Buku ini menceritakan sekelompok mahasiswa yang aktif mengkritisi pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru, tepatnya sekitar tahun 1990 hingga 1998.Â
Chudori juga menceritakan pameran utama yang bernama Biru Laut ditangkap oleh Pasukan Elang, disiksa dan dipenjara sampai akhirnya dibunuh.
Selain itu, Chudori juga menceritakan tentang keluarga yang ditinggalkan oleh para mahasiswa yang bertahun-tahun tidak ditemukan.Â
Bagaimana keluarga mereka terus melakukan demontrasi di depan kantor presiden setiap hari Kamis, menuntut pertanggung jawaban pemerintah.
Terdengar sangat familiar, yah? Karena memang "Laut Bercerita" di-setting pada periode akhir masa Orde Baru yang nyata terjadi di Indonesia. Bagaimana para mahasiswa yang sekaligus menjadi aktivis berdiskusi, menyelenggarakan demonstrasi, hingga kabur dan ditangkap oleh aparat keamanan memang dialami oleh sekelompok masyarakat kita.
Inilah adalah salah satu manfaat dari buku fiksi sejarah. Pembacanya dapat mengetahui, memahami, dan mempelajari kejadian sejarah yang benar-benar terjadi namun pada saat yang bersamaan juga terhibur dengan fiksi karangan penulis. Hal ini tentu sangat bermanfaat, bagaimana mempelajari sejarah sama seperti mempelajari agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sosok Laut Biru yang diceritakan di buku "Laut Bercerita" karya Leila S. Chudori terinspirasi dari Bapak Nezar Patria, seorang wartawan, aktivis, sekaligus penyair yang merupakan salah satu dari 23 korban penculikan aktivis pada masa Orde Baru.
Cerita Laut Biru terasa nyata, karena memang apa yang Laut Biru dialami berdasarkan pengalaman Bapak Nezar Patria dan teman-temannya. Bagaimana mereka mengalami penyiksaan dari hari ke hari karena gugatannya.
Jika Bapak Nezar Patria akhirnya dibebaskan, Laut Biru memiliki akhir yang berbeda guna mewakilkan cerita 13 orang aktivis yang hingga sekarang belum pulang.
Salah satu titik penting dari buku "Laut Bercerita" adalah bagaimana keluarga yang ditinggalkan terus hidup dalam kegelapan dan ketidakpastian.Â