Dalam UU No.21 Tahun 2007 dijelaskan bahwa perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengiriman, atau pemindahan dengan pemalsuan, penipuan atau memberi manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali (dalam kasus ini orang tua dari perempuan) atas orang lain untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Hukumannya pun jelas, pidana penjara 3 sampai 15 tahun.
Sayangnya para biro jodoh ini sulit ditangkap. Dikutip dari Juru Bicara Polda Kalimantan Barat Donny Charles Go, sulit menjerat pelaku sampai ke bui karena kurangnya bukti di pengadilan. Walaupun begitu kepolisian terus berusaha membongkar sindikat perdagangan manusia dengan modus pengantin pesanan.
Pentingnya kesadaran masyarakat
Penulis kenal banyak perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia dengan modus pernikahan pesanan. Hingga artikel ini ditulis pun masih banyak perempuan yang terlena bujuk rayuan para biro jodoh. Usianya pun beragam tergantung permintaan, dari yang lebih muda dari penulis atau bahkan mereka yang usianya sudah di atas 40 tahun.
Tidak semuanya berakhir dengan kisah tragis walaupun hanya sedikit perempuan yang akhirnya hidup bahagia. Mereka yang beruntung dan menikah dengan suami yang baik dapat pulang ke kampung halaman setahun kali, kadang-kadang mengirim uang kembali ke rumah. Namun mereka yang tidak beruntung harus menahan siksaan bahkan dilarang untuk kembali ke kampung halaman. Â
Menurut penulis, cara terbaik untuk menghilangkan budaya pengantin pesanan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa praktik ini salah dan merugikan perempuan dengan harapan masyarakat akan memutuskan rantai permintaan-penawaran.
Guna menyadarkan masyarakat, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat khususnya Pemerintah Kota Singkawang giat melakukan penyuluhan.Â
Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie, yang banyak menginspirasi perempuan keturunan Tionghoa di Kalimantan Barat, menghimbau masyarakat untuk tidak percaya akan bujuk rayu para biro jodoh yang kerap menawarkan iming-iming uang dan emas. Dikutip dari Kompas (28/6/19), ia juga menyatakan bahwa tidak ada jaminan menikah dengan warga asing akan hidup nyaman.
Perkembangan sosial media dan media daring juga banyak membantu dalam meyebarkan kisah dan pengalaman para korban pengantin pesanan yang mudah diakses oleh perempuan-perempuan di Kalimantan Barat.
Walaupun begitu, bukan berarti praktik pengantin pesanan ini sudah hilang. Penerbangan internasional yang terbatas karena pandemi Covid-19 bukan menjadi penghalang para biro jodoh yang diam-diam terus mencari korban selanjutnya di Kalimantan Barat.Â
Lewat tulisan sederhana ini pun penulis berharap dapat ikut serta dalam meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pratik yang melanggar Hak Asasi Manusia ini.