Unik, jabatan duta besar yang dulu dihindar pun sekarang pada masa pemerintahan Jokowi dianggap sebagai sebuah jatah. Dikutip dari Tantowi Yahya yang dipilih menjadi Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru bahwa “Golkar memiliki hak yang sama dengan parpol lain yang sudah lebih bergabung. Termasuk dapat jatah sebagai Dubes”. Pernyataan Tantowi ini ia utarakan di Kompleks Istana Kepresidenan pada 13 Maret 2017.
Pernyataan Tantowi mengenai jatahnya menjadi duta besar justru menjadi tanda bagaimana para pegiat politik tidak lagi menganggap jabatan duta besar sebagai sanksi politik yang dulu ditolak pada zaman Orde Baru.
Jabatan dengan tujuan mulia sekaligus mengancam nyawa
Penulis percaya tentu tidak sembarangan orang dapat dipilih untuk menjadi seorang duta besar dimana salah satunya adalah proses Fit and Proper test. Terkenal akan kesulitannya, dalam uji kepatutan dan kelayakan ini para calon duta besar diberikan pertanyaan yang membahas dialog antar agama, sengketa kelapa sawit di Eropa, konflik di Laut China Selatan, hingga konflik yang terjadi di negara tujuan.
Dalam UU No. 37 Tahun 1999 Pasal 28 Ayat 2, dituliskan pentingnya jabatan duta besar. Dituliskan bahwa seorang duta besar adalah perwakilkan Presiden selaku representasi rakyat untuk berhubungan dengan negara akreditasi dan mengambil manfaat semaksimal mungkin darinya.
Menjadi duta besar merupakan sebuah pekerjaan yang sulit sekaligus mulia. Jutaan hidup para Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri sangat bergantung dengan kebijakan hingga hasil diplomasi dari duta besarnya, contohnya adalah para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang banyak tersebar di Malaysia dan Arab Saudi.
Untuk menjadi seorang duta besar pun tidak mudah dimana biasanya diawali dengan menjadi staff di Kementerian Luar Negeri Indonesia. Walaupun terdapat jalur lain, pengetahuan menyeluruh mengenai diplomasi, hubungan antar negeri, politik negara tujuan hingga sejarah hubungan kedua negara pun dibutuhkan.
Bukan hanya mengenai hidup manusia, salah kata sedikit pun para duta besar ini dapat merusak hubungan antara dua negara yang mungkin sudah dijalin berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
Bahkan sebatas penampilan pun dapat menjadi masalah, terjadi kepada Duta Besar Amerika Serikat untuk Korea Selatan H.E. Harry Harris yang diprotes karena memiliki kumis yang tebal. Kumis yang tebal ini dianggap oleh masyarakat Korea Selatan mengingatkan kepada masa penjajahan Jepang.
Para duta besar ini pun bukan hanya bersenang-senang liburan di luar negeri, kerap terjadi bagaimana jabatan ini justru mengancam nyawa mereka. Sejak tahun 1541, tercatat 36 orang duta besar yang dibunuh ketika menjabat. Ini tidak termasuk mereka yang mendapatkan perilaku yang mengancam nyawa ataupun menerima ancaman pembunuhan.
***
Menutup artikel ini, sepertinya istilah "didubeskan" sudahlah tidak relevan lagi sekarang khususnya pada masa pemerintahan Joko Widodo. Jabatan bergengsi ini menjadi impian antara para lulusan Hubungan Internasional ataupun mereka yang aktif dalam perpolitikan Indonesia.
Heboh di media beberapa hari ini, Mantan Menteri Kesehatan Indonesia Letnan Jenderal Terawan Agus disebut-sebut menjadi calon duta besar Indonesia untuk Spanyol berdasarkan broadcast aplikasi pesan dan belum dikonfirmasi oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Sepertinya hanya waktu yang dapat menjawab apakah Terawan dipilih karena jam terbangnya sebagai dokter yang menakjubkan, jatah politik atau justru ia "didubeskan" seperti zaman Orde Baru dulu.
Sumber: 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7