Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... lainnya -

warga negara indonesia biasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mengenang 1996 Everest Disaster

24 Oktober 2011   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:34 3259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kalimat yang lain dalam surat yang sama disebutkan I have considered what might have happened had I not made a rapid descent. My opinion: Given the weather conditions and the lack of visibility that developed, I think it likely I would have died with the client climbers that in the early hours of May 11, I was able to find and bring to Camp IV, or I would have had to have left them on the mountain to go for help in Camp IV where, as was in the reality of events that unfolded, there was nobody able or willing to conduct rescue efforts. Jelaslah sudah bahwa pertimbangan seorang leader (guide) dalam setiap ekspedisi sangat vital bagi nyawa para klien yang dibawanya. Oleh karena itu hidup mati nya mayoritas klien dalam sebuah eskspedisi di ketinggian sangat erat dengan kualitas leader dan kebesaran hati klien yang tidak perlu memaksakan ke puncak jika leader (guide) berkata tidak.

Sayang, klarifikasi Anatoli yang cukup santun pada surat resmi nya itu tidak dibalas dengan hal yang sama oleh Jhon Krakauer dalam surat resmi nya tanggal 24 agustus 1996 yang juga ditujukan kepada redaksi majalah Outside. Pada akhir surat balasannya dengan cukup emosional Jhon Krakauer menyatakan Many of us who were on Everest last May made mistakes. As I indicated in my article, my own actions may have contributed to the deaths of two of my teammates. Anatoli is an extraordinary Himalayan climber, and I don't doubt that his intentions were good on summit day. What troubles me, though, is Anatoli's utter refusal to acknowledge the possibility that he made even a single poor decision. Not once has he ever indicated to me that maybe, just maybe, it wasn't the smartest choice to climb without gas or go down ahead of his clients. Anatoli doggedly insists that he would make the same decisions all over again--in his opinion, he was the only person on the mountain who did everything right. The rest of us fucked up big-time, but not Anatoli.

Sayang memang, akhirnya Anatoli pun harus tewas dalam pendakian marathon nya di akhir tahun 1997 di Annapurna (8078m), Simone Moro yang menjadi partner Anatoli pada pendakian alpine style tersebut meyakini kalau longsoran salju lah penyebab utama hilangnya Anatoli dan beberapa minggu kemudian dinyatakan tewas.

Arti Kebersamaan?
Anatoli, Bashkirov dan Vinogradsky adalah sebuah contoh sukses dari kerjasama dalam sebuah team yang melahirkan prestasi-prestasi di atas ketinggian. Kebersamaan yang mereka lakukan tidak semata-mata hanya untuk kepuasan pribadi atau golongan saja. Meski mereka semua adalah satu kampung (Russia) tapi prestasi yang mereka raih tidak lagi berlevel kampung dan duniapun mengakuinya, bahkan dalam masa-masa sulit akhir tahun 1997 ketika Anatoli dinyatakan hilang di Annapurna.

indahnya kebersamaan memang bernilai relatif tetapi paling tidak pernah terjadi dalam ekspedisi K2 (karakoram) tahun 1953 ketika Charles Houston sebagai leader team mencoba jalur pemanjatan South-East Spur bersama Robert Bates,dll. Meski Gilkey akhirnya tewas dalam tragedi tersebut, tetapi akhirnya dunia mengakui sebuah kalimat yang disepakati bersama dari ekspedisi Houston dalam Third American Karakoram Expedition, "we entered the mountain as strangers, but we left it as brothers".

Jika kita mau mencermatinya maka akan banyak manfaat yang bisa kita ambil dari perseteruan dua karya besar Into Thin Air dan The Climb berkaitan dengan tragedi everest 1996 yang lebih menjadi berbau politis dan penuh publisitas daripada sisi pendakiannya itu sendiri. Tetapi sangat disayangkan semangat dan kemauan bangsa kita dalam membaca masih belum menggembirakan. Lebih banyak hanya nyaman membaca artikel-artikel yang ada daripada membaca sumber-sumber artikel tersebut, sehingga dunia penerbitan buku di Indonesia menjadi terpuruk karenanya. Sayang sekali.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun