Atas dasar itu, maka seorang sejarawan yang ingin mengatahui suatu sejarah tertentu, ia akan menempuh secara sistematis prosedur penyelidikan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu, pengumpulan bahan-bahan sejarah baik dari arsip-arsip dan perpustakaan-perpustakaan (di dalam atau di luar negeri), wawancara dengan tokoh-tokoh tertentu untuk menjaring informasi selengkap mungkin). Seorang sejarawan harus dilengkapi pula dengan pengetahuan metodologis atau pun teoretis bahkan juga filsafat. (Helius, 2007).
Merujuk pada pendapat Kartodirdjo (1993), ia mengatakan bahwa permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah adalah masalah pendekatan. Penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan. Maksudnya dari segi mana memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan dan lain sebagainya. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang digunakan.
Pendekatan dimaksud yakni :  sosiologis, atropologis dan politikologis. Rata-rata pendekatan ini menggunakan metodologi kualitatif, karena berbasis  Ilmu Kemanusiaan (Ilmu Sosial/Humaniora/Budaya). Dalam konteks Ilmu Sejarah tentu tidak bisa menggunakan metodologi kuantitatif, melainkan menggunakan metodologi kualitatif dalam melakukan penelitian. Sehingga bukan menggunakan pisau filsafat  positivisme, melainkan menggunakan pisau filsafat post positivisme.
Penelitian sejarah tidak bisa menggunakan metodologi kuantitatif, yang bersumber pada filsafat positivis. Pasalnya, dalam konsepsi ini paham positivistik melahirkan pendekatan penelitian kuantitatif yang dicirikan oleh pengukuran dengan perhitungan angka (numerik). Bertolak belakang dengan pardigma positivisme, post positivisme lebih menekankan pada penjelasan-penjelasan atau deskripsi kualitatif bukan kuantitatif.
Dalam pandangan pos positvisme, manusia bukanlah benda mati yang mudah diukur, apalagi dengan angka-angka. Mereka berpendapat bahwa kebenaran tidak hanya berhenti pada fakta, melainkan apa makna di balik fakta tersebut. Dalam Ilmu Sosial yang kajiannya adalah manusia dan bukan benda, maka pendekatan kuantitatif sulit untuk dilakukan. Kritik terhadap positivisme lebih kepada penolakan terhadap pandangan positivisme yang menyamakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam.. (Sundaro, 2022).
Pendekatan pospositivis tentu sangat dinamis, dimana tidak stagnan melainkan sesuai dengan karakteristik manusia itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa, temuan baru bisa menguggurkan temuan lama yang dikenal dengan istilah falsifikasi. Â Falsifikasi ini dikemukakan Karl Raymond Popper (902-1994). Menurutnya bahwa, kebenaran suatu ilmu bukan ditentukan melalui pembenaran (verifikasi), melainkan melalui upaya penyangkalan terhadap proposisi yang dibangun oleh ilmu itu sendiri (falsifikasi).
Akhirukalam statemen JJ. Rizal yang meragukan Sumpah Pemuda tersebut, bukanlah berangkat dari hasil penelitian yang bermuara pada adanya kebaharuan (novelty). Namun itu hanya sebatas statmen, yang  merupakan suatu asumsi dari kolumnis pada penerbitan pers tersebut.  Sehingga masih diragukan kebenarannya, dimana belum bisa memfalsifikasi temuan-temuan sebelumnya, yang hasilnya membenarkan adanya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 lampau di Batavia tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H