Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Indonesia Menjadi "Pesawat Ulang-Alik" di Tengah Krisis Politik di Myanmar

20 Maret 2021   17:08 Diperbarui: 20 Maret 2021   17:19 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan Menlu Retno Marsudi dengan Menlu Myanmar dan Menlu Thailand pada 24 Februari 2021 | Foto diambil dari BBC

Keadaan Myanmar yang tidak kian membaik mulai menganggu masyarakat Internasional, termasuk Indonesia. Kabar terbaru dari Myanmar memberitakan bahwa masyarakat dari ibu kota Myanmar, Naypyidaw, mulai melarikan diri ke dalam perkampungan karena merasa nyawanya terancam. 

Dikutip dari Kompas (19/03/21), Presiden Indonesia Joko Widodo dalam pernyataan pers virtualnya menyampaikan duka cita beserta simpati kepada korban dan keluarga korban akibat pengunaan kekerasan di Myanmar. Ia juga menyatakan bahwa Indonesia mendesak agar pengunaan kekerasan segera dihentikan.  

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan rencananya untuk melakukan pembicaraan dengan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah sebagai Ketua ASEAN untuk diselenggarakannya pertemuan tingkat tinggi ASEAN khusus untuk membahas krisis di Myanmar.

Dalam mewujudkan prinsip politik luar negeri bebas aktif, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjalankan diplomasi ulang-alik dalam usaha mencari penyelesaian atas kudeta militer Myanmar yang memakan nyawa masyarakat sipil.

Ini bukanlah pertama kalinya Indonesia menerapkan diplomasi ulang-alik. Menurut sejarah, Indonesia pernah menerapkan gaya diplomasi ini dalam permasalahan Laut China Selatan (walaupun Indonesia juga termasuk kedalam pihak yang bermasalah), konflik Rohingya di Myanmar dan konflik perbatasan Kamboja-Thailand di tahun 2008.

Ilustrasi pesawat ulang-alik | Foto diambil dari Kompas
Ilustrasi pesawat ulang-alik | Foto diambil dari Kompas

Pesawat ulang-alik

Apakah Anda pernah menjadi penegah antara kedua teman Anda yang sedang bertengkar dan tidak mau berbicara kepada satu sama lain? Sebagai teman yang baik mau tidak mau Anda harus menyampaikan pesan antara kedua teman Anda untuk mendapatkan suatu solusi.

"Mawar, Itu si Melati bilang kamu kemarin pinjam pennya ga kembaliin jadi dia marah" atau "Melati, si Mawar marah sama kamu karena pennya ga kamu kembaliin. Kalau kamu kembaliin pasti dia ga marah lagi". Kira-kira begitulah diplomasi ulang alik yang dilakukan oleh Tulip dalam menyelesaikan masalah pen yang hilang antara Mawar dan Melati.

Diplomasi ulang alik atau biasa dikenal dengan shuttle diplomacy adalah keterlibatan pihak luar dari permasalahan selaku penegah antara pihak-pihak yang berselisih. Ulang-alik sendiri diambil dari pesawat ulang alik yang digunakan untuk mengantar para antariksawan menuju tremosfer dan kembali lagi ke atmosfer ketika tugasnya sudah selesai.  

Salah satu karakteristik dari diplomasi ulang alik ini adalah dimana pihak luar, atau disebut juga dengan pihak ketiga, harus melakukan perjalanan bolak balik dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk menyampaikan berbagi proposal dan penolakannya.

Jenis diplomasi seperti ini mungkin lebih dikenal sebagai diplomasi gaya para negosiator atau mediator, namun terdapat satu hal yang membedakan yaitu: kedua pihak yang berselisih tidak bertemu karena jarak ataupun ketidaknyamanan.

Jika biasanya dalam penyelesaian masalah dengan cara konsiliasi kedua belah pihak akan dipertemukan dan dipimpin oleh pihak yang netral, di diplomasi ulang-alik pihak yang netral sebagai penegah harus bolak-balik untuk menyelesaikan sebuah masalah.

Sebagai penghubung, pihak penegah harus mengkomunikasikan pesan, permintaan, proposal dan pertanyaan dari satu pihak ke pihak lain untuk membantu para pihak menemukan solusi.

Pertemuan Menlu Retno Marsudi dengan Menlu Myanmar dan Menlu Thailand pada 24 Februari 2021 | Foto diambil dari BBC
Pertemuan Menlu Retno Marsudi dengan Menlu Myanmar dan Menlu Thailand pada 24 Februari 2021 | Foto diambil dari BBC

Diplomasi Ulang-Alik ala Indonesia

Dikutip dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dalam konferensi pers virtual pada 23 Februari 2021, ia menyatakan bahwa Menteri Luar Negeri menerapkan diplomasi ulang-alik untuk menindaklanjuti amanat dari Presiden RI dalam mengadakan Pertemuan Informal Menteri ASEAN.

Sebelum mengadakan pertemuan tersebut, Perjalanan ulang-alik Menlu Retno Marsudi dimulai dari kunjungan ke Brunei Darussalam (17/2/21), Singapura (18/2/21), ditutup dengan Thailand (24/2/21) dimana Menlu bertemu juga dengan Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin. Seharusnya Menlu menutup pertemuan ini di Myanmar, namun karena berbagai pertimbangan hal tersebut dibatalkan. 

Seluruh pertemuan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari solusi dari permasalahan di Myanmar sekaligus menekankan ketidaksetujuan dalam pengunaan senjata sebelum Pertemuan Informal Menteri ASEAN diadakan.

Hasil dari Diplomasi Ulang-Alik

Pada 2 Maret 2021, Pertemuan Informal Menteri ASEAN diadakan melalui konferensi video untuk membahas berbagai kepentingan kerjasama negara ASEAN. Sayangnya, pertemuan ini tidak membuahkan solusi yang dapat menekan militer Myanmar untuk menghentikan kudeta, membebaskan tahanan politik sekaligus mengurangi pengunaan kekerasan. 

Dari 10 poin yang dituliskan dalam Chair's Statement on the Informal ASEAN Ministerial Meeting (dapat diakses disini), terdapat 2 poin yang membahas tentang kondisi di Myanmar sekarang. 

Sayangnya, poin tersebut tidak memberikan solusi dimana negara anggota ASEAN "menyatakan keprihatinan dan meminta semua pihak menahan diri dari kekerasan" serta "meminta semua pihak untuk mencari solusi damai melalui dialog". Sedangkan untuk tahanan politik, tertulis bahwa negara anggota ASEAN "mendengar beberapa seruan untuk pembebasan tahanan politik dari PBB". 

Sebagaimana ASEAN tetap memegang prinsip non-interferensi, kedua poin tersebut hanyalah sebuah pernyataan sikap. Ini dinilai tidak sesuai dimana PBB beserta negara lainnya mengharapkan sebuah sanksi yang kuat akan menjamin hasil yang lebih baik. ASEAN berada didalam posisi yang sulit, sama terjadi juga ketika menghadapi konflik Rohingya. 

Seperti yang kita tahu sekarang kondisi di Myanmar justru semakin memburuk. Tidak heran jika Presiden Joko Widodo kemudian mulai memberikan sinyal hingga mendesak agar diadakan lagi pertemuan tingkat tinggi ASEAN untuk mencari solusi seiringan banyaknya nyawa yang berjatuhan.

 Tanggapan Presiden Joko Widodo memberikan harapan baru bagi masyarakat Myanmar sekaligus masyarakat internasional akan kemungkinan berakhirnya kudeta militer di Myanmar. 

Sumber: 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun