Jenis diplomasi seperti ini mungkin lebih dikenal sebagai diplomasi gaya para negosiator atau mediator, namun terdapat satu hal yang membedakan yaitu: kedua pihak yang berselisih tidak bertemu karena jarak ataupun ketidaknyamanan.
Jika biasanya dalam penyelesaian masalah dengan cara konsiliasi kedua belah pihak akan dipertemukan dan dipimpin oleh pihak yang netral, di diplomasi ulang-alik pihak yang netral sebagai penegah harus bolak-balik untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Sebagai penghubung, pihak penegah harus mengkomunikasikan pesan, permintaan, proposal dan pertanyaan dari satu pihak ke pihak lain untuk membantu para pihak menemukan solusi.
Diplomasi Ulang-Alik ala Indonesia
Dikutip dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dalam konferensi pers virtual pada 23 Februari 2021, ia menyatakan bahwa Menteri Luar Negeri menerapkan diplomasi ulang-alik untuk menindaklanjuti amanat dari Presiden RI dalam mengadakan Pertemuan Informal Menteri ASEAN.
Sebelum mengadakan pertemuan tersebut, Perjalanan ulang-alik Menlu Retno Marsudi dimulai dari kunjungan ke Brunei Darussalam (17/2/21), Singapura (18/2/21), ditutup dengan Thailand (24/2/21) dimana Menlu bertemu juga dengan Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin. Seharusnya Menlu menutup pertemuan ini di Myanmar, namun karena berbagai pertimbangan hal tersebut dibatalkan.Â
Seluruh pertemuan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari solusi dari permasalahan di Myanmar sekaligus menekankan ketidaksetujuan dalam pengunaan senjata sebelum Pertemuan Informal Menteri ASEAN diadakan.
Hasil dari Diplomasi Ulang-Alik
Pada 2 Maret 2021, Pertemuan Informal Menteri ASEAN diadakan melalui konferensi video untuk membahas berbagai kepentingan kerjasama negara ASEAN. Sayangnya, pertemuan ini tidak membuahkan solusi yang dapat menekan militer Myanmar untuk menghentikan kudeta, membebaskan tahanan politik sekaligus mengurangi pengunaan kekerasan.Â
Dari 10 poin yang dituliskan dalam Chair's Statement on the Informal ASEAN Ministerial Meeting (dapat diakses disini), terdapat 2 poin yang membahas tentang kondisi di Myanmar sekarang.Â
Sayangnya, poin tersebut tidak memberikan solusi dimana negara anggota ASEAN "menyatakan keprihatinan dan meminta semua pihak menahan diri dari kekerasan" serta "meminta semua pihak untuk mencari solusi damai melalui dialog". Sedangkan untuk tahanan politik, tertulis bahwa negara anggota ASEAN "mendengar beberapa seruan untuk pembebasan tahanan politik dari PBB".Â
Sebagaimana ASEAN tetap memegang prinsip non-interferensi, kedua poin tersebut hanyalah sebuah pernyataan sikap. Ini dinilai tidak sesuai dimana PBB beserta negara lainnya mengharapkan sebuah sanksi yang kuat akan menjamin hasil yang lebih baik. ASEAN berada didalam posisi yang sulit, sama terjadi juga ketika menghadapi konflik Rohingya.Â