Hal unik lainnya adalah banyak dari daerah konflik tersebut memiliki peraturan agama dan adat yang melarang berbicara dengan laki-laki, di mana hal ini tentu tidak masalah untuk personel perempuan yang dapat bersosialisasi langsung dengan perempuan dan anak perempuan disana.
Di balik banyaknya pelanggaran HAM dan nyawa berjatuhan, kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual masih banyak terjadi di tengah dilaksanakannya misi perdamaian.Â
Perempuan dan anak perempuan dari masyarakat sipil hingga pejuang kerap menjadi korban dengan angka yang mencengangkan.Â
Dari sinilah personel perempuan dituntut dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi mereka yang menjadi korban kekerasan.Â
Ketika terbentuk sebuah rasa kepercayaan, perempuan juga mendapatkan akses yang lebih baik dalam mendapatkan informasi yang selama ini sulit didapatkan.
Hal ini pun diakui oleh Kapten Mega Aryanti, salah satu anggota Pasukan Penjaga Perdamaian Perempuan di Lebanon tahun 2015.Â
Ia menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman pribadinya di Lebanon, personel perempuan lebih dapat diterima dan lebih mudah dalam menjalin komunikasi dengan penduduk lokal, terutama perempuan dan anak-anak.Â
Keterampilan dan pengalaman alami sebagai pengasuh utama dan ibu
Seperti yang kita tahu, tidak dipungkiri kebanyakan perempuan disiapkan dengan keterampilan dan pengalaman sebagai pengasuh utama, ibu, dan pencipta perdamaian alamiah selama sepanjang sejarah manusia.
Misalnya, penulis yakin Anda pernah melihat anak perempuan yang sejak kecil diajarkan untuk mengasuh anak lewat boneka pemberian dari orang tuanya. Penulis sebagai perempuan pun mengalami hal yang sama.Â
Dari kemampuan ini memberi kesempatan yang besar dan tepat dalam proses perdamaian, terutama dari kepekaan perempuan dengan perempuan lainnya untuk mengidentifikasi kekerasan yang terjadi.Â