Guru "baru" sangatlah dibutuhkan. Mereka adalah guru yang mampu mendidik dan memberi tauladan pada anak didik agar mereka saling menghargai sebagai individu yang unik.Â
Guru yang memiliki paradigma baru dalam memaknai kesalahan atau kegagalan anak didik. Alih-alih menekan anak, guru harus mengajak anak duduk bersama, menelusuri kesalahan secara mendalam, membantu anak meletakkannya dalam kerangka yang benar, memberi tahu anak tentang pilihan dan konsekwensi serta membantunya mengatasi persoalan tersebut.
Guru "baru" ini adalah guru yang melihat proses pendidikan dengan cakrawala luas. Tidak hanya berpusat di kelas, mereka mendidik anak melalui pekerjaan, melalui kegiatan sosial, melalui partisipasi dalam kehidupan kultural, melalui tanggapan-tanggapan emosional, melalui hubungan antar manusia, melalui perjalanan dan olah raga, serta media lain yang membantu proses subyektivikasi anak.
Guru "baru" ini sadar bahwa bukan mereka yang mendidik siswa, tetapi siswalah yang "mendidik dirinya sendiri". Mereka sadar bahwa pengetahuan sekolah hanyalah pengetahuan orang-orang dewasa yang justru membentuk lingkungan sekolah (sebagai lingkungan buatan) menjadi asing bagi anak.
Pada akhirnya, mereka seminimal mungkin menggunakan "bahan" dari sumber-sumber luar dan menggunakan semua materi yang dialami anak. Hal ini akan mengembangkan kreativitas anak didik dalam memikirkan fungsi-fungsi mereka sendiri di luar konteks pengetahuan sekolah.
Ketiga, anak didik harus dilihat sebagai subyek. Harus dipahami bahwa peserta didik memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara pesrta didik yang satu dengan peserta didik yang lain. Para pendidik dan lembaga pendidikan harus menghargai perbedaan yang ada pada mereka.
Sebagai subyek, anak didik menjadi individu yang dihargai haknya dan dianggap sebagai manusia yang unik serta berkemampuan khusus. Anak didik menjadi dirinya sendiri dan bukan menjadi jiplakan guru.Â
Hadari Nawawi (1989) jauh-jauh hari mengingatkan bahwa anak didik adalah individu dengan totalitas kepribadian yang dinamis, sehingga harus diperlakukan sebagai subyek. Oleh karena itu, memandang siswa sebagai subyek akan lebih memberikan dampak positif dalam pengembangan kreatifitas daripada melihat mereka sebagai obyek.
Keempat, Budaya sekolah mesti diarahkan untuk membangkitkan potensi kreatif para siswa. Guru-guru didorong untuk berani mengambil inisiatif kreatif dalam pembelajaran yang dilakukannya.Â
Iklim yang mendukung siswa agar bisa menjadi lebih kreatif perlu dikembangkan seperti; siswa diberikan kebebasan dalam menyatakan pendapat dan perasaannya tanpa merasa takut mendapat ancaman dari guru. Fantasi dan imajinasi anak tidak diterima secara negatif, bahkan kedua kemampuan tersebut dibiarkan berkembang melalui pemberian fasilitas secukupnya.
Sekolah mesti memperbanyak kegiatan-kegiatan kreatif yang melibatkan siswa sehingga mereka mampu menyalurkan hasrat kreatif mereka sekaligus melatih mereka untuk mengapresisai karya kreatif siswa yang lain. Semangat dasar yang perlu dikedepankan dalam budaya sekolah adalah bagaimana pendidik bisa melihat siswa-siswi sebagai sebuah pribadi yang utuh dengan segala bakat, minat dan kemampuannya.