Barangkali saja Pemerintah kita melihat perkembangan penanganan penyebaran virus Corona di negara-negara sahabat di belahan benua Eropa, Asia, Afrika, Amerika Latin seperti ; Turki, Perancis, Arab Saudi, Pakistan, Kuwait, Yordania, India, Srilanka, Filiphina, Libya, Aljazair, Sudan, Tunisia, Paraguay, Chili, dan Equador, dimana pada negara-negara sahabat ini memberlakukan jam malam.
Sementara untuk memberlakukan jam malam dalam penanganan penyebaran virus Corona di tanah air, hanya bisa dilakukan dengan penerapan darurat sipil melalui Perppu No 23 Tahun 1959.
Dari pemikiran itu, dampak negatif dari darurat sipil jika benar-benar diterapkan oleh Pemerintah tentu ada, dimana tindakan-tindakan dari penguasa darurat sipil, melalui otoritas yang melekat padanya akan diarahkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Hal ini dilakukan dengan melakjukan penyadapan, membubarkan kerumunan, hingga menghentikan jalur komunikasi.
Kondisi penerapan darurat sipil yang demikian, tidak dikehendaki rakyat dari Pemerintah, untuk menerapkan darurat sipil dalam menangani kencangnya serbuan virus Corona pada berbagai daerah di tanah air.
Opsi positifnya Pemerintah tetap merealisasikan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam menghadapi penyebaran virus Corona, dengan menimbang secara baik-baik dampak positif dan negatif dari penerapan darurat sipil dalam menangani penyebaran virus yang mematikan itu.
Mengakhirinya meminjam pendapat Helen Adams Keller (1880-1968) seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat, yang pernah menjadi pemenang dari Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, dan The Presidential Medal of Freedom, bahwa, optimisme merupakan keyakinan yang membawa hasil. Tidak ada yang mampu dilakukan tanpa harapan dan percaya diri. Mari kita optimis untuk menuntaskan virus Corona. (M.J. Latuconsina).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H