Penulis teringat sebuah pertanyaan yang diberikan seorang dosen beberapa tahun lalu, ketika masih menjadi mahasiswi semester pertama di jurusan Hubungan Internasional. “Siapa yang disini memilih Hubungan Internasional karena bercita-cita menjadi duta besar?” dan hampir seluruh dari kelas tersebut ikut mengangkat tangannya.
Siapa yang tidak mau menjadi duta besar? Sebuah profesi yang bergengsi yang hanya didapatkan oleh segelintir orang dengan keahlian khusus dengan jam terbang yang tentu sudah sangat tinggi.
Profesi ini pun selalu diikuti dengan bayangan bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri sambil jalan-jalan di luar negeri, dijaga 24 jam dengan pengamanan ketat, jamuan makan yang mewah sekaligus mewakilkan Indonesia di negeri orang.
Ketika penulis berkesempatan mengunjungi Kedutaan Besar Pakistan untuk Indonesia dan berdiskusi langsung pada tahun 2016 dengan duta besar Pakistan untuk Indonesia, H.E. M. Aqil Nadeem, takjub semakin memenuhi penulis betapa bergengsinya profesi ini.
Berbeda dengan kenyataan ketika Orde Baru, posisi menjadi duta besar justru dijadikan sebagai sebuah sanksi politik. Profesi yang bergengsi ini justru dianggap sebagai jabatan yang paling tidak diinginkan oleh para pegiat politik di Indonesia saat itu.
Istilah “didubeskan” menjadi terkenal ketika Orde Baru, bagaimana Mantan Presiden Soeharto kerap ‘membuang’ para menteri, jenderal ataupun pejabat politik yang dianggap tidak sejalan dengan pandangannya. Salah satunya adalah Brigjen Sarwo Edhie Wibowo, ayah dari Alm. Ani Yudhoyono, yang didubeskan ke Korea Selatan pada Mei 1973.
Dikutip dalam wawancara pengamat militer Salim Said dengan Sunarti, istri dari Sarwo Edhie, pada 29 Desember 2012 bahwa suaminya “dicurigai sebagai orang ambisius oleh Soeharto”. Dalam biografi Alm. Ani Yudhoyono yang berjudul “Kepak Sayap Putri Prajurit” pun ia menuliskan bagaimana sedih dan kecewa ayahnya menerima keputusan tersebut karena rasa cintanya dengan dunia militer.
Mayjen Ibrahim Adjie yang memimpin pasukan Siliwangi juga “didubeskan” menjadi Duta Besar Indonesia untuk Inggris pada tahun 1966 – 1970. Selain kedua nama tersebut juga Letjen HR Dharsono yang menjadi duta besar untuk Thailand pada tahun 1969 – 1972 dan Letjen Kemal Idris menjadi duta besar untuk Yugoslavia merangkap untuk Yunani pada tahun 1972.
Ikut meyakinkan bagaimana profesi duta besar dijadikan sebagai sanksi politik, Jenderal Hoegeng Imam Santoso juga menolak tawaran Presiden saat itu untuk menjadi duta besar di negara lain. Setelah dicopot dari jabatannya, ia ditawarkan jabatan bergengsi tersebut yang kemudian ditolak dengan alasannya yang terkenal, yaitu “Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail, saya tidak suka koktail”.
Jenderal Hoegeng merupakan sosok terkenal yang bahkan dikutip oleh Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dalam lelucon terkenalnya yaitu “Cuma ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng”, menjelaskan bagaimana uniknya Hoegeng yang saat itu terkenal akan kejujurannya.
Komjen Pol Susno Duadji juga memberikan penolakan yang mirip dengan Hoegeng ketika ia ditawari menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia. Dikutip dari biografinya yang berjudul “Bukan Testimoni Susno”, ia menyatakan jika ia menerima tawaran menjadi duta besar berarti ia dibuang.
Masihkah duta besar dijadikan sebagai sanksi politik?
Istilah “didubeskan” tertanam dalam pada ingatan masyarakat walaupun 23 tahun sudah berlalu sejak berakhirnya Orde Baru, bagaimana jabatan yang bergengsi ini justru dihubungkan dengan konotasi negatif yaitu ‘mereka yang dibuang’.