“Eksekusi!”
“Serahkan, biar rakyat yang mengadili!”
Dan entah teriakan apalagi, aku tak sempat menyimak. Sekarang mereka semakin brutal. Sebagian mereka berusaha merobohkan pagar yang memisakan mereka dengan rutan. Tetapi usaha mereka mendapat rintangan dari petugas-petugas keamanan. Dengan gagah dan semangat reformasi tulen mereka menghalau ke arah demonstran sambil menembakkan peluru karet dan gas air mata. Banyak di antara demonstran yang terkapar dan berpelantingan, saling dorong menghindari pentungan petugas. Teriakan semakin membahana. Bahkan kini terlihat mereka melempari rutan dengan apa saja. Sandal, botol, batu, kaca-kaca sampai beha ikut memperkeruh keadaan. Tragis!
“Paijo, bangsat kau!”
“Bakar-bakar!”
“Hai, Paijo mampuslah kau!”
Deg. Jantungku seperti berhenti berdetak. Walah, walah baru aku tahu mereka menghujat dan mengutuk seorang Paijo Suroto. Pantas, pantas! Dan sudah pasti, perempuan-perempaun tadi adalah ‘gendaannya’.
Betapa beruntungnya Paijo digilai perempuan-perempuan seperti mereka bayangkan, tidak cuma dua atau tiga perempuan yang datang membezuknya. Tak terhitung malah. Dan yang membuat takjub, perempuan-perempuan itu klimis-klimis. Kembali aku menelan ludah. Memang bukan kabar burung lagi tentang sepak terjang sang Paijo Suroto. Selain ganteng dia juga pembalap handal, memiliki banyak perusahaan multinasional, dan yang terpenting dia adalah putra kesayangan sang penguasa yang belakangan kehilangan giginya. Ompong, pong! Paijo juga doyan perempuan. Don juan, playboy sudah menjadi trade mark-nya. Jangan heran kalau perempuan-perempuanya seabreg.
Itu baru sedikit kebaikan-kebaikannya. Nah lho, ternyata dibalik pribadi yang klimis itu menyimpan sejuta kekejaman. Dari teror bom yang mengguncang ibukota hingga seantero negeri ini diindikasikan dialah dalangnya. Dia juga tersangka dalang penembakan hakim agung dan banyak lagi aib yang terkoleksi. Hingga beberapa waktu dia menjadi buronan kelas kakap yang membuat pusing petugas. Memang brengsek si Paijo itu. Andai saja ada kata yang mampu mewakili kebencianku selain kata brengsek, pasti aku akan menympahinya tersus-terusan. Persetan, pikirku.
“Brakk!”
Aku terjingkat. Sekonyong-konyong angin menerobos melalui pintu yang terbuka dengan paksa. Tempias air hujan membasahi lantai. Kertas-kertas yang tersusun rapi di atas meja berserakan. Kain gorden tersingkap melambai-lambai. Figura kosong itu terayun-ayun seirama dengan hembusan angin. Aku berdiri, segera kututup kembali pintu itu. Di luar angin menderu dengan dasyatnya. Petir menyambar, kilat sekilas bersirobok dengan pandanganku; kupandang kembali figura yang menumbuhkan ketakutan di benakku. Tapi, kosong! Tidak ada apa-apa dengan figura itu. Semua seperti sedia kala. Hanya dinding kusam yang melatari figura itu. Kuusap mataku, sekan tak percaya. Juga kosong. Pensaran, kudekati dan kuraba. Tak ada apa-apa. Hanya bingkai kayu yang sudah tua. Di sana-sini terdapat lubang-lubang kecil dan berbubuk. Itu pasti pekerjaan ngengat, pikirku. Namun kemudian akal sehatku menari lagi. Lalu apa yang kulihat tadi? Apakah itu lamunanku saja? Halusinasi? Ah, kurasa tidak juga. Aku seperti melihat adegan-adegan dalam film melalui figura itu. Aku seperti masuk ke dalamnya, dan turut larut. Persetan, persetan.