Mereka yang rela mempertaruhkan hidupnya dengan harapan akan hidup yang baru. Yang bebas dari konflik, kekerasan, peperangan, senjata api, ataupun roket. Butuh keberanian luar biasa untuk melakukan hal tersebut.
Mungkin setiap dari mereka yang mengarungi lautan memiliki makna 'laut' yang berbeda-beda. Bagi mereka yang selamat sampai negara tujuan, mungkin laut bagaikan sebuah jalan, sebuah 'perpanjangan tangan' yang mengantarkan mereka ke hidup yang baru.Â
Mungkin itu yang almarhum Akong penulis rasakan hampir seratus tahun lalu, mengarungi Laut China Selatan dengan sebuah kapal kayu kecil, dari selatan Tiongkok dan bermuara di utara Pontianak.Â
Makna akan berbeda bagi ribuan pengungsi yang gagal mencapai negara tujuannya. Mungkin 'laut' adalah secercah harapan terakhir yang gagal, sebuah perlindungan abadi ketika daratan kampung halamannya sudah tidak aman lagi.Â
Dalam wawancara The Guardian (20/10/14) dengan Ahmed Salih yang mengungsi dari Suriah, menyatakan bahwa:
"Saya senang bisa sampai di Denmark, tetapi saya masih merasakan semua teman saya yang diatas kapal. Mereka yang sudah mendapatkan perlindungan di laut."
Satu hal yang pasti, satu hal yang sama: kejadian ini adalah hasil dari konflik, peperangan, dan perebutan kepentingan yang melupakan Hak Asasi Manusia. Mereka, para pengungsi yang terombang-ambing di tengah lautan, adalah korban pertama dari sebuah konflik peperangan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H