Mohon tunggu...
Jen Kelana
Jen Kelana Mohon Tunggu... Mengajar -

Pejalan yang ingin terus berjalan. http://bolehsaja.net

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suatu Waktu

29 Agustus 2015   23:53 Diperbarui: 29 Agustus 2015   23:53 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Lalu lintas semakin pada bila malam minggu begini. Apalagi jalur-jalur utama kota megapolitan ini. Bahkan segerombolan kendaraan roda dua seperti ingin mengangkangi jalanan. Raungan mesinnya singgah di sebuah rumah mega di pinggiran jalan protokol itu. Pagar tembok tinggi dengan halaman yang maha luas. Terlihat banyak mobil mewah parkir di situ. Kelihatannya ramai sekali. Suara riuh rendah menyeret langkahku melongok ke dalam rumah itu. Astaga ! Sesosok tubuh dibungkus kain putih tergolek pasrah dikelilingi orang-orang yang rata-rata berperut gendut. Memakai jas hitam lengkap dan mengesankan turut berduka cita. Namun anehnya di antara mereka ada yang bermain judi dan minum-minum. Botol-botol berserakan di lantai bau alkohol menyengat penciumanku. Ada bagian kafan si mati yang tersiram minuman itu. Sambil tertawa-tawa menertawai kematian ini. Aku tegak diambang pintu memandang mereka. Kulihat di sudut ruangan, anak-anak, istri dan kerabat si mati bercengkerama dengan perempuan-perempuan lain. Aku tertegun. Jahanam. Istri macam apa ini ? Dalam kebingunanku dan ditingkahi suara gaduh, lamat-lamat kudengar suara-suara ganjil. Datang entah dari mana.

“Kenapa kalian seperti aku ?” kulihat perempuan yang menjadi istri si mati memandangku nanar. Ada keterkejutan dan paras mengisyaratkan ketakutan luar biasa. Orang-orang semakin asyik dengan kegiatannya. Tertawa-tawa hingga airmata mereka tertumpah. Perempuan itu berusaha berjalan ke arahhku. Susah payah dia melintasi orang-orang itu, dan ketika beberapa jarak lagi sampai ke tempatku berdiri, tanpa pengetahuan siapa saja aku beranjak pergi. Pergi melintasi pagar, melayang lalu melebur bersama wan putih di sela cahaya bulan separuh yang meredup. Dari jauh masih sempat kudengar teriakan histeris dari orang-orang yang berada di ruangan itu. Lamat-lamat kudengar suara cambuk api mengiringi teriakkan mereka.

“Ctar, ctar, ctar !” perempuan itu terperangah melihat mayat suaminya tiba-tiba bergerak-gerak. Orang-orang yang sudah setengah mabuk itu, tidak menghiraukan perubahan yang terjadi. Mereka baru sadar ketika dikejutkan teriakkan melangit.
Tauuuuuuuuubbaaaat!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun