Mohon tunggu...
Jen Kelana
Jen Kelana Mohon Tunggu... Mengajar -

Pejalan yang ingin terus berjalan. http://bolehsaja.net

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suatu Waktu

29 Agustus 2015   23:53 Diperbarui: 29 Agustus 2015   23:53 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sebuah rumah.

Hawa dingin mengiringi jatuhnya malam. Gemerisik daun-daun melebur bersama aroma seperti bebauan dupa. Kadang-kadang menyeruak menusuk hidung dan terkadang tidak tercium sama sekali. Di luar udara dingin luar biasa. Namun kegerahan menyapa orang-orang yang sedang khusuk membaca surta Yasin. Tahlilan. Di sebuah rumah. Kesan sedih terlukis melatari bergulirnya malam. Suara-suara itu seperti hilang dan timbul dibawa angin yang menerobos pintu-pintu rumah. Jauh melayari rumah-rumah di sekitarnya. Tersangkut pada ventilasi-ventilasi jendela, tertinggal din tepian-tepian sungai yang berubah fungsi menjadi tempat pembuangan limbah. Segalanya seperti kehilangan sesuatu yang paling berharga. Mereka bersedih. Mereka merasakan keresahan yang berkepanjangan atas kehilangan ini. Pekat di langit barat, timur, utara dan selatan menambah kesedihan. Pilu. Semua meluruk, bergabung dengan saudara merekayang dicoba kesabarannya. Jadilah ‘paduan suara’ mengumandangkan kalam-Nya.

Di tengah ruangan tergolek sesosok tubuh yang terbungkus kain putih. Kafan. Dikelilingi orang-orang yang mengasihinya. Istri tercinta, anak-anaknya, kerabat-kerabatnya dan orang-orang yang begitu menghormati dan mengaguminya. Mereka kehilangan atas lepergiannya.

Sembab masih terlihat jelas di wajah-wajah mereka. Sisa air mata menggenangi lekuk mata mereka. Adalah kepedihan yang maha dahsyat. Alampun turut berduka. Malam menjadi saksi atas semua ini. Perlahan rerintik gerimis turut menangis giris. Iramanya teratur dan menghiba. Di dalam deraian rinai itu terdengar suara-suara yang seakan-akan ingin menyela gerimis. Seperti ingin memberi kabar kepada semua yang ada di rumah itu.

“Tidak usahlah kalian bersedih. Kepergianku ini membawa berkah. Untuk apa air mata itu kalian tumpahkan. Simpanlah, curahkan nanti ketika dunia diambang kematian.”

Seseorang yang duduk di pojok ruangan memandang orang yang hadir dalam tahlilan ini. Semua khusyuk dengan bacaannya masing-masing. Orang iu berusaha berkonsentrasi lagi dan mengikuti irama bacaan mereka. Namun suara-suara itu kembali mengganggu usahanya menghalau kegugupan yang tiba-tiba menyergapnya. Dipandanginya lagi orang-orang di sekelilingnya. Tidak berubah. Malah semakin sendu saja. Bahkan terlihat air mata menggenangi kedua pipi perempuan yang menjadi istri si mati. Heran. Sama seperti perasaannya.

“Akupun hampir-hampir tak mampu membendung bah di mataku, “ gumamnya. Apakah perempuan itu mendengar juga suara-suara itu ? Entahlah ! Barangkali saja. Beberapa kali memang terlihat perempuan itu memandang orang-orang yang hadir di situ. Walaupun tidak begitu jelas, perempuan itu hanya mengerling. Suatu ketika matanya bersirobok dengan pandangan orang yang duduk di pojok itu. Air matanya semakin mengalir membsahai pipinya. Dan menunduk lagi berusaha menahan kegelisahan hatinya.

“Terima kasih kalian maun mendoakan aku. Aku bahagia sekali mendapatkan kenyataan ini. Tapi janganla kalian buang airmata, hanya akan menjadi aral bagiku. Pesanku aku pernah mendengar orang-orang berkata padaku tentang kehidupan di sini. Dan aku percaya itu. Aku mau kalian seperti aku,” kembali terngiang suara-suara itu. Perempuan tadi menandang ke arah pojok ruangan. Seakan ada yang ingin dikatakannya kepada orang yang duduk di pojok itu.

Malam semakin larut. Hujan tinggal menyisakan dingin. Sementara orang-orang yang tadi tahlilan satu demi satu meninggalkan rumah itu. Cahaya lampu petromaks sedikit redup mengiringi berlalunya mereka. Tinggal orang yang duduk di pojok, anak-anak, istri si mati dan kerabatnya yang masih tinggal. Kemudian mereka larut dalam bayangannya sendiri-sendiri, hingga tak sadar satu persatu terlelap dalam kelelahan.

***

Sebuah rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun