Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang di rencanakan oleh pemerintah memicu perdebatan luas di masyarakat. Mengutip data dari artikel CNN Indonesia (2024) yang di ambil dari laporan Worldwide Tax Summaries yang dirilis konsultan keuangan PWC bahwa tarif PPN di Indonesia kini menempati peringkat ke dua di ASEAN, dan jika benar kebijakan 12% ini dilaksanankan, maka tarif PPN Indonesia akan menjadi yang teratas di kawasan, sejajar dengan Filipina, namun lebih tinggi dibanding Thailand (7%), Singapura (9%), dan Malaysia (10%).
Perubahan tarif ini berlandaskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021. Berdasarkan UU tersebut, tarif PPN sebelumnya sebesar 10% telah meningkat menjadi 11% sejak 1 April 2022, dan direncanakan terus naik hingga maksimal 15% sesuai ketentuan. Pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN ini akan meningkatkan pendapatan negara untuk mendukung pembiayaan program prioritas, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Namun, bagi rakyat kecil, ini bukan sekedar angka, melainkan ancaman nyata yang membebani kehidupan sehari-hari mereka. Disaat masih banyak daerah bergulat dengan upah minimum yang rendah serta daya beli yang belum pulih sepenuhnya, kebijakan tersebut seperti tidak sejalan dengan nilai yang terkandung dalam pancasila yaitu: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut yang kemudian bisa menimbulkan pertanyaan: keadilan untuk siapa?
Kebijakan ini memiliki dampak domino yang signifikan. Dengan kenaikan tarif PPN, harga barang dan jasa hampir pasti akan naik. Bagi pelaku UMKM, pilihan yang ada hanya menaikkan harga produk dengan resiko kehilangan pelanggan, atau mempertahankan harga namun merugi. Disisi lain, masyarakat, terutama kelas menengah kebawah, harus mengurangi konsumsi akibat pajak yang lebih tinggi. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang 50-60 persen atau separuhnya dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Artinya, jika daya beli melemah, pertumbuhan ekonomi akan melambat.
Ironisnya, kebijkakan ini diterapkan di tengah ketimpangan pajak yang masih nyata. "Pada kenyataannya, politik pajak di Indonesia sangat tidak berkeadilan. Golongan kaya mendapat banyak fasilitas keringanan pajak, seperti pengampunan pajak (tax amnesty)" (Hartono, 2024). Selain itu, golongan kaya dan korporasi besar di Indonesia, yang seharusnya menjadi kontributor utama pajak, kerap memanfaatkan celah hukum untuk menghidnari kewajiban mereka.
Sebaliknya, beban justru lebih terasa pada masyarakat menengah ke bawah. Padahal, jika pemerintah lebih fokus pada pengawasan terhadap penghindaran pajak atau menerapkan pajak kekayaan bagi golongan mampu bayar, potensi penerimaan negara bisa jauh lebih besar tanpa harus membebani rakyat kecil. Ketimpangan ini menjadi bukti bahwa perjuangan untuk mempertahankan nilai keadilan sosial tidaklah mudah, tetapi penting untuk terus diperjuangkan.
Kenaikan PPN ini mengingatkan kita bahwa mempertahankan ideologi negara bukan hanya soal simbol, tetapi juga memastikan nilai-nilai pancasila tercermin dalam kebijakan publik. Jika kebijakan ini terus dijalankan tanpa evaluasi yang menyeluruh, pertanyaan besar yang tersisa adalah: masih adakah keadilan untuk semua?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H