Mohon tunggu...
Jen Latuconsina
Jen Latuconsina Mohon Tunggu... Dosen - Jen Latuconsina memiliki nama lengkap Muhammad Jen Latuconsina, S.IP, MA, yang biasa menggunakan nama pena M.J. Latuconsina. Lelaki berdarah Ambon ini, lahir di Masohi pada 30 Mei 1975 lampau. Ia meraih gelar S1 Ilmu Politik/Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanudin (2001), lantas meraih gelar S2 Ilmu Politik pada Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadja Mada (2008). Ia adalah seorang pribadi yang suka membaca, menulis dan fotografi. Ia banyak menghiasi media cetak lokal di Kota Ambon dengan berbagai artikelnya dalam bidang politik, pemerintahan, dan administrasi publik. Sebelumnya sejak tahun 2001 berprofesi sebagai jurnalis di Tabloid Catatan Kaki, Tabloid Suisma, Harian Info, Harian Ambon Ekspres, dan Tabloid Ekspresi. Pada tahun 2005 ia kemudian menekuni profesi dalam dunia akademik, dengan menjadi dosen pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pattimura.

Pria

Selanjutnya

Tutup

Politik

Destroyer Historik

5 Juni 2024   11:37 Diperbarui: 5 Juni 2024   11:50 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Orang-orang terjebak dalam sejarah dan sejarah terjebak di dalamnya." Kata-kata ini merupakan quotes James Arthur Baldwin (1924-1987), seorang sastrawan Amerika Serikat. Qoutes ini relevan dengan narasi berikut ini, dimana kadang kita menjebak diri dalam sejarah. Hal ini yang kemudian melahirkan polemik yang nyaris tak berkesudahan, hanya untuk teks-teks usang masa lampau yang sebenarnya berharga, dimana sebagai identitas kebangsaan-kenegaran kita sebagai warga negara Indonesia.

***

Terlepas dari itu, tema ini bukan memaparkan tentang kapal perang (naval battleship) jenis destroyer, yang dikenal sebagai kapal perusak. Destroyer merupakan kapal perang yang mampu bergerak cepat serta lincah dalam bermanuver. Destroyer berfungsi  untuk memproteksi armada kapal perang berukuran lebih besar seperti : kapal  induk (aircaraft carrier), kapal utama (capital ship), kapal tempur (battleship) dan kapal penjelajah (cruiser) dari ancaman serangan peralatan perang yang lebih kecil seperti kapal boat torpedo, kapal selam dan pesawat terbang.

Biasanya istilah destroyer oleh para aktifis politik dikonversikan secara letterlijk sebagaimana maknanya yakni, perusak dimana dalam fight politik ada individu yang menjadi aktor destroyer. Peran destroyer ini dengan sistimatis hadir untuk merusak jalinan koalisi, yang telah terkonsolidasi dengan baik, dimana memiliki target memporak-porandakan mereka, sehingga memenangkan fight politik. Pada perspektif ini destroyer dikonversikan lagi untuk individu yang sengaja merusak sejarah, yang kemudian saya sebut dengan istilah destroyer historik.

Mengapa destroyer historik ?, karena ada seorang ilmuan eksakta yang dengan sengaja membuat distorsi sejarah menyangkut dengan keberadaan Sumpah Pemuda 28 Otober 1928 di Batavia. Dalam pandangan ilmuan eksakta itu, tidak ada Jong Ambon sebagai unsur pemuda Ambon pada Konggres Pemuda II di Batavia tersebut, padahal fakta sejarahnya ada. Ia berangkat dari  statemen JJ. Rizal seorang sejarawan tanah air di website Nusantara News, yang dirilis pada 22 Oktober 2016 lalu, dimana meragukan konten Sumpah Pemuda tersebut.

Sejarawan JJ. Rizal mengungkap bahwa, tidak ada kata-kata sumpah dalam naskah asli Sumpah Pemuda yang dibuat pada tanggal 28 Oktober 1928. Menurut kajiannya, surat kabar Sinpo yang pertama memberitakan hasil Kongres Pemuda ke II tahun 1928, tidak memuat kata Sumpah dalam naskah tersebut. Disitu cuma ditulis putusan kongres. Disebut bahwa kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.

Sejarawan lulusan Fakultas Satra Universitas Indonesia (FSUI) itu mengatakan bahwa, tidak ada kata sumpah. Ada pihak yang sengaja mengubah isi teks Sumpah Pemuda. Itu dilakukan setelah tahun 1950-an, dimana ketika itu banyak terjadi pemberontakan di daerah. Dimasukannya kata sumpah bermaksud untuk menciptakan ‘kesakralan’ dalam keputusan hasil Kongres Pemuda II tahun 1928.

Apakah kemudian kita bisa mempercayai pendapat sejarawan ini ? lantas mengeliminasi sejarah Sumpah Pemuda sebagaimana yang dikehendaki seorang ilmuan eksakta bergelar doktor, yang telah mempublisnya berulang kali di akun facebooknya tersebut. Sehingga menimbulkan perdebatan pro dan kontra, dimana dampaknya ada sebagian nitizen yang mempercayai postingannya itu. Perilakunya yang demikian menempatkan ia tak lebih dari seorang propagandis, yang picik pemikirannya.

Tentu kita tidak bisa mempercayai pendapat JJ. Rizal begitu saja. Hal ini dikarenakan, pendapat sejarawan tersebut barulah sebatas asumsi, yang belum dibuktikan kebenarannya melalui riset sejarah yang komprehensif. Asumsi  sendiri dalam filsafat ilmu memiliki peran sebagai dugaan atau andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh pengetahuan. Jika asumsi memiliki peran yang demikian, maka pendapat sejawaran itu belum tertuju pada upaya untuk memperoleh pengetahuan, yang bermuara pada kebaharuan (novelty).

Menurut Irfan (2018) bahwa, asumsi dalam kajian filsafat ilmu tergolong ke dalam kelompok ontologi, yaitu bab yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk konkret atau abstrak. Asumsi berperan sebagai dugaan atau andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh pengetahuan. Ia diperlukan sebagai arah atau landasan bagi kegiatan penelitian sebelum sesuatu yang diteliti tersebut terbukti kebenarannya.

Akan tetapi perspektif pendapat JJ. Rizal tersebut,  sesuai dengan konteks argumentasi dari Paditra (2020). Ia mengatakan bahwa, walaupun dalam hal ini sendiri para sejarawan pun masih meragukan dan terus menerus mengulik bagaimana sebuah reka peristiwa yang dapat menyentuh sebuah kebenaran peristiwa dimasa lalu tersebut. Berangkat dari pendapat itu, maka satu-satunya jalan untuk menjawab keraguan Sumpah Pemuda tersebut yakni, dengan melakukan penelitian yang komprehensif.

Atas dasar itu, maka seorang sejarawan yang ingin mengatahui suatu sejarah tertentu, ia akan menempuh secara sistematis prosedur penyelidikan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu, pengumpulan bahan-bahan sejarah baik dari arsip-arsip dan perpustakaan-perpustakaan (di dalam atau di luar negeri), wawancara dengan tokoh-tokoh tertentu untuk menjaring informasi selengkap mungkin). Seorang sejarawan harus dilengkapi pula dengan pengetahuan metodologis atau pun teoretis bahkan juga filsafat. (Helius, 2007).

Merujuk pada pendapat Kartodirdjo (1993), ia mengatakan bahwa permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah adalah masalah pendekatan. Penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan. Maksudnya dari segi mana memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan dan lain sebagainya. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang digunakan.

Pendekatan dimaksud yakni :  sosiologis, atropologis dan politikologis. Rata-rata pendekatan ini menggunakan metodologi kualitatif, karena berbasis  Ilmu Kemanusiaan (Ilmu Sosial/Humaniora/Budaya). Dalam konteks Ilmu Sejarah tentu tidak bisa menggunakan metodologi kuantitatif, melainkan menggunakan metodologi kualitatif dalam melakukan penelitian. Sehingga bukan menggunakan pisau filsafat  positivisme, melainkan menggunakan pisau filsafat post positivisme.

Penelitian sejarah tidak bisa menggunakan metodologi kuantitatif, yang bersumber pada filsafat positivis. Pasalnya, dalam konsepsi ini paham positivistik melahirkan pendekatan penelitian kuantitatif yang dicirikan oleh pengukuran dengan perhitungan angka (numerik). Bertolak belakang dengan pardigma positivisme, post positivisme lebih menekankan pada penjelasan-penjelasan atau deskripsi kualitatif bukan kuantitatif.

Dalam pandangan pos positvisme, manusia bukanlah benda mati yang mudah diukur, apalagi dengan angka-angka. Mereka berpendapat bahwa kebenaran tidak hanya berhenti pada fakta, melainkan apa makna di balik fakta tersebut. Dalam Ilmu Sosial yang kajiannya adalah manusia dan bukan benda, maka pendekatan kuantitatif sulit untuk dilakukan. Kritik terhadap positivisme lebih kepada penolakan terhadap pandangan positivisme yang menyamakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam.. (Sundaro, 2022).

Pendekatan pospositivis tentu sangat dinamis, dimana tidak stagnan melainkan sesuai dengan karakteristik manusia itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa, temuan baru bisa menguggurkan temuan lama yang dikenal dengan istilah falsifikasi.  Falsifikasi ini dikemukakan Karl Raymond Popper (902-1994). Menurutnya bahwa, kebenaran suatu ilmu bukan ditentukan melalui pembenaran (verifikasi), melainkan melalui upaya penyangkalan terhadap proposisi yang dibangun oleh ilmu itu sendiri (falsifikasi).

Akhirukalam statemen JJ. Rizal yang meragukan Sumpah Pemuda tersebut, bukanlah berangkat dari hasil penelitian yang bermuara pada adanya kebaharuan (novelty). Namun itu hanya sebatas statmen, yang  merupakan suatu asumsi dari kolumnis pada penerbitan pers tersebut.  Sehingga masih diragukan kebenarannya, dimana belum bisa memfalsifikasi temuan-temuan sebelumnya, yang hasilnya membenarkan adanya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 lampau di Batavia tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun