Oleh: Wiranto
Muasal masalah adalah Merdeka Belajar. Kebijakan Mas Menteri yang digulirkan pada tahun 2019 ini mampu memicu terjadinya pergeseran paradigma (Kuhn, 1962) dalam dunia pendidikan. Sejatinya, banyak guru yang belum rela merubah cara pandang terkait praktik-praktik baru dalam kebijakan Merdeka Belajar. Ketidak-relaan ini memunculkan reaksi negatif dari sebagian guru.Â
Sebagai pendidik dan aparatur negara, manifestasi reaksi ini tidak mewujud dalam bentuk aksi demonstrasi atau protes di ruang publik. Namun dalam bentuk apatisme, sabotase, resistensi, dan aneka tindakan kontraproduktif lainnya yang justru lebih berbahaya
dan sulit terdeteksi untuk ditangani.Â
Konsep "Menghamba pada murid" sebagai inti merdeka belajar ternyata menggoncang ruang nalar para guru yang terbiasa dididik dalam atmosfer pendidikan yang konvensional. Lantas sejauh mana harapan Merdeka Belajar bisa memberikan manfaat dan dampak bagi transformasi pendidikan di Indonesia?
Murid Merdeka
Bermula dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD), Merdeka Belajar merupakan sebuah konsep yang menyokong pemberian kebebasan berpikir kepada murid sehingga mereka dapat mengeksplorasi diri, pengetahuan, dan lingkungannya. Guna mewujudkan jiwa merdeka ini, sistem among ala KHD menjadi syarat utama dimana kekerasan, hukuman, dan paksaan selayaknya tidak dilakukan. Dalam kondisi yang aman dan nyaman, murid dapat menemukan dan mengembangkan potensi diri masing-masing. Intinya merdeka belajar dimaksudkan untuk mewujudkan suasana bahagia di sekolah.
Imbas dari konsep di atas jelas bahwa sekolah harus otonom, tidak birokratis dan otoriter, serta mampu menciptakan sistem pembelajaran yang inovatif sesuai dengan tuntutan jaman. Guru pada akhirnya dituntut untuk melakukan perubahan cara
berpikir baik pada visi, kepercayaan (beliefs), maupun perilakunya. Guru harus mampu meningkatkan kompetensi sebagai pemimpin
pembelajaran pada semua aspeknya. Tuntutan lainnya adalah para guru harus membentuk budaya sekolah yang positif. Aneka tuntutan inilah yang membuat sebagian besar guru merasa tak bahagia. Bukan hal mudah merubah paradigma lama yang telah bercokol dan mendominasi cara pandang mereka.
Permasalahan ini disadari oleh Mas Menteri yang kemudian menelurkan kebijakan Merdeka Belajar episode 5 yaitu Program Guru Penggerak (PGP). Tujuan PGP jelas yaitu menciptakan Guru Penggerak (GP) sebagai pendorong transformasi pendidikan Indonesia, sebagai mentor bagi guru lain serta teladan dan agen transformasi bagi ekosistem pendidikan di lingkungan sekitarnya (Dirjen GTK, 2020).
Diharapkan minoritas GP nantinya menjelma menjadi massa kritis dan mampu merubah tatanan pendidikan yang ada. Mengacu pada teori massa kritis, ketika minoritas yang berkomitmen mencapai ukuran kritis, serangkaian perubahan perilaku dapat terjadi dan menjungkirbalikkan tatanan yang tampaknya stabil.
Massa Kritis yang Tidak Kritis
Bisa dikatakan Merdeka Belajar merupakan sebuah inovasi dalam dunia pendidikan. Mengacu pada teori difusi inovasi (Rogers, 2004), beberapa kelompok guru akan mengadopsi sebuah inovasi secepat mungkin begitu informasi tersedia. Sementara, beberapa kelompok guru lainnya membutuhkan waktu lama dalam mengadopsi inovasi tersebut.
Pada akhirnya, ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh guru, barulah bisa dikatakan apakah inovasi itu bermanfaat bahkan berdampak atau hanya sia-sia belaka. GP mesti berperan sebagai pengguna awal yang diharapkan mampu menjadi teladan dan mempengaruhi guru-guru lainnya pada kategori mayoritas awal, mayoritas akhir, dan laggard.
GP juga mengemban misi dalam membumikan inovasi Merdeka Belajar dengan tujuan akhir membentuk generasi dengan Profil Pelajar Pancasila. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran KHD di ruang-ruang kelas sekolah di Indonesia. Mereka akan menjadi pemimpin pembelajaran, mendorong pendidik lainnya, serta menjadi teladan bahkan agen transformasi ekosistem pendidikan.
Perlu dicatat bahwa GP sebagai massa kritis akan menjadi "kritis" jika secara jumlah telah mencapai rentang antara 10% hingga 40% dari total guru yang ada. Selain jumlah, besarnya komitmen dan konsistensi GP juga menjadi faktor penentu (Niu, 2017). Nah, bagaimana kondisi di lapangan?
Kenyataan menunjukkan, massa kritis ini berpotensi tidak kritis karena berbagai permasalahan sebagai berikut; Pertama, berdasarkan data Kemendikbud, jumlah guru di Indonesia berkisar 3,31 juta orang pada tahun ajaran 2022/2023. Sementara jumlah GP hingga angkatan 13 yang ditargetkan tercapai pada tahun 2024 sebanyak 405.900 (Dirjen GTK, 2023). Jadi jumlah GP hanya sekitar 8,2 % dari total guru yang ada. Nampak bahwa dari segi jumlahpun, prosentasi massa kritis belum terlalu signifikan. Belum lagi dilihat dari faktor komitmen GP untuk menjadikan dirinya sesuai peran yang diharapkan. Faktanya banyak guru yang mengikuti PGP dikarenakan pengaruh faktor eksternal. Pun begitu menjadi GP, banyak diantara mereka yang tak bernyali untuk mengambil peran.
Kedua, hambatan guru senior bertipe laggard. Mengacu Rogers (2004), kelompok ini merupakan orang terakhir yang bersedia melakukan adopsi inovasi. Itupun terkadang dengan paksaan. Mereka bersifat lebih konservatif, mempertahankan status quo, dan segan mencoba hal-hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama. Lebih parah lagi, biasanya mereka adalah guru-guru senior di sekolah. Golongan yang berisi guru-guru dengan usia di atas 50 tahun dan mendominasi pengambilan kebijakan di sekolah. Data Kemendikbud menyebutkan bahwa guru berusia 50-59 tahun ini berjumlah sekitar 793.780 atau 27,3% dari total guru Indonesia. Berdasarkan pengalaman sebagai Pendamping Praktik Program Guru Penggerak, masalah senioritas ini begitu mempengaruhi peran GP dalam menjadikan mereka kritis. Tentunya ironis jika 27,3 % guru mampu mempengaruhi 72,7 % guru (yang didalamnya terdapat GP) dalam hal penentuan kebijakan sekolah.
Ketiga, persepsi minor terhadap Kepala Sekolah dari GP. Pasalnya, mereka masih dianggap bau kencur dan minim pengalaman memimpin sehingga banyak guru bertipe laggard cenderung menyepelekan peran mereka sebagai pemimpin pembelajaran. Apalagi dalam kebudayaan Jawa yang masih mengedepankan ewuh pakewuh, peran GP sebagai KS muda ini menjadi kurang menggigit dibelit dilema senioritas.
Keempat, Kepala Sekolah dan pengawas produk lama yang belum paham konsep-konsep yang diusung dalam merdeka belajar. Masalah ini berujung pada seringnya terjadi perbedaan persepsi ketika sedang melakukan supervisi maupun pengawasan. Alih-alih memberikan penguatan, justru pada akhirnya banyak dari mereka yang bertanya kepada GP. Bahkan lebih parah lagi, memaksakan pola pikir mereka.
Murid Merdeka, Guru Lebih Bahagia
Idealnya, sesuai harapan KHD, dengan murid merdeka guru seharusnya menjadi lebih bahagia. Agar pogram Merdeka Belajar berakhir bahagia, berikut beberapa solusi yang menurut penulis bisa dicoba; Pertama, perlu perhatian lebih pada guru dengan 50 tahun ke atas yang selama ini dianaktirikan dalam PGP. Perhatian bisa diberikan dengan memberikan model PGP khusus dengan pola yang berbeda. Pendekatan ini setidaknya akan membantu GP lebih mudah dalam melakukan sinergi implementasi Merdeka Belajar. Hal yang sama perlu juga diberikan untuk Kepala Sekolah maupun pengawas agar mereka mampu berperan sebagai katalisator.
Kedua, PGP harus masuk ke sektor vital guru seperti syarat pencairan Tunjangan Profesi Guru, kenaikan pangkat, dan lain-lain. Ini akan meningkatkan daya serap maupun daya tekan implementasi Merdeka Belajar. Ketiga, PGP harus lepas dari kepentingan politik. Jangan sampai Merdeka Belajar menjadi komoditas para badut-badut politik untuk memuaskan syahwat kepentingan golongan maupun pribadi.
Merdeka Belajar sebagai sebuah inovasi akan bermanfaat dan berdampak jika terimplementasikan dengan baik. Hal itu akan lebih mudah tercapai jika murid merdeka dan guru bahagia. Bukankah begitu?
Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang berproses menjadi Calon Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H