“Daratan adalah rumah kita, dan lautan adalah rahasia.” – W.S. Rendra
Laut Mediterania dikenal sebagai lintas perbatasan yang paling mematikan. Sejak 1993, sekitar 34.000 orang dengan harapan meraih kehidupan baru di daratan Eropa meninggal ketika menyeberangi laut yang berbahaya ini.
Kebanyakan dari mereka adalah pengungsi yang melarikan diri dari konflik peperangan dan penganiayaan di negaranya, dari Suriah, Afghanistan, Irak hingga Eritrea.
Mereka meninggalkan kampung halamannya, bermodal baju yang dipakai dengan segenggam harapan, menyeberangi amukan ombak dengan harapan mendapatkan pekerjaan, pendidikan, atau hidup yang aman di Yunani dan Italia.
Tidak ada lagi pilihan lain, mempertaruhkan nyawa di lautan lebih baik daripada bertahan di negara yang penuh dengan konflik dan kekerasan. Warshan Shire, seorang penulis dari Inggris, menuliskan dalam salah satu puisinya:
"Anda harus mengerti, tidak ada yang menempatkan anak-anaknya di atas kapal kecuali lautan menjadi lebih aman daripada daratan."
Namun banyak dari mereka tersesat, kelaparan, dan terombang-ambing di tengah lautan menunggu datangnya bantuan. Dengan kapal seadanya tanpa pelampung pengaman, banyak dari mereka yang tenggelam.
Pada April 2015, lima kapal yang membawa sekitar 2.000 pengungsi ke Eropa tenggelam di Laut Mediteriania. Tidak lebih dari 500 orang yang selamat dari peristiwa ini.
Laut Mediterania menjadi saksi akan harapan dan kematian mereka, memegang rahasia kehidupan para pengungsi tersebut. Hal yang sama juga terjadi di perairan Selat Malaka dan Laut Andaman yang menjadi rute lintasan para pengungsi Rohingya dari Myanmar menuju Asia Tenggara.