Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanamur: Sisa Dentuman Disko di Diskotek Pertama dan Tertua di Jakarta

19 Januari 2021   16:37 Diperbarui: 19 Januari 2021   16:50 3984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan depan Tanamur | Foto diambil dari Tribun News

Tanamur saat itu bagaikan obat untuk masyarakat Jakarta yang sedang terjangkit demam disko.   

Terletak di Jalan Tanah Abang Timur No.14, Jakarta Pusat, diskotek milik Ahmad Fahmy Alhady ini tidak pernah sepi pada masa keemasannya. Bagaimana tidak? Masyarakat berbondong-bondong mengunjungi diskotek pertama di Jakarta. 

Bukan hanya bertaburan bintang terkenal dalam dan luar negeri, mahasiswa bermodal rasa penasaran dan nekat pun bisa ikut melepas penat di Tanamur. Para hostes ikut membaur dengan pengunjung yang sedang menikmati segelas whiskey tanpa khawatir melanggar hukum di diskotek legal ini.

Kira-kira begitulah malam indah di Tanamur, sebelum melunturnya popularitas dan menjadi korban tidak langsung dari peristiwa terorisme di Bali pada tahun 2002. Sekarang Tanamur menjadi sebuah bangunan kosong, dipenuhi oleh kesunyian yang menggantikan kebisingan lagu disko yang diputar 51 tahun yang lalu.   

Potret Fahmy dengan istri (Ratna Sarumpaet) dan anak-anaknya | Foto diambil dari IDNTimes
Potret Fahmy dengan istri (Ratna Sarumpaet) dan anak-anaknya | Foto diambil dari IDNTimes

Tanamur pada masa keemasannya

Tanamur, akronim dari "Tanah Abang Timur" didirikan oleh Ahmad Fahmy Alhady. Ia bukanlah seorang pegiat dunia hiburan di Jakarta, melainkan seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan jurusan teknik industri di Jerman. Ayahnya, Zein Alhady, merupakan salah satu pengusaha keturunan Arab di bidang teksil dan batik di pasar Tanah Abang.

Ketika menjadi mahasiswa di Jerman, ia mengunjungi salah satu diskotek disana dan terkagum akan hiburan malam yang tidak dapat ditemukan di Jakarta.  

Jakarta saat itu dibawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin sedang gencar-gencarnya mempromosikan rencana modernisasi kota Jakarta menjadi kota metropolitan. Tempat-tempat hiburan seperti diskotek atau rumah bordil diberikan izin selama dapat menghasilkan pajak yang menjadi sumber pemasukan provinsi DKI Jakarta.

Fahmy yang melihat peluang ini memutuskan untuk menghentikan studinya dan kembali ke ibu kota untuk mendirikan sebuah diskotek dengan modal sekitar 25 juta rupiah bersama dengan saudaranya yaitu Anis dan Kadim. Ia mengambil konsep tempat hiburan malam di Amerika, Jerman, dan Paris dan berhasil menyulap sebuah rumah tua menjadi diskotek. 

Suasana di Tanamur | Foto diambil dari JPNN
Suasana di Tanamur | Foto diambil dari JPNN

Resmi dibuka pada 12 Desember 1970, Tanamur memiliki ciri khas yaitu arsitekturnya yang unik. Pergabungan antara ornamen yang dapat ditemukan di gereja dengan lengkung atap yang dapat dijumpai di masjid, sukses besar menggaet hati masyarakat Jakarta.

Bukan hanya arsitekturnya yang unik, Fahmy juga menyediakan diskotek dengan suasana egaliter (dimana semua pengunjung diperlakukan sama tanpa melihat latar belakang) dimana saat itu banyak tempat hiburan yang justru menyediakan keesklusifan untuk kalangan tertentu.  

Dikutip dari wawancara Historia dengan Firdaus al-Hadi selaku mantan manajer gudang Tanamur, saat itu terdapat istilah yaitu "Enggak ke Jakarta kalau enggak ke Tanamur".

Dibuka setiap hari, Tanamur selalu ramai khususnya di akhir pekan dengan berbagai acara seperti pesta Hallowen, pesta kostum, pesta busa, Ladies Night, hingga Beach Party. Tanamur yang memiliki kapasitas untuk 800-1000 orang saat itu bagaikan obat untuk masyarakat Jakarta yang sedang terjangkit demam disko.   

Sebagaimana keinginan Fahmy untuk memperlakukan sama untuk seluruh pengunjung, Muhammad Ali, Chuck Norris, Ruud Gulit hingga Bee Gees pun berbaur bersama dengan pengunjung lainnya di Tanamur.  

Menurut majalah Tempo yang dirilis pada 27 Maret 1971, dengan tiket masuk Rp 1.000 pada hari biasa dan Rp 1.200 di akhir pekan siapapun dapat menikmati suasana Tanamur.

Redupnya gemerlap Tanamur

Krisis moneter pada tahun 1997 hingga 1998 dan razia ekstasi yang dilakukan oleh pihak berwajib berhasil membuat beberapa saingan Tanamur gulung tikar. Tanamur tetap eksis tanpa berkurangnya pengunjung di masa-masa itu.

Akan tetapi situasi menjadi buruk setelah kejadian Bom Bali 2002 yang mempengaruhi pengunjung dari dalam ataupun luar negeri karena ketakutan akan terjadinya kejadian terorisme lainnya. 

Tanamur sekarang | Foto diambil dari Merahputih.com
Tanamur sekarang | Foto diambil dari Merahputih.com

Hingga pada tahun 2005, Fahmy memutuskan untuk beristirahat. Lampu disko Tanamur yang tak pernah mati itu pun mulai meredup. Dua tahun setelah Tanamur ditutup, tepatnya pada 8 September 2007, Fahmy meninggal dunia.

Sekarang, Tanamur hanyalah tersisa kenangan akan masa keemasannya di memori pengunjungnya dulu. Siapa sangka ternyata sebuah gedung tua di daerah Gambir yang sekarang menjadi tempat parkir kendaran bermotor dan sebuah warung kecil, ternyata memiliki masa lalu yang gemerlap.

Sumber 1 dan 2 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun