Sejak bentrokan pecah di kompleks Masjid Al-Aqsa pada 7 Mei 2021 hingga hari ini, perseteruan antara Israel dengan Palestina telah menelan nyawa sebanyak 20 orang warga Palestina.
Ada 9 dari 20 korban tersebut adalah anak-anak, di mana salah satunya adalah seorang anak berusia 1 tahun. UNICEF lewat pernyataannya yang dirilis pada 11 Mei 2021 menyatakan bahwa 4 dari 9 anak-anak yang menjadi korban adalah saudara kandung. UNICEF juga menambahkan bahwa para korban adalah teman satu sekolah.
Sedangkan di Israel, terdapat satu anak yang dipastikan terluka. Tiga sekolah juga dilaporkan rusak, satu di Israel dan dua di Jalur Gaza.
Selain 9 anak-anak Palestina yang tewas, 25 anak-anak Palestina dipastikan terluka. Kemungkinan angka anak-anak yang menjadi korban dari permasalahan ini juga akan terus meningkat jika kita melihat eskalasi situasi beberapa hari ini.
Anak-anak di zona perang dan area konflik
Tidak ada yang mau hidup di zona perang dan area konflik, semua orang tentu mengejar kedamaian. Namun anak-anak yang terjebak di zona perang dan area konflik adalah kelompok masyarakat yang paling merasakan dampak merusak yang mendalam sekaligus bertahan lama.
Sekitar 415 juta anak atau 1 dari 6 anak di dunia hidup di zona perang dan area konflik.
Mereka tidak memiliki pilihan selain mengalami ketakutan yang dialami oleh orangtuanya, mau dari masyarakat sipil ataupun militan.
Ketika makanan menipis, anak-anak tidak mendapatkan nutrisi untuk kepentingan pertumbuhannya. Ketika air terkontamidasi, anak-anak yang imunnya masih lemah mudah tertular penyakit mematikan.
Kekerasan dan kematian di zona perang pun meninggalkan pengaruh psikologi dan emosional yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Ketika anak seusianya hidup damai, mereka yang terjebak di zona perang dan area konflik justru harus mempertaruhkan nyawanya bahkan untuk bernafas sekalipun.
Anak-anak yang menjadi korban dan pelaku kekerasan
Salah satu konflik berdarah yang memakan banyak korban anak-anak terjadi di Suriah.
Sejak 2011, hampir 12.000 anak terbunuh dan terluka. Ini berarti satu anak meninggal atau terluka setiap delapan jam, dalam sepuluh tahun terakhir. Angka tersebut adalah angka yang divertifikasi oleh PBB, angka yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.
Selain menjadi korban dari peperangan, anak-anak juga menjadi pelaku kekerasan sebagai child soldier atau tentara anak.
Tentara anak adalah anak di bawah usia 18 tahun yang direkrut oleh kelompok bersenjata untuk menjadi tentara, juru masak, pelaku bom bunuh diri, tameng manusia, pembawa pesan, mata-mata, hingga untuk tujuan seksual.
Di Suriah, antara tahun 2011 hingga 2020, PBB mencatat lebih dari 5.700 orang anak direkrut menjadi tentara anak.
Anak-anak yang harusnya tumbuh berkembang di lingkungan sehat dengan kasih sayangan dan penuh perhatian justru harus berhadapan dengan kekerasan dan permusuhan setiap harinya.
Sebuah kesaksian dari seorang tentara anak yang direkrut oleh angkatan bersenjata Kamboja pada tahun 1990-an ini menjelaskan motivasi anak-anak untuk bergabung:
“Saya bergabung karena orangtua saya kekurangan makanan dan saya tidak bisa sekolah… Saya khawatir tentang ranjau, tetapi apa yang dapat kami lakukan – ini adalah perintah untuk pergi ke garis depan peperangan… Saya melihat seseorang menginjak ranjau di depan saya – ia terluka dan meninggal…Saya melihat anak-anak kecil di setiap unit… Saya yakin saya akan menjadi tentara setidaknya untuk beberapa tahun lagi. Jika saya berhenti, saya tidak memiliki pekerjaan yang harus saya lakukan karena saya tidak memiliki keterampilan apa pun.”
Anak-anak yang terpengaruhi kesehatan mentalnya
Zona perang dan area konflik bisa disebut sebagai tempat paling buruk untuk kesehatan mental manusia. Banyak orang dewasa dan juga anak-anak yang mengalami gangguan stres pasca trauma, stres, dan depresi.
Setiap konflik dan peperangan memaksa anak-anak untuk hidup melalui berbagai pengalaman yang mengerikan dan menakutkan.
Bukan hanya pengalaman sebagai korban, tetapi juga pengalaman sebagai pelaku kekerasan.
Kebanyakan anak juga mencoba untuk menekan pengalaman buruk tersebut daripada menghadapinya. Hal ini menyebabkan trauma kepada anak tersebut.
Stres pada anak di usia dininya dapat menghambat perkembangan otak yang memperburuk kesehatan fisik dan mental. Situasi akan semakin memburuk ketika seorang anak kehilangan orang tua ataupun orang terdekatnya dalam peperangan.
Hal ini terjadi di Suriah, di mana 3 juta anak-anak setiap harinya menyaksikan efek dari peperangan secara langsung. 80% dari 94 anak yang terpapar pemboman yang terjadi pada 13 Februari 1991 di Irak menujukkan gejala gangguan stress pasca trauma.
Anak-anak yang kekurangan gizi
Setiap menit, seorang anak di bawah usia 5 tahun meninggal karena kelaparan ekstrim di zona perang dan area konflik di seluruh dunia.
Tingkat kekurangan gizi atau malnutrisi paling parah terjadi di Yaman, di mana perang saudara sudah berlangsung hampir enam tahun. Setiap tahunnya kasus kekurangan gizi akut meningkat, di mana pada tahun 2020 terjadi kenaikan sebesar 15,5% dibanding tahun sebelumnya.
Setidaknya terdapat 98.000 anak balita berisiko tinggi meninggal jika tidak diberikan perawatan segera karena kekurangan gizi parah dan mengancam nyawa. Hal ini terjadi karena kombinasi konflik di Yaman sekaligus sulitnya perekonomian karena pandemi Covid-19.
Selain anak-anak, 250.000 ibu hamil dan menyusui juga mengalami malnutrisi. Sanitasi yang buruk, akses layanan kesehatan seperti vaksin campak dan polio yang terbatas, dan kemungkinan penyakit menular yang tinggi juga menjadi ancaman untuk ibu dan anak-anak di Yaman.
Anak-anak yang putus sekolah
Penelitian UNICEF menyatakan bahwa sekitar 27 juta anak yang tinggal dan berasal dari zona perang adalah anak putus sekolah.
Misalnya di Suriah, di mana 2,4 juta anak terancam kehilangan akses pendidikannya. Satu dari tiga sekolah di Suriah hancur, rusak, atau digunakan untuk tujuan militer.
Pada tahun 2018, PBB mencatat terdapat 111 kasus yang menganggu akses pendidikan 19.000 anak-anak yang tinggal di Tepi Barat, Palestina. 111 kasus tersebut antara lain adalah perusakan sekolah, ancaman pembongkaran sekolah, hingga bentrokan antara siswa dan guru dengan aparat keamanan.
Selain penyebab di atas, yang memengaruhi tingginya angka putus sekolah di zona perang adalah anak-anak tersebut hidup berpindah-pindah, menjadi pengungsi karena dampak dari konflik di kampung halamannya.
Hal ini tentu disayangkan karena justru di dalam zona peranglah pendidikan menjadi hal yang paling penting. Dengan akses pendidikan, diharapkan anak-anak dapat mencapai potensi mereka dan juga berkontribusi pada masa depan stabilitas keluarga, ekonomi, dan juga komunitas mereka.
Zona perang dan area konflik adalah tempat terburuk untuk seorang anak untuk tumbuh dan berkembang.
Perang dan konflik kekerasan melanggar setiap hak seorang anak - hak untuk hidup, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas perlindungan, hak untuk diasuh oleh orangtua mereka dalam keluarga dan komunitasnya, hingga hak bebas dari pelecahan dan eksploitasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H