Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bertaruh Nyawa di Sampan, Alat Transportasi Masyarakat Pontianak

21 Januari 2021   17:01 Diperbarui: 3 Februari 2021   13:02 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampan yang sedang menunggu penumpang | Foto diambil dari Kompas.com/Ronny Adolof Buol

“Dulu aku setiap hari pergi ke sekolah naik sampan menyeberangi Sungai Kapuas.” 

Bukan, kalimat di atas bukanlah cerita dari orangtua atau kakek nenek penulis ketika mereka kecil dulu. Ini adalah kalimat yang penulis ceritakan kepada teman-teman penulis yang berasal dari ibu kota, bagaimana pengalaman seorang anak sungai pergi ke sekolah.

Respons mereka pun bermacam-macam. Ada yang tidak percaya, tertawa terbahak-bahak, bengong, hingga mengatakan penulis berbohong.

Penulis pun sempat heran, apa anehnya ke sekolah naik sampan? Ternyata mereka tidak pernah naik sampan sebelumnya, apalagi membayangkan temannya sendiri menyeberangi Sungai Kapuas setiap hari hanya untuk pergi sekolah.

Penulis pun sadar bahwa tidak heran mereka bingung, sebagaimana kenyataan di Jakarta dengan banyaknya alat transportasi modern yang tersedia. Sedangkan di Pontianak, sampan masih menjadi pilihan masyarakat walaupun harus bertaruh nyawa.

Sungai Terpanjang di Indonesia

Apa nama sungai terpanjang di Indonesia?” adalah pertanyaan wajib pelajaran Ilmu Pendidikan Sosial di bangku Sekolah Dasar. Bahkan di Pontianak pun, pertanyaan itu pun selalu keluar ketika ujian, padahal untuk ikut ujian pun penulis harus melewati jawaban dari pertanyaan tersebut.

Sungai Kapuas menjadi rumah untuk lebih dari 700 jenis ikan, di mana 12 jenisnya termasuk ikan langka dan 40 lainnya termasuk jenis ikan yang terancam punah. Dengan panjang mencapai 1.143 Km, Sungai Kapus berawal dari Pegunungan Muller, Kabupaten Putussibau dan mengalir melewati Kabupaten Sintang, Sekadau, Sanggau dan berakhir di Selat Karimata yang menghubungkan Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. 

Jika melihat lambang Kota Pontianak, Anda dapat melihat bagaimana Sungai Kapuas membelah kota Pontianak menjadi 3 bagian dan dihubungkan dengan 2 jembatan yaitu Jembatan Kapuas dan Jembatan Landak. Selain jembatan, masyarakat Pontianak juga memiliki alternatif lain untuk menyeberangi sungai yaitu dengan menggunakan kapal feri penyebrangan atau sampan. 

Tiga lembar papan

Bukan hanya di Pontianak, sampan juga banyak digunakan oleh masyarakat asal Asia Tenggara seperti di Malaysia, Indonesia, Bangladesh, Myanmar, Sri Lanka, dan Vietnam. Sampan sepertinya sudah populer digunakan sejak dulu, tepatnya sejak 684 Masehi dimana ditemukan kata “sampan” di salah satu prasasti yang ditulis dengan bahasa Melayu.

Sampan sendiri berasal dari bahasa Kanton, dimana Sam(三) berarti tiga  dan Pan(板) berarti papan. Maksud dari “tiga lembar papan” ini merujuk rancangan dari pembuatan sampan yang terdiri dari selembar papan yang datar menjadi dasar dan dua lembar papan lainnya dipasang menjadi sisi kanan dan kiri.

Sampan kebanyakan digunakan oleh nelayan untuk berlayar sekitar sungai atau danau untuk menangkap ikan, walaupun di berbagai daerah juga digunakan sebagai alat transportasi. Untuk menggerakan sampan pun terdapat berbagai macam tenaga yang digunakan, seperti menggunakan dayung, layar, atau dipasangi motor.

Sampan yang dipasangi dengan motor | Foto diambil dari Instagram @pontinesia
Sampan yang dipasangi dengan motor | Foto diambil dari Instagram @pontinesia

Menyeberangi Sungai Kapuas

Untuk naik sampan pun tidak bisa di tempat sembarangan, kecuali memang Anda memiliki sampan sendiri. Untuk menggunakan jasa penyebrangan dengan sampan, penulis harus menuju pelabuhan sampan yang tersebar sepanjang Sungai Kapuas.

Walaupun banyak pelabuhan, setiap pelabuhan memiliki rutenya masing-masing, misalnya rute Alun-alun Pontianak-Pasar Puring yang selalu penulis gunakan karena tidak jauh dari tempat tinggal penulis.

Harga naik sampan pun selalu naik seiringan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak karena kebanyakan sampan untuk menyeberangi sungai menggunakan tenaga motor. Ketika artikel ini ditulis, tiket sampan untuk 1 orang dikenakan biaya Rp 2.000 dan untuk pelajar yang menggunakan seragam sekolah biasanya dikenakan biaya Rp 1.000. Selain membawa penumpang, sepeda juga bisa dibawa ke atas sampan.  

Satu sampan dapat membawa penumpang sebanyak 8-10 orang, walaupun kadang ada pengayuh sampan yang berusaha memasukkan penumpang melebihi kapasitas maksimal. Pengayuh sampan juga biasanya menunggu sampan penuh terlebih dahulu, tapi jika Anda buru-buru dengan bayaran Rp 10.000 sampan bisa langsung jalan tanpa menunggu.

Penulis juga sering menemukan turis yang khusus menyewa sampan untuk berkeliling menyisir Sungai Kapuas (bukan hanya menyebrang) untuk melihat masyarakat yang tinggal di tepi sungai, menikmati pemandangan matahari terbenam, ataupun melihat Jembatan Kapuas dari sisi lain.

Di tengah-tengah Sungai Kapuas | Foto milik pribadi
Di tengah-tengah Sungai Kapuas | Foto milik pribadi

Mempertaruhkan nyawa

Walaupun masih digunakan oleh masyarakat Pontianak, banyak juga masyarakat yang menolak menggunakan sampan dikarenakan ketidak-amanannya. Hal ini dikarenakan sampan tidak dilengkapi dengan alat pengaman seperti pelampung.

Tidak sedikit media yang memberitakan kasus sampan yang terbalik di tengah Sungai Kapuas dan memakan nyawa, kebanyakan korban tidak bisa berenang dan tenggelam. Apalagi ditambah dengan cerita-cerita mistis mengenai makhluk yang tinggal di dasar Sungai Kapuas.  

Selain karena tidak dilengkapi alat pengaman, cuaca juga menjadi penyebab sampan menjadi tidak aman. Angin yang kencang membuat ombak di sungai menjadi besar apalagi ditambah dengan hujan deras yang menyebabkan sampan menjadi oleng.

Keahlian pengayuh sampan menjadi satu-satunya ‘pegangan’ para penumpang sampan agar dapat sampai ke seberang sungai dengan selamat. Untuk penulis sendiri, naik sampan seakan-akan menyerahkan nyawa kepada pengayuh sampan, jadi pasrah saja.

Walaupun tidak aman, sampan tetap menjadi alat transportasi masyarakat Pontianak untuk menghemat waktu. Jika dibandingkan dengan menggunakan kendaran bermotor, untuk menyebrangi Sungai Kapuas harus melewati 2 jembatan terlebih dahulu yang tentu memakan lebih banyak waktu. Apalagi ditambah dengan kemacetan yang kerap terjadi di jembatan tersebut.

Selain karena kecepatannya, menurut penulis naik sampan sebenarnya sangatlah menyenangkan (sekaligus menegangkan), menikmati angin sepoi-sepoi dan air sungai sambil memperhatikan pemandangan Sungai Kapuas yang hanya bisa didapatkan ketika berada di tengah-tengah sungai. Tidak lupa juga ketika sampan berlaju cepat, kadang penulis juga merasakan ‘semburan’ air sungai yang berterbangan.

Naik sampan merupakan sebuah pengalaman berharga yang sulit didapatkan di zaman serba modern sekarang ini. Sampan juga sekarang mulai berkurang, karena pelabuhan sampan yang kebanyakan digusur untuk pembangunan lain dan berkurangnya pengguna sampan.

Jika Anda mengunjungi Pontianak dan memutuskan untuk melakukan wisata sampan, penulis menyarankan untuk memastikan bahwa Anda bisa berenang terlebih dahulu!

Sumber 1 dan 2 

Baca juga: Ikan Asam Pedas Pontianak, Menu Khas yang Jadi Warisan Budaya Indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun