Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asli atau Palsu: Seni Membuat Replika Makanan dari Jepang

15 Januari 2021   13:54 Diperbarui: 15 Januari 2021   14:20 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampuru yang dipajang di depan restoran di Jepang | Foto diambil dari Cargo Collective

Ketika Anda sedang berliburan di sebuah negara yang Anda tidak mengerti bahasanya, tentu timbul sebuah rasa ketakutan, seperti: Bagaimana cara memesan makanan?, Apakah pramusaji bisa mengerti maksud dari bahasa tubuh saya?,  Apakah ada buku menu yang menampilkan gambar dari makanannya?, atau Kalau makanannya sudah dihidangkan, apakah sesuai dengan yang dideskripsikan atau dengan foto di buku menu?

Kerap kali mungkin Anda memilih pasrah, asal tunjuk saja rekomendasi menu dari pramusaji dengan berharap kecil sambil menahan lapar. 

Jika Anda berliburan ke Jepang, masalah diatas mungkin akan jarang terjadi. Ini dikarenakan shokuhin sampuru yang kerap dipajang di depan restoran di Jepang. Bukan hanya di Jepang, beberapa restoran di Indonesia yang menghidangkan makanan Jepang juga memajang shokuhin sampuru di depan restorannya.

Asal usul dari sampuru

Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, shokuhin sampuru berarti sampel makanan. Biasa disebut dengan sampuru, replika makanan ini biasanya dibuat dengan bahan plastik, lilin, atau resin. 

Sebelum sampuru digunakan, dulunya beberapa restoran di Jepang memajang hidangan asli di luar restorannya untuk menarik perhatian orang yang berlalu lalang. Akan tetapi metode ini memiliki kelemahan, dimana hidangan akan terlihat tidak segar jika dipajang dengan waktu yang lama. Bukannya menarik pelanggan, pajangan ini justru menarik lalat.

Penemu sampuru ialah Takizo Iwasaki, seorang pengusaha Jepang kelahiran 12 September 1895. Ide Iwasaki membuat sampuru bermula ketika ia melihat tetesan lilin di lantai apartemennya. Ia terinspirasi untuk memulai sebuah perusahaan periklanan untuk produk makanan, tetapi tanpa menggunakan makanan melainkan menggunakan lilin.

Setelah berbulan-bulan melakukan percobaan, Iwasaki berhasil membuat telur dadar palsu dengan dekorasi saus tomat diatasnya.  Saking suksesnya percobaan telur dadar palsu buatan Iwasaki, istrinya pertama mengira itu adalah makanan asli dan tidak percaya bahwa telur tersebut dibuat dari lilin. Telur dadar palsu buatan Iwasaki ini menjadi sampuru pertama yang menjadi pajangan di sebuah toko di Osaka pada tahun 1932.

Sampuru pertama buatan Iwasaki | Foto diambil dari Iwasaki-Bei
Sampuru pertama buatan Iwasaki | Foto diambil dari Iwasaki-Bei

Iwasaki kemudian meninggal pada tahun 1965 meninggalkan perusahaan bernama Iwasaki Be-I yang menjual sampuru. 60% dari sampuru yang digunakan di Jepang merupakan hasil produksi dari perusahaan Iwasaki dan kota kelahirannya, Gujo Hachiman, sekarang dikenal sebagai ibukota untuk replika makanan. 

Menjadi terkenal pasca Perang Dunia II

Tujuan awal dibuatnya sampuru adalah untuk menarik perhatian orang dengan replika makanan yang dibuat identik dengan makanan asli yang dijual. Sampuru ini menjadi semakin terkenal dan digunakan hampir seluruh restoran di Jepang 13 tahun setelah Iwasaki menemukan sampuru pertama, yaitu setelah berakhirnya Perang Dunia II di tahun 1945.

Ketika Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang, banyak pasukan militer dari Amerika Serikat yang tinggal di Jepang seiringan dengan didudukinya Jepang oleh pemerintah Amerika Serikat. Sampuru menjadi sangat berguna karena para pasukan militer yang tidak bisa membaca menu restoran dalam bahasa Jepang. Walaupun tidak bisa berbahasa Jepang, tetapi mereka bisa melihat dan memilih sampuru dari makanan yang ditawarkan oleh restoran tersebut.

Hingga sekarang tujuan digunakannya sampuru masih sama, yaitu untuk menarik perhatian orang yang berlalu lalang sekaligus juga untuk membantu orang-orang yang tidak bisa menggunakan bahasa Jepang untuk memutuskan apa yang harus dipesan.

Dikutip dari wawancara CNA Insider dengan Etsuji Isozaki, kepala dari salah satu produsen sampuru, replika makanan ini membantu para pelanggan karena tidak mungkin seseorang dapat membayangkan makanan sebelum melihatnya langsung. Maka dari itu, sampuru harus terlihat enak dan membuat yang melihat menjadi lapar.

Pembuatan sampuru berbentuk daging | Foto diambil dari The Straits Time
Pembuatan sampuru berbentuk daging | Foto diambil dari The Straits Time

Terlihat mudah, tetapi sangat sulit untuk dibuat

Untuk membuat sampuru yang identik dengan makanan asli pastilah tidak mudah. Berbeda dengan buatan pertama Iwasaki, sampuru sekarang tidak menggunakan lilin karena mudah meleleh di cuaca panas. Sejak tahun 1970an, sampuru kebanyakan dibuat dari plastik.

Proses dimulai dengan restoran yang mengirimkan makanan asli dengan foto ke prosuden sampuru. Makanan itu kemudian akan dicelupkan ke dalam silikon untuk dibuat cetakannya. Cetakan tersebut kemudian dituangkan plastik cair. Setelah plastik tersebut menjadi padat dilanjutkan dengan tahap terakhir namun tahap yang paling penting, yaitu tahap melukis. Proses pembuatan sampuru di Jepang hingga sekarang 95%-nya mengandalkan keterampilan tangan dari senimannya.

Tidak sembarangan orang bisa membuat sampuru. Untuk menjadi seniman sampuru, harus dimulai dengan magang selama tiga tahun. Setelah lima tahun mempelajari seni ini, barulah produk buatan dapat dianggap berkualitas dan dapat dijual oleh produsen.

Selayaknya hasil karya tangan lainnya, sampuru juga memiliki harga yang mahal bahkan 10 kali lipat lebih mahal dari makanan aslinya. Contohnya adalah sampuru secangkir teh hijau dikenakan harga sekitar 500 ribu rupiah dan sampuru onigiri dikenakan harga 950 ribu rupiah dengan waktu pembuatan satu hari.  Harga sampuru semakin mahal jika ukurannya semakin besar, seperti hidangan utama seperti ramen dikenakan biaya 1,5 juta rupiah atau sepiring sushi dikenakan biaya seharga 7 juta rupiah yang memakan waktu pembuatan hingga satu minggu.

Tidak heran jika bisnis sampuru bernilai 1,2 trilliun di Jepang. Bayangkan saja untuk sebuah restoran, biasanya memajang lebih dari lima sampuru hidangan utama dengan dekorasi sampuru hidangan lainnya.

Sampuru hingga sekarang masih digunakan di Jepang. Bukan hanya digunakan sebagai pajangan di depan restoran, sampuru sekarang juga tersedia dalam bentuk gantungan kunci, magnet kulkas, atau casing smartphone yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh dari Jepang.

Beberapa restoran Jepang yang dibuka di kota-kota besar Indonesia juga banyak yang memajang sampuru di depan restorannya. Walaupun dengan berkembangnya teknologi seperti menu makanan online atau aplikasi penerjemah di smartphone, sampuru tetap eksis hingga sekarang.

Untuk menutup tulisan ini, penulis merekomendasikan sebuah video yang memperlihatkan pembuatan sampuru tempura dan sayur kol dari lilin.  


Sumber 1, 2 dan 3 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun