Setiap konflik dan peperangan memaksa anak-anak untuk hidup melalui berbagai pengalaman yang mengerikan dan menakutkan.Â
Bukan hanya pengalaman sebagai korban, tetapi juga pengalaman sebagai pelaku kekerasan.
Kebanyakan anak juga mencoba untuk menekan pengalaman buruk tersebut daripada menghadapinya. Hal ini menyebabkan trauma kepada anak tersebut.
Stres pada anak di usia dininya dapat menghambat perkembangan otak yang memperburuk kesehatan fisik dan mental. Situasi akan semakin memburuk ketika seorang anak kehilangan orang tua ataupun orang terdekatnya dalam peperangan.
Hal ini terjadi di Suriah, di mana 3 juta anak-anak setiap harinya menyaksikan efek dari peperangan secara langsung. 80% dari 94 anak yang terpapar pemboman yang terjadi pada 13 Februari 1991 di Irak menujukkan gejala gangguan stress pasca trauma.Â
Anak-anak yang kekurangan gizi
Setiap menit, seorang anak di bawah usia 5 tahun meninggal karena kelaparan ekstrim di zona perang dan area konflik di seluruh dunia.
Tingkat kekurangan gizi atau malnutrisi paling parah terjadi di Yaman, di mana perang saudara sudah berlangsung hampir enam tahun. Setiap tahunnya kasus kekurangan gizi akut meningkat, di mana pada tahun 2020 terjadi kenaikan sebesar 15,5% dibanding tahun sebelumnya.
Setidaknya terdapat 98.000 anak balita berisiko tinggi meninggal jika tidak diberikan perawatan segera karena kekurangan gizi parah dan mengancam nyawa. Hal ini terjadi karena kombinasi konflik di Yaman sekaligus sulitnya perekonomian karena pandemi Covid-19.
Selain anak-anak, 250.000 ibu hamil dan menyusui juga mengalami malnutrisi. Sanitasi yang buruk, akses layanan kesehatan seperti vaksin campak dan polio yang terbatas, dan kemungkinan penyakit menular yang tinggi juga menjadi ancaman untuk ibu dan anak-anak di Yaman.
Anak-anak yang putus sekolah
Penelitian UNICEF menyatakan bahwa sekitar 27 juta anak yang tinggal dan berasal dari zona perang adalah anak putus sekolah.Â