulkan kekhawatiran, tapi mendapat tantangan keras dari rakyat. Sebab kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku dibawah pimpinan Pattimura, akhirnya pada 15 Mei 1817 bangkit melawan Belanda. Dipercayakannya Pattimura sebagai pimpinan perang melawan Belanda oleh para raja, patih, kapitan, tua-tua adat, dan rakyat, karena dia berpengalaman serta memiliki sifat-sifat kabaressi (kesatria).
Untuk memaksimalkan perlawanannya, Pattimura mengkoordinir raja dan patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan, dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas para raja, patih, dan rakyat. Guna menghadapi perlawanan Pattimura yang gigih itu, Belanda pun mengirim Laksamana Buykes, salah seorang komisaris jenderal, dengan mengerahkan kekuatan militer besar dan kuat (grote en machtige militaire macht).
Pertempuran hebat melawan Belanda di darat dan di laut dikoordinir Pattimura yang dibantu para panglimanya, antara lain ; Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina, dan Ulupaha. Pertempuran menghancurkan Belanda seperti perebutan benteng Duurstede, Pantai Waisisil, Jasirah Hatawano, Ouw, Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon, dan Seram Selatan. Dalam perkembangannya perjuangan Pattimura, dan kawan-kawannya itu dapat dilumpuhkan Belanda, akibat politik adu domba, tipu muslihat, dan bumi hangus dari Belanda.
Pattimura dan kawan-kawannya, akhirnya ditangkap dan selanjutnya Pattimura dan kawan-kawannya dibawah ke Ambon. Saat tali hukuman gantung terlilit di lehernya di Benteng Victoria pada 16 Desember 1817 Pattimura pun berucap ; “saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar, dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya, (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa), saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya.”
Perlawanan Pattimura terhadap Belanda di tahun 1817, yang hingga kini masih mengundang polemik itu, telah berlalu ratusan tahun lampau. Namun spirit heroik Pattimura dalam melawan Belanda tetap terpatri, dan terwariskan kepada generasi muda Maluku. Pada 15 Mei 2024, warga masyarakat Maluku merayakan hari ulang tahun (HUT) Pattimura ke-203. Spirit heroik Pattimura kini telah bertransformasi menjadi nilai-nilai manggurebe maju, untuk bangun Maluku yang lebih baik lagi. (Soedarmanta 2007, Tawainela 2015, Wikipedia, 2015).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H