Tamu tahunan Kalimantan Barat pun datang kembali setelah sempat absen tahun lalu. Jika dibandingkan kedatangannya sebelum tahun 2020, kedatangannya tahun ini terhitung cukup cepat.
Terhitung dari artikel ini ditulis, sudah sekitar 3 minggu cuaca panas terik tanpa ada tanda-tanda hujan akan datang. Kalau hujan pun hanya hujan gerimis ataupun hujan panas.
Berbeda dengan berita dari kota lain yang kelebihan hujan dan massa air, di sini justru kekurangan air. Air dari PDAM pun mulai seret, mau tidak mau masyarakat harus mengandalkan air hujan yang sudah ditampung sebelumnya.
Sungai Kapuas pun mulai kering. Sampan dan kapal penyebrangan mulai kesulitan untuk mengambil penumpang karena rendahnya air sungai. Penumpang kesulitan untuk naik-turun transportasi air tersebut karena jarak antara pelabuhan dengan air yang semakin tinggi.
Jika hujan tidak turun dalam waktu dekat, maka krisis air bersih adalah masalah selanjutnya setelah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan kabut asap. Seperti yang terjadi pada tahun 2019 dimana sumber air baku yang mulai terintrusi air laut karena kurangnya debit air Sungai Kapuas.Â
Tahun ini, karhutla beserta kabut asap kembali lagi di Pontianak. Tanpa membahas perubahan iklim dan global warming, karhutla di bulan Februari dan Maret itu cukup aneh dan jarang terjadi.Â
Biasanya di bulan Februari yang identik dengan Tahun Baru Imlek selalu ditemani dengan hujan deras yang biasanya dianggap sebagai hujan hoki.
Penulis ingat hampir setiap tahun ketika ingin menonton pesta kembang api, penulis beserta keluarga harus menunggu hujan berhenti terlebih dahulu. Berbeda dengan tahun ini, Imlek justru dirayakan dengan sinar matahari yang terik dan udara yang lembab.
Keadaan di Pontianak Sekarang
Awalnya tidak terlalu parah, sekarang kabut asap pun tercium ketika penulis dan keluarga berada di dalam kamar ber-AC. Abu sisa pembakaran berwarna putih pun mulai beterbangan seperti salju.Â