Sensus Penduduk 2020 September Kota Madiun telah memasuki saat-saat terakhir. Kegiatan lapangan ditutup dengan Night of Census Date yang dipimpin langsung oleh Kepala BPS Kota Madiun, Bapak Umar Sjaifudin, M.Si.Â
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencatat antara lain para gelandangan, tuna wisma, ataupun mereka yang tidak tercatat di keluarga induknya karena tidak pulang secara reguler maksimal satu minggu sekali, tapi berada di Kota Madiun.
Selama bekerja di Badan Pusat Statistik, kegiatan Night of Census Date ini adalah yang pertama kali saya ikuti. Saat Sensus Penduduk 2010, saya cuti melahirkan.Â
Saat sensus penduduk sebelumnya lagi, SP 2000, saya masih menjadi mahasiswi di STIS Jakarta. Saat itu sedang libur semester, sehingga saya lebih memilih untuk pulang kampung, tidak ikut berpartisipasi menjadi mitra statistik untuk SP2000.
Terus terang agak ndredeg (baca--berdebar-debar) juga ketika bersiap mengikuti kegiatan ini. Rasanya mirip-mirip kenangan saat mengikuti kegiatan pembantaraan waktu SMA, atau kegiatan jurit malam saat latsarmil di Ciampea bertahun-tahun yang lalu. Hehehe...
Acara diawali dengan briefing yang dipimpin oleh  Kepala BPS Kota Madiun, Bapak Umar Sjaifudin, M.Si, penjelasan teknis oleh Kasi Statistik Sosial BPS Kota Madiun, adek saya Emi Arifiliana, SST, M.Stat, dan doa bersama. Kemudian barulah kami turun ke lapangan untuk melaksanakan kegiatan bersejarah yang berlangsung 10 tahun sekali, The Night of Census Date.Â
O iya, saya beserta teman-teman yang ikut kegiatan ini sebelumnya sudah rapid test dengan hasil non reaktif, lho. Jadi dipastikan kami tidak keluyuran membawa virus colas (covid-19). Kami juga mengenakan masker dan sarung tangan. Di saku tersedia hand sanitizer. Pokoknya komplit.Â
Banyak juga ternyata orang-orang yang tinggal di Kota Madiun yang kami temui, yang tidak tercatat di salah satu keluarga di Kota Madiun.
Sebut saja namanya Rahmat, seorang tukang becak yang kami datangi ketika sedang tidur pulas. Saat kami bangunkan untuk didata, beliau tidak dapat menunjukkan KTP nya.Â
Menurutnya KTP disita sebagai jaminan dari bosnya, karena beliau menyewa becak yang dijadikan alat mencari nafkah. Ngakunya beliau berasal dari luar kota. Setiap malam, tidur di becaknya.
Lain lagi dengan sebut saja namanya Jono. Saat saya tanya, kenapa dia tidak pulang ke rumah, dan memilih tidur di jalanan. Beliau dengan wajah sedih berkata, "Kulo mpun pisahan" (baca---saya sudah bercerai). Sontak saya pun merasa miris. Bercerai, kemudian diusir, tidak punya tempat tinggal. Jadilah menggelandang di pinggir jalan.
Ada juga yang bikin saya geleng-geleng kepala, seorang tuna wisma yang mengaku sebenarnya punya rumah. Tapi hidup menggelandang. ketika saya tanya, "Kok mboten wangsul, bubuk teng nggriyo mawon, Pak?" (baca--kok tidak pulang, tidur di rumah saja, Pak?"
Jawabnya," Griyo kulo, kulo kontrakke," (baca---Rumah saya, saya kontrakkan). Deuh....
Ada pria tidur di depan emper toko. Saat saya mau membangunkan, rekan saya memberi isyarat. "Noo... jangan mba, itu orang begini," katanya sambil meletakkan telunjuknya miring di jidat.Â
Owh, ternyata orang gila. Daripada ribut dengan orang gila, akhirnya saya menuliskan jenis kelamin laki-laki dan memberikan keterangan di dokumen bahwa yang kami data ini tidak bisa diajak bicara karena kondisi.Â
Kegiatan kami berlangsung dengan lancar, karena ada backup juga dari temen-temen kami Satpol PP dengan atribut lengkap. Jadi tidak was-was jika dikejar orang mabuk atau orang tidak waras.Â
Begitulah sedikit cerita dalam The Night of Census Date yang saya ikuti di Kota Madiun. Benar-benar berkesan buat saya, karena ini adalah yang pertama kalinya menjadi pelaku kegiatan bersejarah, 10 tahun sekali. Â Semoga hasil pendataan kami bermanfaat untuk menyempurnakan kegiatan Sensus Penduduk September 2020 di Kota Madiun. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H