Beberapa hari terakhir ini media internasional sedang diramaikan dengan pemberitaan pengiriman kapal perang dari satu negara ke negara lain. Lautan Bumi akhir-akhir ini sedang panas-panasnya, bukan karena cuaca, namun karena pertikaian antar negara yang semakin hari semakin memburuk.
Dekat dengan di Indonesia, permasalahan Laut China Selatan yang masih belum menemukan jalan keluar terus memanas.
Kemunculan 44 kapal militer China beberapa hari terakhir (10/4/21) di sekitar Whitsun Reef yang berdekatan dengan Filipina mendapatkan kecaman dari pemerintah Filipina dan Amerika Serikat.
Pernyataan China bahwa kapal tersebut untuk memancing dan cuaca buruk ditolak oleh Filipina dengan fakta kapal tersebut adalah kapal militer dan cuaca sekitar yang baik.
Situasi di Laut China Selatan dipastikan akan memburuk dengan Amerika Serikat yang merangkul Filipina dengan berencana mengirimkan kapal induk Angkatan Laut Theodore Roosevelt ke Laut China Selatan.
Bukan hanya Amerika Serikat, Vietnam juga menantang China dengan mengerahkan Quang Trung, kapal fregat anti-kapal milik Vietnam, beserta beberapa helikopter (12/4/21).
Latihan tempur didepan kapal-kapal China di Laut China Selatan menjadi bukti dari pernyataan Menteri Luar Negeri Vietnam Bui Thanh Son bahwa "Aktivitas kapal-kapal China secara serius melanggar kedaulatan Vietnam". Vietnam pun tidak ragu-ragu dengan menyatakan kesiapannya dalam berperang jika diharuskan.
Sedangkan Indonesia yang tidak termasuk ke dalam negara yang mengklaim Laut China Selatan juga mulai meningkatkan produktivitas Angkatan Laut merespon memanasnya keadaan di Laut China Selatan.
Hal ini Indonesia tunjukkan dengan kabar pembangunan pangkalan militer baru di perairan Natuna (5/4/21). AL Indonesia pun menggelar latihan udara dan laut berjaga-jaga akan kemungkinan pecahnya perang di Laut China Selatan.
Laut Hitam pun sedang memanas setelah meningkatnya keberadaan militer Rusia di perbatasan timur Ukraina. Walaupun Rusia menyatakan bahwa peningkatan militer di perbatasan bukanlah ajakan perang, Ukraina merangkul Amerika Serikat yang kemungkinan akan mengirimkan sejumlah kapal perang sekaligus pesawat pengintai untuk memantau aktivitas Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam (9/4/21).
Tidak menutup kemungkinan jika keadaan akan semakin memburuk hingga pecahnya perang di Laut China Selatan ataupun di Laut Hitam. Namun jika kita telaah respon dari China maupun Rusia, keduanya menyatakan bahwa aktivitas militer bukanlah ajakan untuk berperang.
Dalam hubungan internasional, perilaku dari beberapa negara di atas adalah wujud dari Gunboat Diplomacy atau Diplomasi Kapal Perang.
Apa itu diplomasi kapal perang?
Berbeda dengan soft diplomacy seperti Gastrodiplomasi, diplomasi binatang atau diplomasi yang tidak menggunakan kekerasan, diplomasi kapal perang termasuk ke hard diplomacy yang kental dengan pengunaan kekuatan militer.
Menurut James Cable, seorang diplomat dan pemikir strategis Angkatan Laut, ia mendefiniskan diplomasi kapal perang sebagai “pengunaan atau ancaman kekuatan angkatan militer yang terbatas, selain sebagai tindakan perang, juga untuk mengamankan keuntungan atau menghindari kerugian, baik dalam kelanjutan perselisihan internasional atau melawan negara lain”.
Sama seperti gaya diplomasi lainnya, diplomasi kapal perang digunakan untuk mengejar dan meraih kepentingan nasional sebuah negara dengan menggunakan kekuatan militernya.
Caranya pun bukan hanya dengan melayangkan ajakan perang, namun juga dengan mengintimidasi, mengancam hingga memaksa dengan bermodal kekuatan militer sebuah negara.
Kepentingan nasionalnya sebuah negara tentu bermacam-macam, misalnya seperti China yang mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan dengan mengambar sembilan garis putus-putus atau seperti Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang tidak setuju akan klaim China.
Lahirnya diplomasi kapal perang
Diplomasi kapal perang lahir ketika maraknya imperialisme dan ketika kekuatan Barat sedang bersaing untuk mendirikan kerajaan perdagangan kolonialnya di Asia, Afrika dan Timur Tengah.
Salah satu tokoh penting dalam diplomasi kapal perang adalah Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt dengan Ideologi Pentungan Besar terkenalnya, yaitu “bicaralah dengan lembut dan bawalah pentungan besar”.
Roosevelt menjadikan Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang mengedepankan perundingan damai namun sambil mengancam dengan “pentungan besar” atau kekuatan militer.
Saat itu, setiap kali negosiasi berakhir gagal maka armada kapal perang dari negara-negara kuat tiba-tiba akan muncul dan memutari pantai negara-negara yang lebih lemah dan tidak kooperatif.
Negara lemah yang tidak dapat menyaingi kekuatan militer negara besar tersebut tentu ketakutan dan memilih menyerah dengan mengikuti kemauan negara besar.
Diplomasi kapal perang ini dinilai efektif oleh para negara kuat, di mana ancaman disembunyikan dengan pertunjukan kekuatan militer. Tanpa pertumpahan darah, tanpa sebutir peluru yang ditembakkan, negara kuat sukses memengaruhi negara lemah yang awalnya tidak kooperatif.
Pentungan besar
Pengaruh militer China yang semakin menguat mulai mengganggu Amerika Serikat yang dulunya menjadi pemegang tunggal kekuatan militer di dunia. Sebagaimana penjelasan di atas, kita dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa selama ini hanya negara kuatlah yang selalu menang dan mendapatkan apa yang mereka mau.
Namun sekarang "pentungan besar" yang dulu hanya dipegang oleh Amerika Serikat mulai "dibagi-bagi" dengan negara sekutunya, melawan China yang juga sekarang memegang sendiri "pentungan besar"-nya.
Hal ini terbukti dengan permasalahan di Laut China Selatan yang tidak kian berakhir, menjadi sebuah ring tinju tanpa ronde di mana negara-negara memanfaatkan kekuatan militernya untuk meraih kepentingan nasionalnya masing-masing.
Anna Malindog-Uy dalam tulisannya di ASEAN Post yang berjudul "South China Sea: Safe to Revoke China?" menjelaskan bagaimana diplomasi kapal perang yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat dan China bukan hanya memperumit permasalahan namun juga meningkatkan dilema keamanan di Laut China Selatan.
Dalam hubungan internasional, dilema keamanan adalah sebuah kondisi di mana sebuah negara yang memperkuat militernya juga memaksa negara lain mengambil tindakan yang sama.
Malindog-Uy juga menambahkan jika keadaan terus memanas, negara Asia Tenggara lah yang menjadi korban utamanya.
Jebakan Thucydides
Gejolak hubungan China dan Amerika Serikat di Laut China Selatan kerap dihubungkan dengan Jebakan Thucydides.
Jebakan Thucydides menjelaskan keadaan ketika Perang Peloponnesos (431 - 404 SM) di mana sebuah konflik militer terjadi karena ketakutan Sparta akan kekuasaan Athena yang yang tumbuh kuat dan ekonomi yang makmur. Walaupun perang dimenangkan oleh Sparta, perang ini sangatlah merusak Yunani. Terdengar familiar, ya?
Diplomasi kapal perang yang terus dilakukan guna menantang dan mengintimidasi satu sama lain, walaupun awalnya tidak bermasuk untuk perang, tidak menutup kemungkinan akan berakhir buruk.
Jika kedua negara tersebut terjebak dalam Jebakan Thucydides di Laut China Selatan sudah dipastikan akan sangat merusak negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H