Pria tanpa istri tersebut pun terpinggirkan karena tidak diterima secara sosial dalam budaya Tionghoa. Permintaan pengantin perempuan yang tinggi di China ini pun dimanfaatkan oleh para biro jodoh pengantin pesanan.
Di sisi lain, orang tua perempuan di Singkawang memiliki pola pikir tidak diperlukannya pendidikan tinggi karena tugas perempuan adalah memasak dan mengurus anak dan suami. Pendidikan yang mahal juga menjadi alasan rendahnya tingkat pendidikan perempuan di sini.
Perempuan yang terjebak dalam kemiskinan menjadi sasaran empuk jaringan para biro jodoh pengantin pesanan.
Salah satu jurus andalan para biro jodoh yang sering penulis temukan adalah menceritakan nasib baik korban lain, tanpa membahas mereka yang bernasib buruk. “Kamu ga mau kirim duit buat angpao ke orang tua dan sepupumu? Itu tetangga kamu saja anaknya kirim duit untuk perbaiki rumah orang tuanya”.
Dengan iming-iming mas kawin dan uang tunai dan perjanjian dinikahkan dengan pria asal China atau Taiwan yang tampan dan mapan, perempuan tersebut pun menjadi korban perdagangan manusia.
Termasuk ke dalam perdagangan manusia
Entah sejak kapan pengantin pesanan ini dimulai, pastinya orang tua penulis memberi tahu memang sudah lama praktik ini dilakukan. Dengan tujuan memperbaiki nasib, para perempuan tersebut justru ditipu, sengsara dan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Mereka yang beruntung bisa saja kabur dari suaminya, melarikan diri ke Kedutaan Besar Rakyat Indonesia (KBRI) untuk dipulangkan. Ketika magang di Kementerian Perempuan, penulis kerap dihadapkan dengan berkas-berkas pemulangan perempuan korban pengantin pesanan yang mengalami KDRT asal Kalimantan Barat dari China dan Taiwan.
Pada tahun 2019 KBRI Beijing berhasil memulangkan 36 orang perempuan korban pernikahan pesanan. Sayangnya mereka yang tidak beruntung masih ‘terjebak’ dan harus menahan rasa sakit hingga akhir hayatnya.
Praktik pengantin pesanan yang dilakukan oleh para biro jodoh termasuk ke dalam perdagangan manusia.