Mohon tunggu...
Wiranto
Wiranto Mohon Tunggu... Guru - Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Hobi membaca dan menulis terutama cerita anak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka (Belajar) atau Mati!

30 Agustus 2020   22:27 Diperbarui: 30 Agustus 2020   22:21 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan sia-siakan pelajaran yang diberikan oleh krisis. Jangan biarkan krisis membuahkan kemunduran. Justru momentum krisis ini harus kita bajak untuk melakukan lompatan kemajuan..." (Presiden Joko Widodo, 2020)

Bukannya tanpa alasan pekik kemerdekaan "Merdeka atau Mati" dikumandangkan para pejuang kala perang kemerdekaan dahulu. Maknanya jelas, merdeka sepenuhnya menjadi tujuan akhir meski nyawa menjadi taruhannya. 

"Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah", begitu tekad jiwa pejuang. Kehidupan kehilangan harga apabila terkekang tak merdeka.

Apakah Merdeka Belajar yang santer dikumandangkan akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa anak-anak Indonesia belum merdeka dalam "belajar"? Jawabannya tentu "ya", seperti yang diamini oleh "Mas Menteri" Nadiem Makarim dalam sebuah telekonferensi Kemendikbud pada Jumat (14/8/2020) lalu.

"Mas Menteri" menegaskan bahwa Merdeka Belajar dimaksudkan untuk memerdekakan pemikiran bukan hanya peserta didik, tetapi juga guru, serta instusi pendidikan. Merdeka dari apa? Dari penjajahan pola pikir lama mengenai konsep belajar tentunya. Pola pikir belajar yang anti teknologi, anti inovasi, anti perubahan, dan tidak "memanusiakan manusia muda". Pola pikir yang membuat ranking PISA negara ini betah berada di papan bawah.

Sayangnya, belum juga Merdeka Belajar menemukan bentuknya pada masa normal, pandemi global Covid-19 datang menghantam. Pola pembelajaran tatap muka yang menjadi nyawa sistem pendidikan di Indonesia menjadi terlalu berisiko untuk dilakukan. 

Sekira 3.017.296 orang guru dan 45,5 juta siswa di seluruh Indonesia sebagai pelaku utama dalam pembelajaran mengalami gegar budaya, kebingungan metodologis, dan guncangan pola pikir.

Krisis dunia pendidikan akibat pandemi Covid-19 memang tidak hanya dialami negara ini, UNESCO menyebutkan sekira 577 juta pelajar di seluruh dunia juga tidak bisa menjalani proses belajar tatap muka karena 39 negara mengambil kebijakan menutup sekolah.

Fakta di lapangan menunjukkan ketidaksiapan sistem persekolahan dalam mengantisipasi terjangan pandemi. Ketidaksiapan baik dalam cara mengajar maupun penguasaan ketrampilan tekhnologi informasi, yang ternyata menjadi satu-satunya media untuk saling terhubung.

Belum lagi permasalahan akses internet serta kepemilikan gawai sebagai pendukung proses belajar mengajar yang belum merata. Diperparah lagi dengan ketidak-siapan orang tua menjalankan fungsi pendidikan dalam keluarga. Situasi "serba takut, bingung, dan canggung" muncul serta mengancam kualitas SDM. Sebuah kondisi krisis yang berpotensi menyebabkan hilangnya satu generasi (lost generations).

Kini ketika semua strategi "normal" harus dipikirkan ulang, akankah kita memilih mati? Membiarkan krisis menjajah dunia pendidikan bangsa ini? Ataukah kita akan bangkit dan memperjuangkan Merdeka Belajar sesegera mungkin diimplementasikan dalam dunia pendidikan? Pada akhirnya tidak ada pilihan selain "Merdeka Belajar atau Mati".

Menunggangi Krisis, Meraih Martabat

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato Presiden pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPRD dalam Rangka HUT ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Gedung DPR/MPR beberapa minggu lalu  mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia mengambil pelajaran dari terjadinya pandemi virus corona atau Covid-19.

Beliau menegaskan bahwa krisis tidak boleh melemahkan kehidupan. Semua warga negara dituntut untuk mengubah pola pikir dalam menghadapi dinamika kehidupan, "dari cara-cara biasa menjadi cara-cara luar biasa." Mampukah kita menjawab tantangan itu?

Sejarah tokoh pendiri bangsa ini mengajarkan bagaimana mengelola krisis.  Sejarah telah membuktikan banyak orang-orang dan karya hebat lahir dari krisis! Buku fenomenal berjudul "Indonesia Menggugat" karya Soekarno lahir dari saat krisis di penjara. "Indonesie Vrij" atau "Indonesia Merdeka" karya Bung Hatta juga lahir dari balik penjara.

Juga Tan Malaka yang menghasilkan salah satu buku paling berpengaruh terhadap gagasan kebangsaan berjudul "Dari Penjara ke Penjara". Beliau bahkan menyatakan bahwa ada hubungan antara penjara (baca: krisis) dan kemerdekaan sejati bagi manusia. Jelas sudah bahwa jawaban atas krisis dalam dunia pendidikan adalah kemampuan untuk menemukan dan menerapkan Merdeka Belajar.

Belajar dari para pendiri bangsa, di era krisis bernama Normal Baru (New Normal) inilah Merdeka Belajar semakin menemukan konteksnya dalam dunia pendidikan. Kebijakan Merdeka Belajar memberikan ruang bagi peserta didik untuk belajar dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Krisis memerdekakan peserta didik sehingga mereka bisa menerapkan pola belajar yang berprinsip "Self Managed Learning".

Guru merdeka untuk memprioritaskan pembelajaran yang esensial, kontekstual dan bermakna, tidak hanya sekedar menuntaskan tuntutan kurikulum. Merdeka Belajar menuntut guru meningkatkan kapasitas dalam melakukan pembelajaran interaktif dan komunikatif. Sementara orang tua juga dituntut terlibat aktif dalam proses pendidikan keluarga. Merdeka Belajar membuat proses pembelajaran menjadi lebih kolaboratif dan holistik. Sebuah sistem pendidikan yang menjunjung tinggi konsep "Tri Pusat" Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara.

Merdeka Belajar mensyaratkan kurikulum yang disusun mempertimbangkan kemudahan bahan pembelajaran diakses oleh peserta didik darimana dan kapan saja. 

Sistem pembelajaran harus dapat memberikan pilihan yang luas  bagi peserta didik sehingga ia bisa menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kemampuan yang dimilikinya. 

Selain itu, peserta didik juga dapat memulai, berhenti, atau mempelajari bahan pembelajaran sesuai dengan kecakapan dan gaya belajar mereka (Wedemeyer, 1958).

Prinsip utama Merdeka Belajar harus menempatkan peserta didik sebagai subyek. Hak anak untuk memperoleh pengetahuan harus dilihat dengan kacamata baru. 

Peserta didik diajarkan untuk terbiasa membangun pengetahuan untuk dirinya sendiri dalam suatu konteks sosial. Konsep ini mendasari metode-metode aktif dalam menggunakan lingkungan terdekat peserta didik.

Implikasinya, peserta didik hanya sedikit menggunakan "bahan" dari sumber-sumber luar anak yang merupakan produk kebijakan orang-orang dewasa dan menggunakan semua materi yang dialami anak. Ini memungkinkan berkembangnya kreativitas anak-anak dalam memikirkan fungsi-fungsi lain yang mungkin dimunculkan dalam  suatu hal atau peristiwa di luar konteksnya yang biasa.

Merdeka Belajar melatih anak didik agar mampu "mendidik dirinya sendiri" dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan lingkungan dan perubahannya. Segala jenis informasi, ketrampilan, dan pengetahuan tidak hanya mengandalkan dari sekolah, karena adakalanya sumber-sumber yang diberikan oleh sekolah tidak mempunyai kelanjutan dan tidak berkaitan dengan pengetahuan yang dijumpai di lingkungan anak.

Merdeka Belajar mengarahkan peserta didik menjadi dirinya sendiri, dan mengetahui potensi apa yang dimiliki serta berbagai macam kemungkinan untuk mengembangkannya. Merdeka Belajar menolak keras upaya-upaya penyeragaman, indoktrinasi, dan intimidasi meski dengan alasan "mendidik" anak.

Di masa depan, sekolah yang dijawai semangat Merdeka Belajar menjadikan peserta didik lebih mengandalkan pada pra-karsa sendiri dalam belajar dan membangun pengetahuan. 

Oleh karenanya, tempat belajar akan lebih tersebar dan proses belajar akan lebih bergantung pada kemampuan seseorang bukan lagi sekedar tradisi. 

Mereka akan belajar menemukan makna baru, tak hanya sekedar mengusasi materi. Peserta didik mampu menjadikan diri mereka sebagai subyek yang aktif dan menolak keras dijadikan sebagai objek pendidikan.

Merdeka belajar menempatkan masa depan kemanusiaan anak didik menjadi orientasi utama pembelajaran di sekolah. Anak didik menjadi individu yang dihargai haknya dan dianggap sebagai manusia yang unik serta berkemampuan khusus. 

Mata pelajaran yang ada disekolah harus dikemas sedemikian rupa sehingga tidak hanya menjadi sebuah pengetahuan yang kering akan nilai-nilai kebersamaan dan akhirnya menumpuk menjadi sampah ingatan.

Pada saatnya nanti, Merdeka Belajar akan merubah pola piker dan cara pandang sebagian besar orang bahwa pengajaran formal di sekolah bukan satu-satunya model pembelajaran seperti yang selama ini dipahami. 

Anak-anak bisa dididik melalui pekerjaan, melalui kegiatan-kegiatan sosial, melalui partisipasi dalam kehidupan kultural, melalui tanggapan-tanggapan emosional, melalui hubungan antar manusia, melalui perjalanan dan olah raga, serta media lain yang sekiranya memungkinkan anak untuk melakukan proses pendidikan alternatif. Dengan demikian pendidikan tidak semata-mata merupakan suatu operasi intelektual kognitif yang berlangsung di dalam batas-batas tembok sekolah.

Dalam situasi normal maupun krisis, sekolah tetap menempati posisi sentral dalam system pendidikan. Sekolah tetap menjadi sebuah lingkungan dinamis tempat berlangsungnya proses pendidikan dan pengajaran terhadap anak didik. 

Tempat dimana nilai-nilai, pengetahuan, dan ketrampilan diteruskan kepada anak didik secara sistematis dan terencana. Guru-guru menempatkan dirinya sebagai medium organik yang menjadi penterjemah materi-materi abstrak dalam kurikulum dengan dunia kehidupan nyata anak didik.

Menolak Merdeka Belajar akan memunculkan generasi yang gagap sejarah, gagu nilai, dan gegar identitas. Pilihan ada pada kita. Memilih "Merdeka Belajar" dan tumbuh menjadi bangsa bermartabat atau memilih "Mati" dengan mengenaskan dilindas krisis pandemi Covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun